Dialog perlu secepatnya dilakukan untuk mengatasi perbedaan pendapat terkait sejumlah rancangan undang-undang, yang memicu terjadinya gelombang unjuk rasa di sejumlah daerah.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dialog perlu secepatnya dilakukan untuk mengatasi perbedaan pendapat terkait sejumlah rancangan undang-undang, yang memicu terjadinya gelombang unjuk rasa di sejumlah daerah. Langkah yang proporsional dan jauh dari kekerasan juga dibutuhkan dalam menghadapi unjuk rasa seperti yang kembali terjadi di sekitar Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Hal ini karena korban telah berjatuhan dalam unjuk rasa yang dimulai di sekitar Kompleks Parlemen dan berakhir dengan kericuhan massa pada Selasa lalu. Catatan Polda Metro Jaya, 254 orang dirawat jalan dan 11 orang harus dirawat inap akibat kericuhan tersebut. Sebanyak 39 polisi juga cedera.
Sejumlah fasilitas umum seperti halte bus Transjakarta di kawasan Senayan dan Slipi Pejompongan juga rusak karena peristiwa ini.
Kerusakan fasilitas publik dan korban cedera diperkirakan bertambah karena unjuk rasa, kemarin, kembali terjadi di sekitar Kompleks Parlemen. Berbeda dengan unjuk rasa pada Selasa lalu yang umumnya diikuti mahasiswa, unjuk rasa kemarin dilakukan oleh pelajar sekolah menengah kejuruan (SMK).
Dengan mayoritas memakai seragam sekolah, para siswa SMK ini menyatakan mereka menolak sejumlah RUU. Namun, tidak disebutkan secara jelas RUU yang mereka tolak.
Menjelang sore, unjuk rasa mulai ricuh. Lemparan batu mulai terjadi dari pengunjuk rasa, yang dibalas semburan gas air mata dari aparat. Polisi bisa mengatasi aksi yang terjadi di belakang Gedung DPR sekitar pukul 20.00. Adapun dalam aksi di kawasan Slipi, hingga tengah malam polisi masih berupaya membubarkan massa.
Seiring dengan unjuk rasa tersebut, di media sosial banyak tersebar foto dan video kekerasan yang diduga dialami peserta unjuk rasa. Selain berpotensi menjadi persoalan baru yang memperkeruh suasana, dugaan kekerasan tersebut juga dapat menimbulkan dendam dan akhirnya menjadi lingkaran kekerasan baru.
Ironisnya, kericuhan juga terjadi dalam unjuk rasa yang kemarin dilakukan mahasiswa di kantor DPRD Sumatera Barat. Sejumlah fasilitas di kantor DPRD Sumatera Barat rusak dalam peristiwa ini.
Damai
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Franz Magnis-Suseno (rohaniwan), Abdillah Toha (mantan anggota DPR), dan Yenny Wahid (putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid) meminta aparat keamanan menghindari cara-cara eksesif dalam mengatasi unjuk rasa mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya. Pada saat yang sama, mahasiswa juga harus menggunakan cara damai dan dalam koridor hukum saat menyampaikan aspirasi.
Dialog mesti segera dilakukan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang muncul, seperti terkait hasil revisi RUU Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU, serta RUU lainnya.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan agar unjuk rasa dihadapi secara proporsional dan profesional. Aksi anarkistis dan tindakan represif sama sekali tidak diinginkan. Namun, ada ambang batas kesabaran, emosi, dan kelelahan yang dapat memicu situasi tak terkendali.
Guna menghindari hal itu, Moeldoko meminta unjuk rasa tidak dilakukan sampai malam hari. Terkait adanya tuntutan agar pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang guna membatalkan revisi UU KPK, Moeldoko meminta masyarakat menggunakan mekanisme yang ada, yakni mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Secara terpisah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta pemerintah daerah dan DPRD menampung dan meneruskan aspirasi yang disampaikan mahasiswa yang berunjuk rasa di daerah. Namun, mahasiswa harus berani bersikap jika ada kepentingan lain yang ikut serta dalam unjuk rasa yang mereka lakukan.
Reformasi Polri
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sarah Nuraini Siregar, mengatakan, kekerasan yang diduga dilakukan oknum Polri dalam menghadapi unjuk rasa dapat mengganggu reformasi Polri. ”Ide utama reformasi Polri adalah menanggalkan kultur militeristik dengan konsep paradigma polisi sipil,” katanya.
Terkait hal itu, penggunaan aparat keamanan dalam mengatasi unjuk rasa, menurut Sarah, harus dikontrol ketat. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menyatakan, oknum aparat yang melakukan kekerasan berlebihan kepada massa akan ditindak tegas, ”Perusuh (juga) harus ditindak,” katanya.