Kritik menggunakan kalimat satire menjadi warna baru pergerakan mahasiswa. Dekan Fakultas Komunikasi Universitas Islam Bandung Septiawan Santana Kurnia mengatan, hal itu tak lepas dari kultur generasi milenial.
Oleh
·4 menit baca
Tiga hari terakhir, media massa dihujani pesan-pesan menggelitik dari peserta unjuk rasa mahasiswa di sejumlah kota di Tanah Air. Gelombang ”panas” penolakan sejumlah revisi undang-undang diwarnai poster-poster pesan menggelitik, mengundang senyum atau tawa berderai.
Selasa (24/9/2019), awan mendung memayungi ribuan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Bandung di depan Kantor DPRD Jawa Barat. Suara mereka lantang. Di antara tajamnya kritik lewat kata, hadir poster bertuliskan kalimat satire, menyindir penguasa.
”Aku kira yang lemah cuma hatiku. Ternyata KPK juga”. Ditulis dengan spidol biru di atas kertas karton putih, pesan yang dibentang Fajar (20) itu mencolok. Poster ini mengkritik revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai bermasalah karena melemahkan KPK.
”Kami kritik dengan kalimat lucu karena alasan merevisi UU KPK juga lucu. Rakyat menunggu kasus-kasus korupsi terus dibongkar, KPK justru dilemahkan,” ujar mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara (STIA LAN) Bandung itu. Ia datang bersama 150 mahasiswa dari kampusnya.
Ada lagi, ”Ayam bapakku salah apa? RKUHP Pasal 278”. Pasal itu mengatur setiap orang yang membiarkan unggasnya berjalan di tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan denda paling banyak kategori II.
Selain menyoroti revisi UU KPK dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat Negara (Alarm) itu juga meminta pembahasan ulang RUU Pemasyarakatan dan RUU Pertanahan serta mendesak agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) segera disahkan.
Di Jakarta, ekspresi lain terbentang melalui poster rombongan mahasiswa Universitas Indonesia. ”Akadku dan kamu aja yang sah. UU KPK jangan”.
Kata-kata dalam poster adalah cermin ketidakseriusan para anggota DPR.
Salah satu mahasiswa mengatakan, kata-kata dalam poster adalah cermin ketidakseriusan para anggota DPR. ”DPR, kan, tak pernah serius kerja. Hasil kebijakan mereka dinilai lucu. Jadi, kami kritik juga dengan ekspresi lucu,” ujarnya.
Ranah pribadi
Ekspresi unik juga tertuang dalam poster yang dibawa mahasiswa Unika Atma Jaya Jakarta. ”Cukup ortu kamu yang ganggu malam minggu. DPR jangan!”
Dari poster ini, mahasiswa ingin menyindir dan mengkritik anggota DPR. Rancangan KUHP dinilai terlalu mencampuri urusan pribadi dan menimbulkan ancaman serta ketidakadilan bagi rakyat kecil, khususnya kaum perempuan.
”Bagaimana dengan perempuan yang diperkosa terus memilih menggugurkan kandungan, terus kena penjara,” kata Cindy Larasati, mahasiswi semester akhir Jurusan Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Hari itu, seharusnya ia bimbingan skripsi.
Semangat juang juga diserukan Dara Tanjung Maharani (20). Kedua tangannya diangkat tinggi sembari berteriak, ”DPR bangun, DPR bangun, DPR bangun.” Seketika posturnya yang mungil menjadi perhatian di tengah keramaian mahasiswa.
”DPR Bangun! Kebanyakan Tidur Bikin RUU Kebawa Mimpi”. Itulah tulisan poster yang diangkatnya tinggi-tinggi. ”Anggota DPR terkenal sering tidur pas rapat. Mungkin saat buat RUU, mereka ngantuk. Jadi ngaco,” ucap Dara.
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Bakrie itu berpanas-panas bersama mahasiswa lain dari berbagai kampus dan kota untuk menyuarakan kegelisahan. Menurut dia, DPR sama sekali tak mendengarkan aspirasi rakyat.
”RUU PKS yang melindungi korban kekerasan seksual ditunda-tunda. Orang zina diurusin, kayak situ (DPR) gak zina saja. Prioritasnya seperti apa?” katanya.
Kritik jenaka juga muncul saat aksi ”Gejayan Memanggil” di Yogyakarta, Senin lalu. Penggalan lirik lagu Didi Kempot dicomot. ”Pak, opo salah rakyatmu iki?”. Dalam bahasa Jawa, kalimat itu ingin mempertanyakan kesalahan apa yang diperbuat rakyat.
Ada pula yang menulis surat izin di poster. ”Bu, kula pamit turun ke jalan. DPR’e pekok”. Mahasiswa pamit kepada ibunya turun ke jalan. Wakil rakyat dinilai tidak beres.
Mustofa Rahman (23), mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, mengatakan, kata-kata jenaka dari poster-poster tersebut menjadi cara mahasiswa menyampaikan aspirasi. ”Kami bergerak atas nama rakyat. Kami ingin rakyat bersimpati. Cara pendekatan yang bisa dilakukan adalah melalui humor,” ucapnya.
Kami ingin rakyat bersimpati. Cara pendekatan yang bisa dilakukan adalah melalui humor.
Warna baru
Kritik menggunakan kalimat satire menjadi warna baru pergerakan mahasiswa. Menurut Dekan Fakultas Komunikasi Universitas Islam Bandung Septiawan Santana Kurnia, hal itu tak lepas dari kultur yang berkembang di generasi milenial.
”Gaya mereka lebih santai dan ceria, tetapi bukan lemah. Gugatan mereka justru tajam lewat kritik dalam bentuk sindiran,” ujarnya.
Hal itu tak lepas dari kondisi sosial politik saat ini. Dia membandingkan dengan gerakan mahasiswa periode sebelumnya. Pada gerakan mahasiswa di zaman Orde Baru, misalnya, mahasiswa lebih agresif karena melawan pemerintah yang represif lewat kekuatan militer. ”Situasi berubah. Ini kemajuan kreativitas dalam menggugat sesuatu,” ujarnya.
Hari-hari penuh satire dalam dunia pergerakan hari ini sepertinya belum akan berakhir. Di tangan anak kekinian, kreativitas menjadi daya gedor yang mengena. (TAM/SEM/IKI/GIO/DAN/FAI/AIN/NCA)