Sejumlah Peluang Tak Dimanfaatkan dalam Keberpihakan
Keberpihakan kepada pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta ruang kehidupannya belum diterapkan pada sejumlah instrumen yang tersedia. Jika sejumlah instrumen diterapkan serius, konflik di lapangan berkurang.
Oleh
Ichwan Susanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberpihakan terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta ruang kehidupannya belum diterapkan pada sejumlah instrumen yang tersedia. Jika sejumlah instrumen, seperti hasil Inkuiri Nasional yang diselenggarakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ataupun penghentian pemberian izin baru, baik perkebunan sawit maupun kehutanan, diterapkan secara serius, akumulasi konflik di lapangan bisa dikurangi.
Di lapangan, sejumlah masyarakat adat yang memiliki dan mengelola ruang kehidupannya sebelum negara terbentuk malah kehilangan hutan dan juga lahannya. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah diingatkan kembali untuk menempatkan keberpihakan kepada masyarakat adat.
Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi, Senin (23/9/2019), di Jakarta, menyatakan, instruksi presiden mengenai moratorium sawit memiliki peluang untuk mengevaluasi izin-izin perkebunan sawit eksisting. Namun, hingga setahun perintah presiden ini diterbitkan, belum ada perusahaan sawit yang dievaluasi.
Ia mengatakan, prioritas evaluasi perizinan sawit bisa menggunakan data dan fakta yang ditemukan Komnas HAM dalam program Inkuiri Nasional. Di situ terdapat sejumlah rekomendasi agar pemerintah menjalankan penegakan hukum, penghentian izin, hingga pencabutan izin.
”Tapi (rekomendasi) ini tak dilakukan sampai sekarang,” kata Erasmus di sela-sela peluncuran laporan Human Rights Watch (HRW) berjudul ”Kehilangan Hutan Berarti Segalanya: Perkebunan Kelapa Sawit dan Pelanggaran HAM di Indonesia”.
Pada laporan HRW itu pun dilakukan survei dan wawancara dua masyarakat adat di Sarolangun Jambi (komunitas Rimba Suku Anak Dalam) dan Bekayang Kalimantan Barat (suku Dayak Iban Semunying Jaya).
Masyarakat adat Dayak Iban Semunying Jaya masuk dalam program Inkuiri Nasional. Masyarakat di kedua suku ini tersingkir sejak hutan yang menjadi ruang hidup mereka dibuka untuk perkebunan sawit atas nama izin dari pemerintah.
Erasmus mengatakan, laporan HRW itu merepresentasikan kondisi masyarakat adat pada umumnya di Indonesia. Menurut catatan AMAN, ada 30-an komunitas masyarakat adat yang termarjinalkan oleh perkebunan sawit ataupun pembukaan hutan untuk perkebunan sawit selama lima tahun terakhir. Lokasinya sebagian besar berada di Sumatera dan Kalimantan.
Masyarakat adat, katanya, meski diakui dalam konstitusi negara, ingkar dalam aturan pelaksanaannya. Ini karena konstruksi hukum yang mengharuskan masyarakat adat mendapat pengakuan dalam peraturan daerah dan atau kemudian ditetapkan keberadaannya dengan surat keputusan bupati.
”Seolah-olah (pemerintah) mengakui masyarakat adat, tapi semangat dasarnya menolak keberadaan masyarakat adat,” katanya.
Di Bengkayang, pemerintah daerah setempat memiliki perda pengakuan masyarakat adat. Produk politik di daerah itu memerintahkan bupati untuk mengidentifikasi keberadaan masyarakat adat setempat. Setelah teridentifikasi, bupati bisa menerbitkan surat keputusan yang menetapkan suku Dayak Iban Semunying Jaya sebagai msyarakat adat.
Manajer Proyek Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Robert Aritonang mengatakan, keterbukaan akan data hak guna usaha (HGU) dibutuhkan sebagai bahan acuan untuk meminta evaluasi perkebunan sawit, seperti diamanatkan dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2018 terkait moratorium sawit. Ia mencontohkan pada kasus masyarakat adat Rimba Suku Anak Dalam yang menjadi lokasi laporan HRW, berpotensi untuk dievaluasi keberadaannya.
Hal itu mengingat tanaman sawit setempat diperkirakan telah berusia 20-an tahun dan mendekati peremajaan untuk peningkatan produktivitas. ”Masalahnya, izin HGU itu 35 tahun, jadi kalau telanjur dibersihkan dan ditanam ulang, akan sangat susah dilakukan evaluasinya,” katanya.
Robert mengharapkan pada saat perusahaan akan melakukan investasi baru berupa peremajaan, masyarakat adat Rimba diajak bicara dan terjamin nasibnya. Saat ini, menurut Robert dan laporan HRW, masyarakat adat Rimba tersebut tinggal di tenda-tenda terpal di kebun sawit.
”Dari banyak masyarakat adat yang saya lihat, orang Rimba ini yang hidupnya paling mengenaskan,” kata Robert yang juga antropolog.
Menurut Robert, orang Rimba murni hidup dari berburu atau menggantungkan hidup dari hutan. Untuk keterampilan berladang, katanya, sangat sedikit, bahkan minim. Kondisi ini membuat orang Rimba sulit beradaptasi ketika kehilangan hutan yang menjadi ruang hidupnya.
Robert pun mengingatkan akan janji Presiden Joko Widodo untuk memberikan ruang kelola 5.000 ha bagi orang Rimba saat kunjungan tahun 2015. Namun, hingga kini, katanya, areal ini belum terealisasikan. Ia mengakui telah terbit SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bagi orang Rimba ini.
”Tapi saat dicek oleh Bupati Sorolangun dan Batanghari, areal yang ditunjuk tersebut berupa kebun karet masyarakat, meski statusnya kawasan hutan. Kedua bupati ini telah diundang ke Manggala (Kantor KLHK), saya juga hadir, tapi tidak ada tindak lanjutnya,” katanya.
Terkait Inpres Moratorium Sawit, Direktur Divisi Perempuan HRW Heather Barr menyambut baik akan hal tersebut. Namun, hal itu dinilai tak cukup karena pelaksanaan di lapangan yang dirasakan masyarakat, terutama masyarakat adat.
Ia mengungkapkan, Indonesia telah memiliki sejumlah regulasi yang mengamanatkan perusahaan dan pemerintah untuk berkonsultasi dengan masyarakat dalam setiap rencana usaha. Namun, hal ini acap kali dikesampingkan perusahaan.
Barr mengatakan, laporan HRW merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia menyegerakan penyusunan perundangan terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Ia pun meminta pemerintah memantau pelanggaran hak masyarakat adat terkait perkebunan sawit.