PALU, KOMPAS— Jelang setahun pascabencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah, upaya pemulihan oleh pemerintah masih terhadang sejumlah kendala. Bahkan, sekitar seribu penyintas masih tinggal di tenda darurat.
Gempa bumi bermagnitudo 7,4 yang disusul tsunami dan likuefaksi melanda Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Parigi Moutong di Sulteng pada 28 September 2018. Merujuk data yang ditandatangani Gubernur Sulteng Longki Djanggola pada 8 Januari 2019 dan diperbarui pertengahan Maret 2019, bencana mengakibatkan 3.124 jiwa meninggal, 705 jiwa hilang, dan 1.016 jiwa korban tanpa identitas dikubur massal. Bencana itu juga merusak 110.214 rumah. Total nilai kerusakan Rp 24,96 triliun.
Untuk penyintas yang rumahnya rusak berat dan hilang, pemerintah membangun hunian sementara (huntara) di Palu, Sigi, dan Donggala sebanyak total 669 unit per blok. Satu unit huntara terdiri atas 12 kamar per bilik. Huntara itu ditempati sambil menunggu selesainya pembangunan hunian tetap.
Hingga Rabu (25/9/2019), semua huntara selesai dibangun, kecuali untuk warga Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, yang terkena likuefaksi. Data yang dihimpun pengurus pengungsian (shelter) per Juli 2019, terdapat 337 keluarga dengan 1.298 jiwa yang masih tinggal di tenda darurat. Jumlah itu dipastikan berubah karena ada penyintas yang tinggal di kontrakan atau rumah keluarga.
”Kami tidak bisa buat apa-apa lagi. Sejak awal sudah tidak jelas kami diurus untuk mendapatkan huntara,” kata Trisnawati, penyintas di tenda darurat di Balaroa.
Sekretaris Pengurus Shelter Balaroa Ivantri Datupalinge mengatakan, tidak dibangunnya huntara bagi penyintas di Balaroa dipicu penolakan pada awal 2019. Saat itu, penyintas yang tergabung dalam Forum Korban Likuefaksi Balaroa menuntut anggaran pembangunan huntara dibayarkan tunai. Namun, pemerintah tak bisa memenuhi tuntutan tersebut.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu Bambang Sabarsyah mengatakan, pembangunan huntara di Balaroa tak dapat dilakukan karena masalah lahan. Lokasi yang diminta penyintas, yakni di lokasi shelter saat ini, tidak cocok untuk huntara karena berada di lereng atau kemiringan.
Di lokasi lain, banyak huntara malah tak ditempati. Di Desa Kalawara, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, hanya separuh dari 72 kamar huntara yang dihuni. Di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, dan di Kelurahan Mamboro Induk, Kecamatan Palu Utara, juga banyak huntara kosong. Hal itu karena sebagian penyintas memilih tinggal di rumah kontrakan atau membangun kembali rumah di tempat lama, termasuk di zona merah atau zona rawan bencana.
Aktivitas sekolah
Di sektor pendidikan, masih banyak aktivitas belajar-mengajar di bangunan darurat. Di SD Negeri Pengawu dan SD Inpres Bayaoge di Kecamatan Tatanga, Kota Palu, misalnya, kegiatan berlangsung di bangunan darurat berdinding bambu, papan, dan terpal, serta beratap rumbia. ”Ini sudah banyak diperbaiki, ganti terpal sobek dengan rumbia. Sebagian dinding diganti seng agar tidak berdebu dari pelapukan bambu,” ujar Kepala SD Inpres Bayaoge Salbia.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu Ansyar Sutiadi mengatakan, perbaikan sekitar 200 sekolah yang rusak masih terus diupayakan. Perbaikan menunggu anggaran dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan lembaga atau yayasan sosial.
Program pemulihan yang juga tersendat adalah perbaikan irigasi Gumbasa di Sigi. Saluran pengairan sepanjang 30 kilometer untuk 7.000 hektar sawah dan kebun hortikultura itu rusak total karena gempa. Perbaikan tahap pertama sepanjang 7 kilometer ditargetkan rampung pada April-Juli lalu. Namun, target itu meleset sehingga pemerintah mengubah target hingga akhir 2019.
Verifikasi pendataan penyintas juga bermasalah. Meski sudah memasukkan dokumen yang dipersyaratkan, nama sejumlah penyintas belum masuk daftar penerima bantuan untuk perbaikan rumah dan dana jaminan hidup.
Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng Hidayat Lamakarate mengakui adanya keterlambatan pembangunan irigasi. Keterlambatan itu terjadi karena adanya proses atau mekanisme penganggaran keuangan negara, yang harus mengikuti aturan pengadaan, seperti lelang.
Adapun mengenai masalah pendataan, ia memastikan data penyintas tetap terakomodasi. Data itu diverifikasi agar benar-benar riil karena banyak data ganda dan tidak lengkap. ”Kalau belum terdata, itu tidak benar,” kata Hidayat yang juga Ketua Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Sulteng.
Ketua Panitia Khusus Pengawasan Penanganan Bencana DPRD Sulteng Yahdi Basma berpendapat, program-program pascabencana terkesan tak direncanakan dengan matang. Menurut dia, seharusnya ada prioritas penanganan, salah satunya dalam pendataan mengingat pendataan ini terkait dengan hak atau kompensasi keperdataan penyintas, serta pemulihan sumber ekonomi masyarakat. (VDL)