Ada oknum yang menghasut mahasiswa untuk berbuat ricuh saat unjuk rasa, kemarin. Oknum ini tak mengenakan atribut kampus mana pun. Saat unjuk rasa ricuh, BEM Trisakti bahkan telah menarik mundur mahasiswanya.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah badan eksekutif mahasiswa menengarai adanya upaya mendelegitimasi gerakan mahasiswa sehingga unjuk rasa di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin, berakhir ricuh. Meski demikian, mereka berkomitmen akan terus mengawal pembahasan sejumlah rancangan undang-undang yang bermasalah.
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia Manik Marganamahendra mengatakan, ada oknum yang menghasut massa mahasiswa untuk berbuat ricuh saat unjuk rasa menolak sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang bermasalah digelar.
Oknum tersebut, kata dia, tidak mengenakan atribut kampus mana pun. Padahal, para peserta demonstrasi telah diminta mengenakan almamater dan melengkapi diri dengan kartu tanda mahasiswa.
”Itu oknum yang ada di dalam massa. Bukan massa yang ingin menyampaikan aspirasi. Kami rasa itu massa di luar massa kami yang membuat kegaduhan,” ujarnya di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Dia mengatakan, kericuhan dimulai saat mahasiswa hendak berdialog dengan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Tiba-tiba, ada sekelompok orang yang mengarahkan untuk menggoyang pintu gerbang Kompleks Parlemen, Senayan.
Setelah itu, mereka membakar sesuatu yang memicu polisi mengerahkan mobil water cannon untuk menyemprot mahasiswa. Tidak berhenti sampai di sana, polisi juga menembakkan gas air mata ke arah kerumunan mahasiswa.
Manik mengatakan, ulah oknum tersebut telah mendelegitimasi gerakan mahasiswa. Kericuhan yang terjadi saat unjuk rasa berpotensi membuat publik tidak lagi percaya kepada mahasiswa.
”Padahal ini gerakan yang betul-betul gerakan organik, massa yang meluapkan kemarahannya kepada penguasa,” katanya.
Pendapat serupa disampaikan Presiden BEM Universitas Gadjah Mada Atiatul Muqtadir yang menduga ada massa yang memprovokasi mahasiswa. Dia menjamin kerusuhan yang terjadi saat unjuk rasa bukan dipicu oleh mahasiswa.
”Kerusuhan tidak menjadi tujuan dari Aliansi Mahasiswa Indonesia,” ucapnya.
Tetap mengawal
Setelah melihat DPR bersama pemerintah memutuskan menunda pengesahan empat rancangan undang-undang (RUU) yang bermasalah, BEM UGM memutuskan untuk menahan diri. Terlebih setelah unjuk rasa di Kompleks Parlemen, kemarin, berujung ricuh.
Namun, Atiatul memastikan, BEM UGM akan terus mengawal pembahasan keempat RUU kontroversial tersebut. Keempat RUU dimaksud, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba.
Adapun revisi UU KPK yang telah disetujui dan disahkan menjadi undang-undang oleh DPR bersama pemerintah, BEM UGM menyatakan mendukung langkah pegiat antikorupsi mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
”Saya pastikan kemarin bukan bentuk perjuangan terakhir, tetapi perjuangan berikutnya akan dilakukan, baik lewat aksi massa maupun melalui jalur hukum,” katanya.
Lelah dibohongi
Komitmen untuk terus mengawal pembahasan RUU bermasalah muncul karena Atliatul mengaku sudah lelah dibohongi oleh DPR dan pemerintah. Jika tak dikawal, bukan tidak mungkin pasal-pasal yang kontroversial bakal lolos.
Ucapan elite DPR yang menyatakan telah memenuhi permintaan mahasiswa untuk menunda pengesahan RUU dinilai sebagai pemanis belaka agar situasi keamanan tidak menjadi lebih buruk.
”Ketika disampaikan ditunda, masih ada kemungkinan (RUU) diloloskan, ini perlu terus dikawal. Belum semua tuntutan kami dipenuhi, terutama soal RUU KPK. Kami tak ingin kecolongan lagi,” katanya.
Instruksi mundur
Sementara itu, Presiden BEM Universitas Trisakti Dinno Ardiansyah mengatakan telah meminta rekan-rekannya di Trisakti untuk mundur saat unjuk rasa kemarin mulai tidak terkendali. Langkah itu diputuskan lantaran tak ingin rekan-rekannya terprovokasi oknum-oknum bukan mahasiswa yang turut dalam unjuk rasa.
Dinno menyampaikan, ada rencana mahasiswa mendatangi Istana Presiden untuk mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang bisa menganulir RUU KPK yang telah disahkan pemerintah dan DPR.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menilai demonstrasi sudah tidak relevan lagi dilakukan. Hal itu karena DPR dan pemerintah telah bersepakat untuk menunda sejumlah RUU yang menuai penolakan publik.
”Masukan bisa diberikan lewat jalur-jalur yang lebih etis dan terhormat, yakni dialog yang konstruktif baik dengan DPR periode berikutnya atau dengan pemerintah. Karena itu, saya imbau agar rencana demonstrasi yang menyangkut penolakan tentang RUU yang ditunda itu lebih baik diurungkan karena hanya menguras energi kita,” tutur Wiranto di kantornya.