Berbagai masalah pertanahan dan infrastruktur pertanian menjadi tuntutan para pengunjuk rasa di sejumlah daerah dalam memperingati Hari Tani Nasional.
MATARAM, KOMPAS Peringatan Hari Tani Nasional ke-59, Selasa (24/9/2019), diwarnai aksi unjuk rasa di sejumlah daerah. Mereka antara lain menolak penetapan Rancangan Undang- Undang Pertanahan, Rancangan KUHP, serta menuntut keberpihakan pemerintah kepada petani.
Di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 100 lebih pengunjuk rasa, antara lain dari Front Perjuangan Rakyat Nusa Tenggara Barat (FPR NTB), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi NTB, Front Mahasiswa Nasional, dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria, menolak penetapan RUU Pertanahan dan mendesak pemerintah menindak tegas pelaku pembakaran hutan dan lahan di Sumatera serta Kalimantan.
Unjuk rasa berupa orasi dan aksi teatrikal itu dilakukan di depan Kantor Gubernur NTB, pukul 10.00 Wita. Perwakilan pengunjuk rasa diterima Penjabat Sekretaris Daerah NTB H Iswandi dan jajarannya. Koordinator FPR NTB Habiburrahman mengatakan, beberapa pasal dalam RUU Pertanahan dinilai hanya menguntungkan para tuan tanah dan perusahaan pemegang konsesi pertanahan serta menghilangkan hak rakyat atas tanah. Bahkan, beberapa pasal mengandung unsur kriminalisasi bagi kaum tani yang mempertahankan tanah dari penggusuran.
Di Banyuwangi, mahasiswa dan petani mendatangi kantor DPRD dan menyerukan sejumlah tuntutan, antara lain penolakan revisi UU KPK dan Rancangan KUHP. Mereka juga mengangkat isu lokal, seperti industrialisasi dan pertambangan emas. Pengunjuk rasa minta bertemu dengan pimpinan DPRD dan Bupati Banyuwangi. Namun, menurut Kapolres Banyuwangi Ajun Komisaris Besar Taufik Herdiansyah Zeinardi, semua sedang ke luar kota.
Di kantor Gubernur Kalimantan Barat, mahasiswa, buruh, dan petani meminta pemerintah memulihkan harga sejumlah komoditas rakyat yang anjlok, seperti kopra, karet, serta lada putih dan lada hitam. Dalam dialog dengan perwakilan massa, Gubernur Kalbar Sutarmidji mengatakan, pemerintah terus berupaya mengatasi anjloknya harga komoditas rakyat serta mengundang investor ke Kalbar. Ia juga meminta dinas perkebunan mengevaluasi masalah pada komoditas kopra dan karet.
Di Jakarta, para petani yang tergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria berunjuk rasa di depan Istana Negara dan mengusung beberapa isu, seperti reforma agraria dan penundaan RUU Pertanahan. Perwakilan Serikat Petani Pasundan, Agustiana, yang juga koordinator lapangan unjuk rasa, diterima Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka. Presiden didampingi Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Persoalan yang disampaikan dicatat dan akan diselesaikan.
Keluhan petani sawit
Sementara itu, dalam diskusi ”108 Tahun Sawit Indonesia: Bagaimana Nasib Petani Kini” di Yogyakarta, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto menilai, berbagai kebijakan pemerintah terkait komoditas kelapa sawit belum bermanfaat nyata pada petani sawit. Hingga kini, petani sawit masih mengalami sejumlah persoalan, seperti produktivitas rendah, harga jual produk murah, kesulitan mendapatkan pupuk, serta ketiadaan sarana dan prasarana yang memadai.
Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit tak berjalan sehingga petani tidak memperoleh manfaat. Dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit tidak dirasakan manfaatnya oleh petani.
Di Karawang, Jawa Barat, sejumlah petani mengeluhkan rusaknya saluran irigasi. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karawang Hanafi Chaniago mengakui hal itu. Pihaknya tidak bisa melakukan perbaikan keseluruhan karena hal itu melibatkan berbagai pihak terkait serta ada keterbatasan anggaran.(ZAK/GER/ESA/INA/MEL/HRS)