Nestapa "Pengantin Pesanan" di Perantauan
Selama tiga bulan terakhir, sejak akhir Juni 2019, lebih dari 30 perempuan yang diduga menjadi korban perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan dari China berhasil dipulangkan ke Tanah Air.
”Saya enggak bisa melukiskan perasaan saya dengan kata-kata. Pokoknya senang banget bisa pulang lagi ke Indonesia karena susah banget perjuangannya untuk pulang,” ujar NH (36), asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (22/9/2019), di Jakarta.
NH adalah satu dari puluhan korban perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan dari China. Dia berhasil pulang ke Tanah Air setelah lebih tujuh bulan tinggal di China bersama “suami” yang dijodohkan dengan dirinya oleh mak comblang. Selama di China, selain dipaksa bekerja sebagai karyawan cleaning service di perusahaan keluarga suaminya, NH juga mengalami pelecehan seksual.
Seperti korban pengantin pesanan lainnya, NH yang telah memiliki tiga anak (dari perkawinan sebelumnya, tetapi bercerai) terpaksa menerima tawaran dari mak comblang pada awal Januari 2019 karena terdesak oleh kebutuhan keluarga. Dia dijanjikan akan menerima mahar Rp 15 juta (tetapi yang diterima hanya Rp 5 juta) dan bisa mengirim uang untuk anak-anaknya di Indonesia setiap bulan sebesar 1.500 yuan.
”Saya ditipu karena ternyata janjinya tidak sesuai dengan kenyataan,” kata NH.
NH bisa pulang ke Indonesia setelah melarikan diri ke kantor polisi di China. Ia dibantu polisi menuju stasiun untuk ke Konsulat Jenderal RI untuk melaporkan kasusnya. Sebelum sampai ke KJRI, dia dikontak anak buah LS (mak comblang yang rekrut NH) dan diminta ke bandar udara saja karena sudah dibelikan tiket pulang. Diduga karena takut dilaporkan, mereka membelikan NH tiket pulang.
NH bisa pulang ke Indonesia setelah melarikan diri ke kantor polisi di China. Ia dibantu polisi menuju stasiun untuk ke Konsulat Jenderal RI untuk melaporkan kasusnya.
Praktik perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan dari China mencuat akhir Juni 2019 dan terus bergulir, seiring pulangnya perempuan-perempuan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang didampingi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Kasus tersebut mendapat perhatian publik dan pemerintah karena mereka membuka modus-modus yang digunakan jaringan pelaku, yang berperan mulai dari mak comblang sampai mengurus ”perkawinan”, mengurus dokumen di dinas kependudukan dan catatan sipil (Disdukcapil), mengurus paspor dan visa, hingga pemberangkatan ke China.
Selama tiga bulan terakhir, sejak akhir Juni 2019, lebih dari 30 perempuan yang diduga menjadi korban perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan dari China berhasil dipulangkan ke Tanah Air. Ada yang pulang dengan bantuan Kementerian Luar Negeri, ada juga yang melarikan diri dan dibantu pemulangannya, termasuk dipulangkan oleh agen atau mak comblang yang merekrut mereka.
Korban yang pulang dan diadvokasi oleh SBMI berjumlah 17 orang. Mereka pulang pada periode Juni-September 2019, sedangkan yang dipulangkan melalui Kementerian Luar Negeri sebanyak 18 orang (September 2019).
Sekretaris Jenderal SBMI Bobi Anwar Ma’arif mengungkapkan, sejauh ini para korban pengantin pesanan tidak hanya dari Kalimantan Barat, tetapi juga dari Jakarta, Bogor, Kabupaten Bandung, dan Tegal. Dari informasi para korban di China masih banyak perempuan lain mengalami nasib yang sama.
Para korban pengantin pesanan tidak hanya dari Kalimantan Barat, tetapi juga dari Jakarta, Bogor, Kabupaten Bandung, dan Tegal.
Meskipun sudah banyak yang pulang dan ada korban yang batal berangkat, menurut Bobi, jaringan pelaku TPPO modus pengantin pesanan tetap saja beroperasi. Bahkan, wilayah jangkauannya semakin luas dan terorganisir.
”Kasus NH membuktikan, ketika ada calon yang mengundurkan diri, jaringan pelaku kemudian mengambil dari daerah lain. Bahkan, diduga jaringan A dan LS sudah menyebar di Pulau Jawa. Mereka terorganisir, tidak sendirian, bahkan bisa menyetir oknum di Dinas Dukcapil di Bengkayang, Kalbar, dan beberapa daerah,” tutur Bobi.
Masih dianggap sepele
Kendati kasusnya terus mencuat dan SBMI bersama korban telah melapor kepada kepolisian, sejauh ini langkah-langkah aparat penegak dinilai belum optimal dan belum membuat efek jera pelaku. ”Aparat penegak hukum masih menganggap kasus itu sepele,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional SBMI Hariyanto, beberapa waktu lalu.
Bahkan, beberapa waktu lalu, saat Kompas menghubungi pihak kepolisian dan menanyakan proses hukum atas M yang diduga jaringan pelaku, yang sempat ditangkap di Bandar Udara Soekarno-Hatta saat membawa dua perempuan asal Kalbar yang diduga kuat korban pengantin pesanan. Jawaban dari pihak kepolisian adalah unsur TPPO tidak terpenuhi.
Sampai saat ini, jaringan pelaku pengantin pesanan terus beraksi hingga pelosok-pelosok desa untuk merekrut perempuan, calon pengantin pesanan. Korban yang diincar adalah perempuan-perempuan dari keluarga ekonomi lemah sehingga dengan mudah bisa dipengaruhi atau diiming-imingi uang.
Hampir semua korban tidak tahu kalau mereka menjadi korban perdagangan orang. Mereka baru mengetahui kalau suaminya yang asal China mengeluarkan dana mulai dari Rp 400 juta hingga Rp 700 juta setelah mereka tinggal di China. Padahal, dari mak comblang dan jaringannya, para korban hanya menerima dana mulai Rp 5 juta hingga Rp 15 juta.
Para korban juga dibuat percaya bahwa mereka menjalani perkawinan yang normal karena jaringan pelaku mengurus akta perkawinan di disdukcapil. Bahkan, ada pencatatan nikah ada yang dilakukan di kantor dinas. Beberapa korban data-datanya dipalsukan, seperti umur dan alamat.
Para korban juga dibuat percaya bahwa mereka menjalani perkawinan yang normal karena jaringan pelaku mengurus akta perkawinan di disdukcapil.
Anak-anak di bawah umur juga menjadi incaran, seperti yang dialami IP (14) asal Kalbar, yang diberangkatkan ke China pada saat berusia 13 tahun. Data-datanya dipalsukan. Saat di China, IP dieksploitasi, dipaksa menjalani hubungan suami-istri, bahkan setiap hari diberikan suntikan yang diduga untuk menyuburkan kandungan.
Karena itulah, selain penegakan hukum yang serius, pemerintah juga harus menindak oknum-oknum di disdukcapil yang bermain mata dengan pelaku TPPO modus pengantin pesanan. Pengawasan juga harus dilakukan saat mengurus paspor.
Selain penegakan hukum yang memberikan efek jera bagi para pelaku, mengedukasi masyarakat agar tidak mudah terpengaruh dengan iming-iming pelaku, serta kerja sama semua pemangku kebijakan adalah kunci untuk mencegah dan memberantas TPPO modus pengantin pesanan.
Perlu upaya serius
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas) Thaufiek Zulbahary menegaskan perlu ada upaya serius dari pemerintah dan berbagai kalangan untuk memberantas jaringan pelaku TPPO modus pengantin pesanan. ”Kalau tidak, sindikat pelaku sudah mengambil keuntungan dari korban dan akan terus-menerus melakukan hal itu,” katanya.
Ia mengapresiasi upaya Kemenlu yang melakukan diplomasi dengan Pemerintah China sehingga bisa memulangkan 18 orang. Namun, dari informasi yang diperoleh, beberapa korban belum bisa dipulangkan karena kendala dalam proses perceraiannya. Meskipun dokumen yang dibawa dari Indonesia ada pemalsuan, ketika di China ada perkawinan yang disahkan menurut hukum di China.
Ketika melakukan pertemuan bilateral dengan Wang Yi, State Councilor/Menteri Luar Negeri China pada akhir Juli 2019, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi selain meminta pemulangan 18 korban difasilitasi, juga meminta agar proses legalisasi pernikahan campuran, baik di Kedubes China maupun di China, dapat dilakukan dengan pemeriksaan dokumennya lebih teliti.
Saat itu, Menlu Retno juga menyampaikan beberapa tersangka ditangkap di Indonesia serta meminta kerja sama Pemerintah China untuk melakukan penegakan hukum dengan menangkap para agen pengantin pesanan yang beroperasi di China.
Upaya dan diplomasi yang dilakukan Menlu tidak cukup, perlu ada upaya bersama untuk mencegah dan memberantas TPPO modus pengantin pesanan. Karena itu, penegakan hukum yang memberikan efek jera bagi para pelaku, sosialisasi ancaman TPPO dan mengedukasi masyarakat agar tidak mudah terpengaruh dengan iming-iming pelaku, serta sinergi semua pemangku kebijakan harus jalan. Tanpa itu, perempuan-perempuan di Tanah Air akan terus terancam dan daftar korban akan semakin panjang.