Ajakan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok pelajar pada Rabu (25/9/2019) di Gedung DPR berasal dari media sosial. Pihak kepolisian diminta menyingkap dugaan keterlibatan aktor dalam pergerakan anak-anak tersebut
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Ajakan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok pelajar pada Rabu (25/9/2019) di Gedung DPR berasal dari media sosial. Pihak kepolisian diminta menyingkap dugaan keterlibatan aktor dalam pergerakan anak-anak tersebut.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan masyarakat terkait aksi unjuk rasa melalui media sosial tersebut pada Rabu sekitar pukul 14.00. Bentuknya berupa poster seruan aksi kepada pelajar SMK, foto dan video yang menunjukkan pergerakan pelajar tersebut mulai dari menaiki truk, transjakarta hingga KRL.
“Diduga, tidak hanya anak SMK yang tergerak, tapi juga anak SMA dan SMP,” ujar Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati saat memberikan keterangan kepada media di Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Dalam hal ini, KPAI mendorong pihak kepolisian mengusut aktor penggerak dari media sosial tersebut. KPAI akan terus mengumpulkan bukti-bukti untuk memperkuat dugaan ajakan tersebut. Mereka berharap, kasus di Jakarta adalah kasus yang terakhir mengingat saat ini ajakan serupa mulai tersebar ke daerah lain.
“Saat ini di kota-kota seperti Yogyakarta, Medan, Bandung dan lainnya juga sudah mulai tersebar,” ujarnya.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, anak-anak yang terlibat dalam unjuk rasa tersebut adalah korban. Mereka hanya mengikuti ajakan dari media sosial dan tidak terlalu memahami apa makna dari unjuk rasa dan apa yang diperjuangkan di dalamnya.
“Mereka tidak tahu apa-apa. Sebagian besar merahasiakan keterlibatan mereka dalam unjuk rasa dari orang tuanya,” katanya.
Selain itu, beberapa anak bahkan tidak mengetahui jika mereka akan diajak berunjuk rasa oleh teman-teman sekolahnya. Ada yang awalnya hanya diajak berjalan-jalan, ada pula yang dijanjikan mendapatkan makanan dan minuman. Mereka datang dari Jakarta, Bekasi, Bogor, Depok dan sekitarnya.
Pernyataan yang disampaikan oleh KPAI tersebut merupakan hasil dari kunjungan mereka terhadap anak-anak yang dirawat di beberapa rumah sakit atau yang diamankan di Polda Metro Jaya dan Polres-polres sekitar. “Kami juga bertemu dengan para orang yang mencari anak mereka di rumah sakit,” kata Retno.
Hingga Kamis pagi, setidaknya masih ada 69 anak yang masih dimintai keterangan di Polda Metro Jaya dan 144 di Polres Jakarta Barat. Sementara itu, di Polres Jakarta Utara sudah ada 124 anak yang dipulangkan karena tidak terlibat dalam pelanggaran pidana dan 3 orang menunggu penjemputan orang tua.
“Di Polres Cibinong masih ada 122 anak yang ditahan, sedangkan di Polres Bekasi dan Polsek jajarannya terdapat 287 anak,” kata Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Jasra Putra.
Jika terindikasi adanya anak-anak yang berhadapan dengan hukum atau sebagai pelaku, KPAI menyarankan agar mereka dikembalikan kepada orang tua. Dalam hal ini, orang tua harus membina mereka agar anak tetap bisa bersekolah.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPAI) Valentina Ginting mengatakan pihaknya akan terus memastikan agar seluruh anak-anak yang dimintai keterangan oleh kepolisian terlindungi dengan baik.
Seperti yang disampaikan oleh KPAI, unjuk rasa terjadi karena anak-anak terhasut oleh ajakan-ajakan melalui media sosial. Oleh sebab itu, Valentina mengimbau agar foto atau video gerakan pelajar tidak lagi disebarkan melalui media massa atau media sosial.
“Kami mengajak para orang tua dan pihak sekolah untuk mengawasi keterlibatan anak dalam unjuk rasa. Kami membuka aduan orang tua yang kehilangan anaknya di 082125751234. Begitu ada aduan akan kami koordinasikan ke pihak terkait,” katanya.