Semua pihak harus bersikap dengan kepala dingin menyusul gelombang unjuk rasa yang masih terjadi di Jakarta dan sejumlah daerah. Sebab, bentrokan hanya akan merugikan aparat keamanan dan pedemo itu sendiri.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Semua pihak harus bersikap dengan kepala dingin menyusul gelombang unjuk rasa yang terjadi di Jakarta dan sejumlah daerah di Indonesia. Sebab, bentrokan hanya akan merugikan aparat keamanan dan pedemo itu sendiri.
Juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto, di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (26/9/2019), mengatakan, saat banyak orang berkumpul, emosi cenderung lebih kuat ketimbang rasio atau akal sehat. Itu berdampak adanya bentrokan, perusakan dan lainnya.
“Apabila bentrok, polisi korban, adik-adik mahasiswa juga korban. Sama-sama rugi. Harus selalu kita ingatkan untuk tidak ada pelanggaran. Semua pihak, siapapun, termasuk aparat keamanan dan pedemo perlu diingatkan agar meski hati panas, kepala dingin,” ujar Wawan.
Wawan menuturkan, unjuk rasa terkait sejumlah hal, termasuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah ditunda, diperbolehkan. Namun, pedemo perlu diingatkan untuk berhati-hati agar aksi mereka tidak disusupi.
Apabila bentrok, polisi korban, adik-adik mahasiswa juga korban. Sama-sama rugi. Harus selalu kita ingatkan untuk tidak ada pelanggaran. Semua pihak, siapapun, termasuk aparat keamanan dan pedemo perlu diingatkan agar meski hati panas, kepala dingin, ujar Wawan.
“Banyak kepentingan dan kita harus mencegah itu. Jangan sampai, ada sesuatu yang masuk, tetapi tidak disadari oleh adik-adik yang berdemo. Kalau peraturan dilanggar dan ada tindakan anarkis, tentu ada sanksinya. Silakan demo, tetapi peraturan jangan dilanggar,” kata dia.
BIN, ujar Wawan, memberi atensi pada situasi saat ini. “Semua akan kami lihat dan nantinya ada evaluasi. Yang jelas, menyampaikan pendapat dilindungi Undang-Undang dan itu tak masalah. Soal demonya tak masalah, tetapi kami jaga agar tak ada pelanggaran yang dilakukan,” ujarnya.
Adapun situasi di Kota Semarang, hingga Kamis, kondusif. Unjuk rasa dilakukan ribuan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi hanya dilakukan pada Selasa (24/9), di depan pagar Gedung DPRD Jateng. Pagar sempat roboh karena tekanan massa, tetapi tak ada kericuhan.
Berdialog
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pun menemui massa aksi dan mengajak perwakilan mahasiswa berdialog. “Saya berharap rakyat Jateng berdemo dengan gaya dialogis dan cerdas. Apapun tuntutan yang Anda sampaikan, akan kami sampaikan kepada Presiden,” ujarnya.
Sebelumnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Franz Magnis-Suseno (rohaniwan), Abdillah Toha (mantan anggota DPR), dan Yenny Wahid (putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid) meminta aparat keamanan menghindari cara-cara eksesif dalam mengatasi unjuk rasa mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya.
Di sisi lain, mahasiswa juga harus menggunakan cara damai dan dalam koridor hukum saat menyampaikan aspirasi. Dialog mesti segera dilakukan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang muncul, seperti hasil revisi UU KPK yang telah disetujui. (Kompas, 26/9/2019).
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar unjuk rasa dihadapi secara proporsional. Aksi anarkistis dan represif tak diinginkan, tetapi ada ambang batas kesabaran, emosi, dan kelelahan yang dapat memicu situasi tak terkendali.