Guncangan Lima Detik, ”Alarm” Kewaspadaan bagi Ambon
Gempa bermagnitudo 6,5 yang mengguncang Pulau Ambon, Maluku, Kamis (26/9/2019), menjadi "alarm" kewaspadaan bagi masyarakat.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·4 menit baca
Kamis (26/9/2019) pukul 08.46 WIT, guncangan besar mengagetkan warga Kota Ambon, Maluku. Rumah beton berayun-ayun. Teriakan histeris terdengar di mana-mana. Warga berhamburan keluar rumah meraih benda yang bisa jadi pegangan. Bumi masih terus berayun, terasa seperti berada dalam kapal yang diterjang gelombang. Guncangan selama lima detik itu adalah gempa bermagnitudo 6,5.
Tak lama berselang, kepanikan menyergap kota berpenduduk sekitar 330.000 jiwa itu. Warga yang tinggal di dekat pesisir mencari jalan menuju ketinggian. Sebagian berlari, banyak pula yang menggunakan sepeda motor dan mobil. Mereka berusaha secepatnya mencapai dataran tinggi di kawasan Kebun Cengkeh, Karang Panjang, dan Gunung Nona.
Suasana jalanan hiruk pikuk dengan kendaraan yang berseliweran tanpa aturan sehingga menimbulkan kemacetan. Di beberapa titik, kendaraan tidak bergerak sehingga mereka yang berada dalam mobil harus keluar dan berlari. Jalur menuju dataran tinggi penuh sesak kendaraan dan warga yang berlari sambil berteriak ”air nae (tsunami)”.
Gempa paling kuat. Ini paling kuat yang pernah saya alami.
Pusat Kota Ambon berada di pesisir pantai. Permukiman yang tumbuh di pusat kota itu membentang sepanjang pesisir sekitar 4 kilometer dengan lebar dari bibir pantai ke darat kurang dari 2 kilometer. Ribuan rumah, kantor pemerintah, pusat perbelanjaan, serta pasar berada dalam cakupan itu. Diperkirakan, lebih dari 200.000 jiwa tinggal di dalamnya.
”Gempa paling kuat. Ini paling kuat yang pernah saya alami,” ujar Merry (60), ibu rumah tangga. Takut terjadi tsunami, Merry ikut berlari. Rumah Merry berada di kompleks Mardika yang berjarak sekitar 300 meter dari bibir pantai. Sejajar dengan permukaan laut, titik itu berbahaya jika terjadi tsunami.
Gempa sekuat itu otomatis menarik ingatan warga tentang bahaya tsunami yang belakangan terjadi di Tanah Air. Terlebih lagi, dalam satu pekan terakhir, beredar isu akan terjadi gempa besar dan tsunami di Ambon. Isu itu dihubungkan dengan terdamparnya ribuan ikan karang yang mati di pesisir Pulau Ambon. Fenomena alam itu oleh warga dianggap sebagai tanda akan terjadi bencana besar.
Terlebih lagi, wilayah Maluku memiliki riwayat tsunami. Naturalis Georg Everhard Rumphius (1627-1702) mencatat, lebih dari 2.000 orang tewas saat gempa dan tsunami menyapu pesisir Pulau Ambon pada 17 Februari 1674 atau sekitar 345 tahun silam. Tsunami juga pernah menenggelamkan satu desa di Pulau Seram, yakni Elpaputih (Kompas, 12 Desember 2012).
Dalam lima tahun terakhir, dampak gempa dengan kerusakan material dan korban sudah terjadi beberapa kali di Maluku, seperti di Pulau Ambalau, Kabupaten Buru Selatan, Januari 2016, serta di Kota Ambon pada November 2017. Tren frekuensi gempa di Maluku juga meningkat dari tahun ke tahun.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, kejadian gempa di Maluku di atas 1.000 kali dalam satu tahun. Pada tahun 2016, tercatat 1.222 kejadian, tahun 2017 sebanyak 1.392 kejadian, dan 2018 sebanyak 1.587 kejadian. Sepanjang 2019, hingga Kamis (26/9) ini, gempa yang terjadi di Maluku sudah melampaui 1.600 kali.
”Gempa kali ini menjadi pelajaran dan peringatan bagi kita semua agar waspada. Maluku ini sangat rawan gempa,” kata Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Ambon Andi Azhar Rusdin, Kamis siang.
Evakuasi mandiri
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, hingga Kamis petang, delapan orang dilaporkan meninggal. Korban tertimpa reruntuhan bangunan, longsoran, dan jatuh saat berkendaraan ke dataran tinggi. ”Ini masih data sementara. Kami masih terus mengumpulkan data di lapangan, termasuk korban luka dan jumlah kerusakan yang timbul,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Maluku Farida Salampessy.
Menurut pantauan, sejumlah bangunan milik pemerintah dan warga di Kota Ambon rusak. Begitu juga sejumlah rumah ibadah. Beberapa ruas jalan, termasuk yang membentang di atas Jembatan Merah Putih, retak. Kerusakan juga terjadi di Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat. Petugas masih terus melakukan pendataan.
Aktivitas warga masih terganggu hingga Kamis petang. Jalanan masih lengang. Pasar Tradisional Mardika sepi. Di Terminal Mardika tidak tampak angkutan umum. Di Jalan AY Patty, pusat kota, hampir semua toko ditutup. Jalanan itu pun tidak ramai seperti biasanya.
Di tengah kepanikan itu, tampak adanya mitigasi dan evakuasi mandiri yang dilakukan warga. Warga bergerak sendiri tanpa menunggu aba-aba dari pemerintah. Kendati gempa tak berpotensi tsunami, mereka tetap mengantisipasinya. Mereka tahu cara penyelamatan diri.
Lebih dari itu, guncangan lima detik itu memberikan peringatan kepada masyarakat Maluku bahwa mereka mendiami zona rawan gempa dan tsunami. Warga harus siap setiap saat. Waspada, karena bencana selalu mengintai.