Wiranto Tolak Usulan Dialog dengan Kelompok Separatis
DPRD sejumlah kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat menyampaikan aspirasi masyarakat Papua tentang perlunya pemerintah berdialog dengan kelompok separatis sebagai jalan mengatasi konflik.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menolak usulan yang menghendaki adanya dialog antara pemerintah dan kelompok separatis di Papua sebagai cara untuk mengatasi konflik yang tak kunjung usai di Papua. Aspirasi itu disampaikan oleh DPRD kota/kabupaten di Papua dan Papua Barat.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Selasa (24/9/2019), mengundang 48 anggota DPRD sejumlah kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat untuk rapat koordinasi di Kantor Kemendagri, Jakarta. Rombongan dipimpin Ketua DPRD Maybrat, Papua Barat, Ferdinando Solossa.
Di hari yang sama, mereka juga bertemu Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. Pertemuan digelar di kantor mereka masing-masing.
Di ketiga pertemuan, Ferdinando menyampaikan delapan poin aspirasi warga Papua dan Papua Barat. Salah satunya terkait perlunya dialog khusus antara pemerintah pusat dan para tokoh di Papua.
”Kami minta pemerintah untuk membuka dialog antara pemerintah pusat dan tokoh-tokoh Papua, khususnya tokoh-tokoh Papua yang dipandang memiliki ideologi yang konfrontatif atau berseberangan,” katanya.
Kelompok atau tokoh yang dimaksud Ferdinando adalah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Kelompok tersebut teridentifikasi sebagai separatis yang menginginkan Papua berpisah dari Indonesia.
Menurut Ferdinando, dialog akan menghasilkan titik temu. Selain itu, akar masalah konflik bisa diatasi dengan menggelar dialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang independen.
Namun, usulan tersebut ditolak Wiranto. Dia menyatakan, pemerintah terbuka untuk berdialog dengan siapa saja, tetapi tidak dengan ULMWP atau KNPB yang dia sebut sebagai pemberontak. Terlebih dialog difasilitasi pihak ketiga.
”Ada ekualitas kesamaan kita mau bertemu. Kalau Presiden mendengarkan suara rakyat, itu sesuatu yang wajar. Tetapi, kalau dalam bentuk pertemuan formal antara pemerintah yang sah dan pemberontak, ya, tidak bisa,” ujarnya.
Kehadiran pihak ketiga sulit diterima Pemerintah Indonesia karena Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak 1969 melalui Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2504. Dengan demikian, pihak ketiga yang memfasilitasi dialog dinilai mencampuri urusan internal Indonesia.
”Ini masalah internal Indonesia. Ada perjanjian internasional, negara luar tidak boleh mengganggu urusan dalam negeri pemerintah lain,” kata Wiranto.
Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, pemerintah tidak boleh menyerah dengan tuntutan apa pun, termasuk bertemu dengan kelompok separatis. Menurut Hikmahanto, kelompok separatis adalah pemberontak dan musuh negara.
”Jangan pernah mau bernegosiasi dengan pemberontak. Akan jadi blunder kalau pemerintah menuruti ajakan untuk bertemu ULMWP,” ujarnya.
Hikmahanto mendorong pemerintah serta aparat penegak hukum meredam kerusuhan dengan pendekatan persuasif. Dia juga berharap polisi dan TNI tidak termakan provokasi ketika menjaga keamanan di Papua.