Dua bulan terakhir, KPK menangkap tangan penyuap dan penerima suap terkait impor bawang putih, gula, dan ikan. Penetapan kuota serta pemberian rekomendasi dan izin impor komoditas pangan masih jadi celah korupsi.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Dua bulan terakhir, kasus-kasus korupsi terkait impor pangan yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) silih berganti menghiasi pemberitaan media massa. Kasus suap impor bawang putih belum usai, muncul kasus gula dan terakhir impor ikan. Semua terkait kuota, rekomendasi, atau izin impor komoditas pangan.
Ketika petani bawang putih di Temanggung, Jawa Tengah; Malang, Jawa Timur; Bima dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat; Solok, Sumatera Barat; juga di sentra lain bersusah payah mengembalikan benih yang telah lama hilang, KPK menangkap tangan sejumlah orang terkait pengurusan izin impor bawang putih pada 7-8 Agustus 2019. Enam orang, yakni perantara, pengusaha swasta, dan anggota DPR, jadi tersangka suap.
KPK menemukan bukti transfer Rp 2,1 miliar dan uang tunai 2.900 dollar AS dalam operasi tersebut. Uang itu diduga akan dipakai untuk mengunci kuota impor 20.000 ton bawang putih tahun 2019. Terungkap pula alokasi fee sebesar Rp 1.700-Rp 1.800 untuk setiap kilogram bawang yang diimpor.
Lalu, pada 2-3 September 2019, KPK mengungkap suap distribusi gula. Tiga orang ditetapkan jadi tersangka, yakni Direktur Utama dan Direktur Pemasaran PT Perkebunan Nusantara III (Persero) serta pemilik PT Fajar Mulia Transindo (FMT), terkait distribusi gula tahun 2019. Petinggi BUMN itu diduga meminta uang 345.000 dollar Singapura dari FMT yang mendapatkan kuota impor gula.
Pengungkapan itu menjadi kabar pahit bagi petani yang tengah menggiling tebu musim panen tahun ini. Tambah pahit karena sebagian gula hasil giling dua tahun terakhir belum sepenuhnya terserap pasar. Pasar banjir gula karena hasil produksi dalam negeri plus impor jauh melebihi kebutuhan nasional.
Terakhir, pada 23 September 2019, KPK menetapkan dua tersangka, yakni Direktur PT NAS dan Direktur Utama Perum Perindo, terkait suap impor ikan. Praktik suap sebagai imbalan atas kuota impor itu diduga telah berulang.
Tiga kasus itu bisa jadi hanya puncak gunung es. Sebab, selain gula, bawang, dan ikan, Indonesia juga masih mengimpor kedelai, gandum, garam, kacang tanah, beras, dan sederet bahan pangan lain. Sejumlah komoditas di antaranya mensyaratkan rekomendasi dan izin impor dari kementerian terkait serta Kementerian Perdagangan.
Ada beberapa celah rasuah terkait impor komoditas pangan, mulai dari penetapan kuota, penentuan importir, hingga penerbitan rekomendasi dan izin impor. Etty Indriati dalam Pola dan Akar Korupsi (2014) menyebut, setelah era reformasi, pola korupsi lebih didominasi oleh pengaruh pasar (market influence) yang melibatkan upaya swasta untuk memburu rente dan mencoba memengaruhi proses kebijakan publik lembaga negara, seperti penetapan kuota impor.
Selain membentuk ekonomi biaya tinggi, praktik koruptif impor pangan sejatinya juga ”membunuh” petani, peternak, dan pelaku industri dalam negeri. Jika masih saja korupsi, lupakanlah mimpi swasembada, apalagi berdaulat atas pangan sendiri. (MUKHAMAD KURNIAWAN)