Daya Petani di Tengah Bencana
Kondisi pascabencana kerap membuat sebagian penyintas tak berdaya. Namun, petani di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menolak menyerah untuk terus menggulirkan roda kehidupan.
Kondisi pascabencana kerap membuat sebagian penyintas tak berdaya. Namun, petani di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menolak menyerah untuk terus menggulirkan roda kehidupan. Mereka tak berpangku tangan melihat hancurnya saluran irigasi akibat bencana setahun silam.
Di bawah naungan atap rumbia, daun seledri menghijau. Hampir tak ada dedaunan sayur sop itu yang kering, layu, ataupun berbintik. Terik panas di musim kemarau tak berjejak di dua petak lahan sayuran tersebut.
Ampring Mulyono (43) dengan senyum semringah memetik sejumlah tangkai seledri dari batang yang lebat. Sudah satu ikat di genggamannya. Ia menjelajahi petak bedeng yang airnya setinggi 7 sentimeter.
Senin (9/9/2019), di sudut timur dan barat petak itu, dua mesin pompa berderu menggelontorkan air. Separuh kebun sayur berukuran 25 x 60 meter tersebut sudah tergenang air. ”Satu ikat ini beratnya 1 kilogram. Saat ini harga satu ikat Rp 20.000,” kata Ampring di kebun sayurnya di Desa Langaleso, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi.
Sejak mulai dipanen bertahap pada pertengahan Juli lalu, ia bisa menjual hingga 20 ikat seledri ke pasar setiap hari. Ampring mengantongi Rp 400.000 setiap hari. Dalam dua bulan terakhir, hasil penjualan sayur sudah menutupi biaya produksi. Artinya, sisa panen hingga enam bulan ke depan murni untuk keuntungan.
”Meskipun cukup ribet, saya memilih menanam seledri karena bisa dipanen lama. Ada keuntungan lebih untuk membayar keringat saya,” ujar warga Desa Jono Oge, Kecamatan Sigi Biromaru, tersebut.
Menanam seledri di tengah tak mengalirnya air irigasi Gumbasa di Sigi tergolong nekat. Seledri merupakan jenis sayuran yang tanahnya harus selalu basah. Untuk itu, ia perlu membangun sumur dangkal.
Saat mulai menyiapkan lahan pada Mei, ia langsung membangun sumur sedalam 6 meter. Ia menghabiskan Rp 700.000 untuk satu sumur. Tak cukup satu sumur, awal Agustus lalu ia menambah satu sumur lagi di bagian timur petak sayur dengan biaya sama.
Untuk menarik air dari sumur, mesin pompa dibutuhkan. Ampring meminjam mesin pompa milik temannya. Setiap lima hari, ia mengoperasikan pompa selama enam jam untuk mengairi lahannya. Untuk itu, ia butuh bensin 5 liter untuk setiap mesin pompa.
Pekerjaan lainnya pemasangan atap daun rumbia di awal penanaman. Atap itu harus ditopang dengan bambu kecil yang tak sedikit. ”Total saya keluarkan Rp 3 juta untuk olah kebun ini, di luar bahan bakar,” ujarnya.
Ampring lebih memilih menanam seledri daripada jenis hortikultura lain yang lebih enteng pekerjaannya, misalnya jagung atau cabai. Keduanya tak butuh air banyak dan perawatannya tak serumit seledri yang harus ada naungan.
”Kelebihan seledri bisa dipanen hingga setahun. Jagung hanya dipanen sekali. Biar susah payah, saya lebih suka seledri,” kata bapak tiga anak itu.
Pascagempa 28 September 2018, Ampring sudah dua kali mengolah lahannya untuk ditanami sayuran. Sekitar sebulan setelah bencana, ia menanami sawahnya dengan kemangi. Waktu itu air irigasi masih tersisa di saluran-saluran sekunder. Hujan pun masih turun sehingga ia tak kerepotan mengolah kemangi. Untuk pengolahan kedua, air di saluran irigasi sudah kering total, hujan pun tak ada. Sumur menjadi sumber air utama.
Kerusakan irigasi
Petani mencoba bertahan dengan membuat sumur setelah irigasi Gumbasa hancur saat gempa. Irigasi sepanjang 30 kilometer itu diperbaiki oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ditargetkan irigasi rampung pada pertengahan 2021.
Saluran irigasi ini sebelumnya menjadi sumber air untuk 7.000 hektar sawah dan kebun hortikultura di Kabupaten Sigi. Sawah dan kebun tersebut tersebar di empat kecamatan, yaitu Gumbasa, Tanambulava, Sigi Biromaru, dan Dolo.
Perbaikan irigasi untuk tahap pertama sepanjang 7 kilometer awalnya ditargetkan selesai pada April-Juli, tetapi hingga kini belum rampung. Diperkirakan perbaikan baru selesai pada akhir 2019. Pengecoran beton lantai dan dinding irigasi baru mencakup sepanjang 1 kilometer.
Sebelum mengolah sawah menjadi bedeng sayuran, Ampring sempat berpikir untuk mengungsi ke tanah kelahiran di Jawa Timur menyusul bencana silam. ”Setelah ditimbang, nanti malah nyusahin orang. Kami putuskan tetap bertahan dan mulai bekerja. Hidup mesti jalan terus,” ujar Ampring yang rumahnya rusak ringan karena gempa.
Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, hasil penjualan sayuran menjadi sandaran untuk biaya sekolah tiga anaknya. Satu anaknya duduk di bangku sekolah menengah atas, satu lainnya masih di bangku sekolah dasar, dan satu orang lagi bersiap untuk kuliah.
”Saya petani, ya, saya harus mengolah sawah. Bedanya, dulu tanam padi, sekarang sayuran yang membutuhkan air lebih sedikit ketimbang padi. Ternyata hasilnya tak mengecewakan,” kata Ampring.
Saat air irigasi masih normal, sekitar 3/4 hektar sawahnya ditanami padi dan bisa menghasilkan 2 ton beras. Hanya sebagian kecil sawahnya yang ditanami sayuran.
Berjarak 15 kilometer arah selatan dari petak bedeng Ampring, Rahmansyah (25), warga Desa Sidondo IV, Kecamatan Sigi Biromaru, juga memutar otak mengolah 0,5 hektar sawah untuk ditanami jagung. Ia memanen 1,7 ton jagung dua minggu lalu. Jagung dihargai Rp 3.500 per kilogram.
Dikurangi seluruh biaya perawatan, mulai dari bajak, pembuatan bedeng, pemasangan satu sumur, hingga bahan bakar menarik air dari sumur dengan mesin pompa, ia mengantongi Rp 2,5 juta. ”Tidak masalah kecil ataupun besar yang didapat, yang terpenting ada sandaran untuk kebutuhan harian,” ujar bapak satu anak itu.
Firmansyah kini menyiapkan petak bedeng untuk ditanami jagung lagi. Biaya perawatan kebun ke depan lebih menguras dompet karena saat ini puncak musim kemarau. Pasokan air dari sumur dilakukan lebih sering agar jagung tak gagal panen.
Ampring dan Firmasyah merupakan contoh petani yang mengolah sawahnya dengan hortikultura di tengah tak berfungsinya irigasi Gumbasa. Kebanyakan pengolah sawah membutuhkan kerja ekstra. Selain beralih tanaman, mereka juga harus menyiapkan sarana pendukung lain, seperti sumur dan mesin pompa. Ini berbeda dengan petani hortikultura yang sebagian besar sudah memiliki sumur dangkal.
Bantuan
Secara keseluruhan, petani sudah memanen dua kali dari lahannya pascabencana silam. Jagung merupakan tanaman yang paling banyak dibudidayakan. Para petani dirangsang dengan bantuan dari berbagai pihak, termasuk Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) berupa bantuan bibit dan pupuk.
Menurut Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulteng Trie Iriany Lamakampali, irigasi Gumbasa berdampak secara langsung terhadap 7.000-8.000 keluarga petani. Dari jumlah tersebut, tak lebih dari separuhnya yang telah kembali mengolah lahan. Selama ini sumbangan pertanian di daerah irigasi Gumbasa mencapai Rp 1,6 triliun.
Sawah yang tak diolah terlihat di Desa Langaleso, Kecamatan Dolo, dan Desa Sidondo I, Kecamatan Sigi Biromaru. Petak-petak sawah ditumbuhi rumput liar. Ketua Kelompok Tani Belotapura, Desa Langalelso, Isman (46), mengatakan, dari 30 anggota kelompoknya, tak sampai setengahnya yang telah kembali mengolah sawah untuk menanam hortikultura. Sebagian besar memilih beralih menjadi buruh bangunan.
Dengan keterbatasan anggaran, kata Trie, pihaknya tetap membantu petani untuk memenuhi kebutuhan air. Bantuan yang sudah diberikan, yakni pembangunan 10 sumur dangkal dan 100 unit mesin pompa bergerak.
Hingga akhir tahun ini, dinas akan membangun 10 sumur lagi. Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng Hidayat Lamakarate menyatakan, keterlambatan perbaikan irigasi Gumbasa terjadi karena mekanisme penganggaran keuangan negara, seperti lelang.
”Itu semua terpulang kepada pemerintah pusat karena mereka yang menangani. Tetapi, kami terus dorong agar pada 2020 minimal harus 50 persen perbaikan selesai sehingga pada 2021 rampung seluruhnya,” ujar Hidayat.
Melihat daya juang petani yang mencoba bertahan dengan segala cara untuk tetap bercocok tanam, sepatutnya pemerintah mendukung dengan segera menyelesaikan rehabilitasi saluran irigasi itu.