Pemerintah diminta memulihkan harga sejumlah komoditas rakyat di Kalimantan Barat yang anjlok. Harga kopra misalnya anjlok dari Rp 8.000 menjadi Rp 3.000 per kg. Hal itu sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan petani.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS – Pemerintah diminta memulihkan harga sejumlah komoditas rakyat di Kalimantan Barat yang anjlok. Harga kopra misalnya anjlok dari Rp 8.000 per kg menjadi Rp 3.000 per kg. Hal itu sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan para petani.
Tuntutan itu dikemukakan massa yang terdiri dari mahasiswa, organisasi buruh, dan petani saat berujuk rasa di Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Selasa (24/9/2019). Aksi unjuk rasa itu berlangsung aman. Perwakilan massa bisa bertemu Gubernur Kalbar untuk berdialog.
Koordinator Lapangan Aksi Perjuangan Petani Kalbar Imran Ramadhan, Selasa (24/9/2019), menuturkan, mereka menuntut pemerintah serius mengatasi masalah pertanian. Harga kopra anjlok dari Rp 8.000 per kg menjadi Rp 3.000 per kg sudah hampir dua tahun.
“Kami sudah bertemu dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kalbar setahun lalu. Mereka berjanji akan memberikan solusi. Namun, hingga kini belum ada solusi dari pemerintah,” kata Imran.
Anjloknya harga komoditas pertanian rakyat berdampak serius terhadap kesejahteraan petani. Ada anak petani yang berhenti kuliah karena keterbatasan biaya. Biasanya dengan kopra yang panen setiap tiga bulan sekali bisa menutupi biaya kuliah. Namun, saat harga anjlok keadaan menjadi sulit. Untuk kebutuhan sehari-hari saja sulit.
“Segera carikan solusi, misalnya membuka pasar alternatif. Sebab, salah satu penyebabnya karena harga kopra di pasar global juga anjlok. Bisa juga pemerintah membeli kopra rakyat dengan harga layak saat-saat seperti ini,” paparnya.
Pihaknya, kata Imran, memahami persoalan harga komoditas ini karena ada faktor pasar global juga. Dengan kondisi seperti itu harusnya ada intervensi pemerintah agar petani tidak semakin terpukul.
Kami sudah bertemu dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kalbar setahun lalu. Mereka berjanji akan memberikan solusi. Namun, hingga kini belum ada solusi dari pemerintah, kata Imran.
Abdul Majit (37), petani kopra di Kubu Raya yang ikut dalam aksi itu, menuturkan, ia berharap kopra segera dipulihkan. Sebab, dampaknya serius terhadap petani. Biaya pendidikan anak, apalagi jika ada yang kuliah sangat berat.
Sejak harga kopra yang anjlok hanya bisa mengantongi penghasilan bersih Rp 41.000 per bulan. Per keluarga di kampungnya rata-rata memiliki 1 ha kebun kelapa dengan produksi kopra 2 ton-3 ton per tiga atau empat bulan. Semua dipasarkan melalui pengepul.
“Dengan penghasilan sekecil itu akhirnya kami ada yang bekerja serabutan menjadi buruh harian lepas. Juga berladang dan membantu tetangga, sehingga saja kami bisa ditukar dengan beras dan barang konsumsi lainnya,” ungkapnya.
Karet dan lada
Masalah anjloknya harga kopra baru sebagian kecil dari potret buramnya nasib komoditas rakyat di Kalbar. Harga lada dan karet juga masih terbilang anjlok. Thomas (45), petani lada di Entikong, Kabupaten Sanggau perbatasan Indonesia-Malaysia, mengatakan, harga lada anjlok dua tahun terakhir.
“Harga lada putih anjlok dari Rp 180.000 per kg menjadi Rp 40.000 per kg. Kemudian, harga lada hitam anjlok dari Rp 140.000 per kg menjadi Rp 20.000 per kg. Namun, kami tidak ada pilihan lain selain tetap bertahan memelihara kebun kami karena hanya itu yang kami miliki. Pengepul bilang pengaruh harga global,” kata Thomas.
Harga karet juga masih terbilang rendah. Harga karet tak kunjung pulih sepuluh tahun terakhir. Harga karet di tingkat petani anjlok dari Rp 10.000 per kg menjadi Rp 5.000 per kg atau Rp 6.000 per kg. Kalaupun ada yang sedikit membaik hanya di wilayah tertentu.
Catatan Kompas, karet bahkan masih menghadapi masalah kompleks, tidak hanya soal harga. Komoditas karet juga mengalami masalah di hulu rendahnya produktivitas, yakni 600 kg-700 kg per ha per tahun karena tidak diremajakan. Kalau diremajakan, bisa mencapai 1,8 ton per ha per tahun.
Padahal, jika ditunjang pola pemeliharaan yang benar, bisa 2,5 ton per ha per tahun. Seandainya produktivitas meningkat setidaknya bisa sedikit membanatu meningkatkan pendapatan petani di tengah anjloknya harga. Bandingkan dengan Thailand mencapai 1,8 ton per ha per tahun.
Tata niaganya juga belum baik. Spekulan masih “bermain”. Perlu badan khusus di daerah yang membeli karet dengan harga layak saat harga anjlok. Di hilir, perlu industri hilir (barang jadi) agar penyerapan dalam negeri optimal.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak Eddy Suratman, menilai, masalah itu terjadi karena persoalan klasik yang tidak pernah dituntaskan pemerintah. Dari sisi proses produksi pemerintah memang sudah banyak berbuat.
“Namun, soal pasca panen, petani bertarung sendiri di pasar. Padahal, dalam tata niaga komoditas terdapat ‘simpul-simpul’ masalah, yakni banyaknya pengepul. Apalagi nilai tukar petani di semua komoditas semakin menurun menuju ke 92. Artinya kesejahteraan petani masih jauh,” papar Eddy.
Terus berupaya
Gubernur Kalbar Sutarmidji, mengatakan, harga kopra dan karet sangat dipengaruhi harga pasar global. Harga minyak kelapa dunia saja menurun pada 2018 mencapai 1.600 dollar AS per metrik ton dan sekarang hanya 720 dollar AS per meterik ton. Nasib petani juga tergambar dalam nilai tukar petani Kalbar yang baru berkisar 93-96. Jadi petani belum sejahtera. Idealnya di atas 100.
Untuk komoditas karet, tata niaganya masih panjang. Setidaknya ada tiga tingkatan tata niaganya. Dari tangan petani masih melalui tiga pengepul baru ke langsung pabrik. Tata niaga ini juga menggerus harga karet.
Pemerintah terus berupaya mengatasi masalah anjloknya harga komoditas rakyat. Bahkan, ada investor dari Banglades yang ingin berinvestasi di Kalbar. Investor masih mengkaji potensinya.
Ia telah meminta Dinas Perkebunan untuk mengevaluasi masalah pada komoditas kopra dan karet. Selain itu, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) penting perannanya. BUMDes diharapkan menampung komoditas rakyat, sehingga tata niaganya tidak panjang. Dari BUMDes langsung ke pabriki. BUMDes dibantu tim ahli mengontrol kualitasnya.