Saat warga Doha terlelap, para atlet maraton dan jalan cepat akan beradu cepat pada Kejuaraan Dunia Atletik 2019. Perubahan waktu lomba lebih sulit diadaptasi ketimbang perubahan cuaca.
Oleh
Yulia Sapthiani
·3 menit baca
Akan ada yang unik dalam Kejuaraan Dunia Atletik di Doha, Qatar, 27 September-6 Oktober. Di kala orang pada umumnya terlelap tidur, atlet-atlet maraton dan jalan cepat akan berlomba pada tengah malam, di tengah gemerlapnya kota Doha.
Rencana yang diumumkan pada Mei 2018 itu akan diawali pada hari pertama, Jumat (27/9/2019). Dimulai pukul 23.59 waktu setempat atau pukul 03.59 WIB, maraton putri menjadi nomor pertama yang diselenggarakan tengah malam selain maraton putra, 20 kilometer jalan cepat putra-putri, dan jalan cepat 50 km putra-putri.
Ini dilakukan untuk menghindarkan atlet dari suhu panas, termasuk pada pagi hingga menjelang tengah hari, waktu ketika atlet-atlet maraton biasanya berlomba. Data dari laman Accuweather memperlihatkan, Doha bersuhu 32 derajat celsius pada pukul 07.00 dan bisa mencapai 38 derajat pada pukul 12.00. Adapun pada tengah malam hingga dini hari, suhu turun mencapai sekitar 30 derajat.
Waktu perlombaan dinilai pelatih dan atlet menjadi tantangan terbesar dibandingkan dengan cuaca. ”Atlet harus berlomba ketika jam biologis tubuh mereka seharusnya tak melakukan itu. Ini akan jadi tantangan besar,” kata Patrick Sang, pelatih juara maraton putra Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Eliud Kipchoge (Kenya), dalam Olympic Channel.
Sang pun menyarakankan agar atlet beradaptasi dengan mengubah waktu kegiatan sehari-hari beberapa hari sebelum lomba. ”Cobalah membiasakan diri tidur siang. Dengan demikian, waktu tidur pada malam hari akan bergeser menjadi lebih malam. Itu salah satu yang bisa dilakukan untuk menyesuaikan diri,” tutur Sang, peraih perak lari 3.000 meter halang rintang putra Olimpiade Barcelona 1992.
Ketangguhan mental
Juara dunia 2011 dan 2013 maraton putri, Edna Kiplagat (Kenya), menilai, faktor terpenting mengikuti maraton pada kejuaraan dunia 2019 adalah ketangguhan mental. ”Setiap kali mempersiapkan diri untuk berlomba, mental menjadi faktor yang paling penting, mental untuk menghadapi lawan, cuaca, atau waktu untuk kejuaraan dunia kali ini. Saya tak khawatir dengan waktu lomba, mental saya telah siap untuk itu,” ujar pelari yang telah berusia 40 tahun ini.
Atlet Kenya memang tak terlalu khawatir dengan waktu lomba, apalagi cuaca. Mantan pelari yang saat ini menjadi pengurus Asosiasi Atletik Kenya, Paul Tergat, mengatakan, atlet-atlet maraton di negaranya telah terbiasa berlatih malam hari. Untuk itu, tak ada latihan khusus yang dilakukan Amos Kipruto dan kawan-kawan untuk tampil di Doha.
”Mereka selalu berlatih pukul 17.00, 18.00, bahkan 21.00, tergantung pada waktu musim panas di Eropa. Saya rasa tak akan ada masalah dengan watku lomba karena hanya beda beberapa jam dengan waktu latihan mereka,” ujar peraih perak 10.000 m putra Kejuaraan Dunia Athena 1997 dan Sevilla 1999 tersebut.
Berbeda dengan atlet Kenya, pelari Australia, Julian Spence, melakukan latihan khusus. Beberapa program dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan cuaca. Meski lomba dimulai malam hari, Spence tetap mewaspadai suhu udara panas.
Salah satu yang dilakukan dalam persiapan adalah berlatih di ruang sauna. ”Saya berlari dan meloncat-loncat di ruang sauna selama 30 menit. Itu salah satu cara untuk menjalani program aklimatisasi,” katanya.
Spence mengatakan, berlari dengan cahaya yang kurang akan menjadi tantangan lain. ”Maraton adalah kegiatan yang sangat intuitif. Berlari dalam gelap saya rasa akan memunculkan persepsi dan atmosfer yang berbeda. Ini akan menarik karena belum pernah ada yang melakukan ini sebelumnya,” katanya dalam laman media Australia, ABC.