Hak Warga Berpotensi Dilanggar
RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara berisiko melanggar hak asasi warga negara. Karena itu, pengesahan RUU ini perlu ditunda agar ada ruang masukan publik secara luas.
JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat sipil mengingatkan, RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional atau PSDN untuk Pertahanan Negara berisiko melanggar hak asasi warga negara. Pasalnya, walaupun bersifat sukarela, masyarakat yang terdaftar sebagai komponen cadangan bisa dikenai hukum pidana apabila menolak mobilisasi.
RUU itu pada Senin lalu sudah disepakati di tingkat pertama antara Komisi I DPR dan pemerintah yang diwakili Menhan Ryamizard Ryacudu. RUU itu tinggal disahkan di paripurna DPR yang masa jabatannya akan berakhir pada 30 September 2019.
Di RUU itu antara lain diatur komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara. Komponen pendukung terdiri dari sumber daya alam, sumber daya buatan, serta prasarana dan sarana nasional yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk pertahanan negara. Sementara itu, komponen cadangan menjadi wadah keikutsertaan warga dalam pertahanan negara. Warga yang mendaftar komponen cadangan wajib mengikuti pelatihan militer dan harus bersedia menjalani tugas militer oleh negara.
Peneliti Imparsial Bhatara Ibnu Reza di Jakarta, Rabu (25/9/2019) mengingatkan, seharusnya apabila bersifat sukarela, ada peluang seseorang untuk menolak ketika ditugaskan. “Masuknya memang sukarela. Tapi tidak bisa keluar. Kalau menolak dimobilisasi kena pidana,” kata Bhatara.
Hak untuk “menolak berdasarkan nurani” atau conscientious objection merupakan salah satu resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan, orang-orang yang memegang tugas militer memiliki hak untuk menolak berdasarkan hati nurani terhadap tugas militer. Adapun, RUU PSDN mengategorikan komponen cadangan hanya dalam dua kategori yaitu aktif dan tidak aktif.
“Tidak aktif itu artinya kita kembali ke pekerjaan masing-masing setelah dilatih, dan bisa dipanggil sewaktu-waktu,” kata Bhatara.
Dia juga menuturkan, sejak naskah akademis, ada prinsip yang salah dari RUU PSDN ini yaitu tidak memisahkan dengan jelas kombatan dan non-kombatan. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 3/2002 tentang Pertahanan yang telah menyesuaikan dengan konvensi PBB untuk memisahkan kombatan dan non-kombatan.
RUU PSDN ini juga dinilai tidak memberikan definisi yang jelas, untuk kebutuhan apakah komponen cadangan akan digerakkan. Hal ini bisa menimbulkan masalah saat Komponen Cadangan dikerahkan mengatasi konflik di dalam negeri.
“Kalau saya misalnya dari daerah tertentu, lalu ada konflik dan saya harus melawan saudara sendiri. Kalau saya menolak kena pidana,” katanya.
Timbulkan milisi
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan substansinya paling bermasalah di RUU ini adalah pelibatan warga negara dalam kegiatan-kegiatan kemiliteran yang disertai sanksi pidana bagi siapa pun warga yang menolaknya.
Selain itu, RUU PSDN dinilai juga bisa menimbulkan milisi-milisi yang dilatih militer dasar. Hal ini rentan menimbulkan konflik horizontal. Bhatara juga menyoroti masalah pendanaan. Terkait pendanaan, pengelolaan sumber daya alam untuk Pertahanan Negara juga beresiko karena selain APBN, dana APBD dan sumber pendanaan lain yang tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan juga boleh digunakan.
“Ini berpotensi kembali mengarah pada bisnis militer," kata Bhatara.
Sebaiknya Ditunda
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Choirul Anam mengatakan, sebaiknya pengesahan RUU PSDN ini ditunda. Penundaan RUU ini akan membuka peluang masukan masyarakat, agar substansinya sesuai dengan konsep negara demokratis yang menghormati HAM.
Pasalnya, ada ancaman pidana apabila warga negara apabila tidak mengikuti agenda misalnya mobilisasi fisik maupun hak milik. “Walau disebut ada penghormatan terhadap hak milik, penggunaannya bersifat absolut ketika digunakan, tidak ada perlindungan hak milik padahal ini jadi bagian dari aspek prinsip kesukarelaan,” katanya.
Anam mempertanyakan urgensi RUU ini. Ia juga menyesalkan minimnya partisipasi publik dalam pembahasan UU itu. Ia mengatakan, walaupun secara umum pembangunan bangsa dan negara membutuhkan semua pihak, akan tetapi pendekatan militeristik menimbulkan masalah. Menurutnya, upaya untuk membela negara bisa dilakukan tidak dengan cara militer.
Menanggapi hal itu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menegaskan bahwa RUU PSDN tidak militeristik. "Saya sudah bilang itu bukan wajib militer (wamil), yang jelas bukan wamil. Saya belum lihat lengkap lagi," ujarnya.
Ryamizard mengakui pembahasan RUU PSDN relatif tidak banyak dilakukan. "Memang, untuk apa? Presiden saja enggak suka panjang-panjang kok. Yang penting jelas. Apalagi saya tentara, harus jelas, ngapain panjang-panjang lagi," tutur Ryamizard.
Membebani rakyat
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, mengatakan RUU PSDN untuk Pertahanan Negara lebih condong pada pembebanan kewajiban bagi warga negara. Padahal substansi ideal pengaturan dalam RUU tersebut sangat terkait dengan upaya menyeimbangkan hak dan kewajiban warga negara.
Menurut Bayu, politik hukum RUU tersebut masih sama tatkala namanya masih RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara. Hal ini terutama mengemukanya pendekatan satu arah oleh negara alih-alih pendekatan partisipatif dan dialogis dalam penentuan strategi pertahanan negara.
“Lagi-lagi negara mengambil kebijakan satu arah dengan membebankan berbagai kewajiban baru kepada rakyat, di tengah banyak hak rakyat yang diabaikan negara,” katanya.
Dia juga menilai, RUU itu dinilai tidak tepat disepakati saat ini. Pasalnya, saat ini, komponen utama masih perlu perhatian lebih besar dan tidak semestinya pemerintah membahas komponen cadangan dan komponen pendukung.
Saat ini, kata Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie, hal yang paling penting dilakukan ialah membuka ruang dialog seluas-luasnya sebelum RUU tersebut disahkan.