B JOSIE SUSILO HARDIANTO dan FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA dari New York, AS
·4 menit baca
NEW YORK, KOMPAS – Meskipun cuaca kota New York dalam tiga hari terakhir cerah, “awan” isu perubahan iklim gelap menggantung. Sadar akan dampak perubahan iklim yang telah dirasakan di berbagai belahan dunia, komunitas negara-negara di dunia dan sektor swasta bersinergi menjawab tantangan tersebut.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Iklim yang digelar sehari menjelang pembukaan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Markas Besar PBB, New York, AS, Senin (23/9/2019), para pemimpin negara dan sektor swasta dengan tegas mendukung upaya global untuk menahan laju peningkatan suhu, yaitu kurang dari 1,5 derajat celsius.
Dalam pernyataan pers, PBB menyebutkan, dunia perlu meningkatkan upaya memerangi kenaikan suhu global. Jika dunia tidak mampu menahan laju peningkatan suhu atau suhu global dibiarkan meningkat lebih dari 1,5 derajat celsius, dunia akan terjerumus dalam kerusakan iklim parah. Situasi itu akan menyebabkan kerusakan besar yang tidak dapat dikembalikan lagi.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak agar dunia tidak pesimis dengan situasi saat itu. Ia menegaskan, KTT Iklim di New York sejatinya adalah KTT tentang “aksi iklim”. Artinya, PBB ingin mengajak setiap pemangku kepentingan untuk beraksi, bukan lagi hanya berkata-kata. “Anda tidak bernegosiasi dengan alam,” tegas Guterres.
Ia kemudian menambahkan, bahwa kehadiran para pemimpin dunia dalam pertemuan itu adalah menunjukkan komitmen serius atas aksi itu. Guterres mendorong implementasi Perjanjian Paris antara lain investasi untuk masa depan hijau. Para pemodal pun didorong untuk meningkatkan aksi mereka dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki.
Komitmen bersama
Dalam KTT Iklim itu, sebanyak 77 negara berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi nol pada tahun 2050, sementara 70 negara mengumuman mereka akan meningkatkan rencana aksi nasional mereka pada tahun 2020 atau telah memulai proses untuk itu. Selain itu, lebih dari 100 pemimpin bisnis memberikan tindakan konkret untuk menyelaraskan dengan target dan kecepatan Perjanjian Paris, yaitu meningkatkan transisi dari ekonomi abu-abu ke hijau, dan lebih dari 100 kota--termasuk banyak kota terbesar di dunia--mengumumkan langkah konkret baru untuk memerangi krisis iklim.
Beberapa contoh aksi yang akan dilakukan adalah, Perancis mengumumkan, mereka tidak akan mengadakan perjanjian perdagangan dengan negara-negara yang memiliki kebijakan bertentangan dengan Perjanjian Paris. Jerman berkomitmen untuk netralitas karbon pada tahun 2050.
Adapun Inggris memberikan kontribusi tambahan besar untuk pendanaan iklim hingg sebesar 11,6 miliar poundsterling untuk periode tahun 2020-2025. India berjanji untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan menjadi 175 gigawatt pada tahun 2022 dan berkomitmen untuk lebih lanjut meningkat menjadi 450 gigawatt.
Sementara China menjanjikan akan memangkas emisi lebih dari 12 miliar ton per tahun, dan akan mengejar jalur yang tinggi pertumbuhan kualitas dan pembangunan rendah karbon.
Sektor swasta tidak ketinggalan, sebanyak 87 perusahaan besar dengan kapitalisasi pasar gabungan lebih dari 2,3 triliun dollar AS menjanjikan mengurangi emisi dan menyelaraskan bisnis mereka dengan apa yang menurut para ilmuwan diperlukan untuk membatasi laju peningkatan suhu global. Pendek kata, para pemimpin dunia dan sektor swasta sepakat bahwa aksi iklim harus dipercepat.
Dukungan Indonesia
Dalam kesempatan itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, bahwa Indonesia pun sekapat untuk aksi serupa. “Kami mendengarkan Greta Thunberg,” kata Wapres Kalla merujuk aktivis remaja yang lantang menyuarakan dan mengkampanyekan aksi iklim.
Wapres Kalla dengan terbuka mengatakan, Indonesia adalah salah satu contoh negara yang terimbas parah oleh perubahan iklim. “Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, telah membuat negara-negara yang rawan bencana menjadi lebih rentan. Indonesia adalah contohnya. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di beberapa bagian Sumatra dan Kalimantan, diperburuk oleh dampak perubahan iklim. Meskipun tidak mudah, Indonesia telah mengambil langkah-langkah serius untuk mengatasi tantangan besar ini,” kata Wapres Kalla.
Indonesia, menurut Wapres Kalla, telah mengambil langkah-langkah untuk mengekang emisi gas rumah kaca. Dengan upaya sendiri, Indonesia menargetkan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen dan 41 persen--dengan dukungan internasional--pada tahun 2030.
Selain itu, di depan peserta KTT Aksi Iklim, Wapres mengatakan, Indonesia menargetkan telah merehabilitasi 12 juta hektar lahan kritis pada tahun 2030. Selain itu, Indonesia akan membangun fasilitas pendanaan lingkungan khusus untuk memfasilitasi pendanaan iklim dan mendukung program lingkungan lainnya.
"Keberhasilan implementasi Perjanjian Paris tidak terletak pada individu, tetapi pada upaya kolektif... Indonesia tidak bisa melakukannya sendiri. Tindakan iklim membutuhkan tindakan kolektif. Bersama-sama kita perlu membangun planet yang sehat untuk umat manusia di masa depan. Anak-anak kita dan anak-anak mereka layak mendapatkan masa depan yang aman," kata Wapres Kalla.
Terkait KTT Aksi Iklim itu, harian The New York Times menyoroti pentingnya implementasi atas semua janji-janji itu. Dalam berita berjudul At U.N. Climate Summit, a Call for Action Yields Few Commitments, harian itu menilai sejumlah negara hanya membuat janji tambahan. Menurut media ternama AS itu, China tidak membuat mengambil langkah yang lebih kuat, bahkan AS--yang menarik diri dari Perjanjian Paris--tidak mengatakan apapun.
Kontras antara lambannya sikap mereka dengan kemendesakan isu iklim, ditegaskan Greta Thunberg. Sebagaimana dikutip The New York Times, ia mengecam para pemimpin dunia karena pendekatan yang biasa-biasa saja. “Mata semua generasi masa depan melihat anda,” kata Thunberg. "Jika Anda memilih untuk mengecewakan kami, saya katakan kami tidak akan pernah memaafkan Anda."