Mahfud MD Sarankan UU KPK Dimasukkan Prolegnas Lagi
Di dalam politik itu tidak ada mutlak-mutlakan, tidak semua yang diminta bisa dipenuhi semua, tidak semua yang diputuskan harus dipaksakan semua.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan Mahfud MD menyarankan agar hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi yang telah disahkan DPR kembali dibahas melalui kajian legislatif. Melalui cara ini, UU KPK akan dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional tahun depan.
”Disahkan saja dahulu (UU KPK) kemudian diagendakan kembali dalam Prolegnas untuk dibahas. Kemudian pemerintah dapat membuat Prolegnas baru bersama DPR. Cara ini bisa dilakukan dan tidak menimbulkan keributan,” kata Mahfud di Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Menurut Mahfud, revisi UU KPK sudah selesai secara yuridis karena tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo. Sekalipun tidak ditandatangani, sesuai Pasal 20 Ayat 5 UUD 1945, UU KPK akan tetap berlaku 30 hari setelah disahkan, yaitu 16 Oktober 2019.
Memang ada dua cara lain yang terus disuarakan oleh masyarakat sipil, yakni melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Namun, menurut Mahfud, kedua cara ini memiliki risiko masing-masing.
Apabila melalui uji materi, yaitu MK diminta untuk membatalkan UU KPK melalui uji formil karena melanggar prosedur. Menurut Mahfud, jika jumlah anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna memang tidak memenuhi syarat atau ada tahapan yang dilewati, hal tersebut dapat membatalkan UU.
Catatan Kompas, UU KPK disahkan sebagai undang-undang dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, pada 17 September 2019. Pemimpin rapat, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, menyebut ada 289 dari 560 anggota DPR yang tercatat hadir di daftar kehadiran, termasuk yang mengajukan izin. Namun, berdasarkan hitungan manual, hanya ada 80 orang yang hadir pada awal rapat dan 108 orang yang hadir saat akhir rapat.
Selain itu, dapat juga melalui uji materi untuk mengganti substansi dari UU. ”Namun, uji materi juga mungkin tidak mulus. Sebab, MK tidak boleh membatalkan satu pun UU yang tidak disukai orang, tetapi tidak melanggar konstitusi,” kata Mahfud.
Cara lain membatalkan UU KPK, yaitu melalui perppu. Namun, menurut Mahfud, perppu juga sebenarnya tidak menjamin batalnya UU KPK. Sebab, menurut Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 dijelaskan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Meski begitu, dalam Pasal 22 Ayat (2) dan (3) UUD 1945 dijelaskan, peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut dan jika tidak mendapat persetujuan, peraturan pemerintah itu harus dicabut.
”Di dalam politik itu tidak ada mutlak-mutlakan, tidak semua yang diminta bisa dipenuhi semua, tidak semua yang diputuskan harus dipaksakan semua. Menurut saya, jalan keluar harus ditempuh dengan kepala dingin, tidak usah terlalu saling ngotot,” kata Mahfud.
Desakan
Meski begitu, desakan Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan perppu membatalkan UU KPK masih kuat. Desakan ini datang dari unjuk rasa para mahasiswa yang digelar serentak di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Malang, Purwokerto, Makassar, dan Medan, Senin (23/9/2019).
Tak hanya itu, gelombang unjuk rasa mahasiswa memuncak pada Selasa (24/9/2019), yang ”menyerbu” gedung DPR dan DPRD. Salah satu tuntutan mereka, yaitu membatalkan pengesahan revisi UU KPK karena dinilai akan melemahkan kinerja KPK ke depan.
Desakan pun datang dari Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Perancis yang secara tegas menolak Revisi UU KPK karena akan melenyapkan fungsi KPK serta mengancam pemberantasan korupsi. Para pelajar menuntut Presiden Joko Widodo menepati janji kampanye dalam mendukung pemberantasan korupsi dengan bentuk mengeluarkan perppu terhadap UU KPK.
Pengesahan Revisi UU KPK yang menimbulkan keresahan menjadi bukti nyata bahwa keputusan-keputusan yang dibuat oleh DPR serta Presiden Joko Widodo seolah memiliki kepentingan yang merugikan masyarakat luas. Untuk itu, seluruh lapisan masyarakat, diajak untuk menunjukan aksi solidaritas dalam agenda penyelamatan KPK, penuntasan amanat reformasi, dan penguatan demokrasi di Indonesia.
”Sikap ini merupakan tanggung jawab moral sebagai anak bangsa Indonesia untuk terus mengawal amanat konstitusi, cita-cita reformasi, kemanusiaan, dan semangat demokrasi Indonesia,” ujar Ketua PPI Perancis, Ridho Indawan Utomo.