Potensi e-dagang dinilai masih besar. Namun, pengembangannya butuh dukungan dari pilar lain, seperti infrastruktur, sistem logistik dan pembayaran, serta industri manufaktur.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi e-dagang dinilai masih besar. Namun, pengembangannya butuh dukungan dari pilar lain, seperti infrastruktur, sistem logistik dan pembayaran, serta industri manufaktur.
Pertumbuhan belanja daring rata-rata 21 persen per tahun dengan perkiraan 119 juta pembeli pada 2025. Perkembangan e-dagang juga ditandai dengan muncul dan berkembangnya laman-laman pemasaran.
Pelaksana Tugas Direktur Ekonomi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika I Nyoman Adhiarna pada pembukaan pameran dan konferensi ”e2eCommerce Indonesia 2019” di Jakarta, Rabu (25/9/2019), mengatakan, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah banyak hal. Tak hanya cara berkomunikasi, kehadirannya membentuk ekonomi digital, termasuk e-dagang, yang berkembang pesat di Indonesia.
Akan tetapi, perkembangannya memunculkan hal lain yang perlu diatur, antara lain terkait dengan pembayaran, logistik, perpajakan, dan perlindungan konsumen. Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan peta jalan e-dagang yang kini tengah disempurnakan lagi.
Di sisi infrastruktur, pemerintah menyelesaikan proyek Palapa Ring dan membangun jaringan pita lebar berbasis satelit untuk menjangkau pulau-pulau terpencil melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha. Pada akhir 2019, sebanyak 412 wilayah administrasi diharapkan terhubung jaringan 4G.
CEO the Power Group-Powercommerce Hadi Kuncoro dalam sesi diskusi menyatakan, secara historis, ekonomi digital memiliki empat pilar, yakni platform, pembayaran dan teknologi finansial, logistik, dan produk. Soal platform, Indonesia memiliki laman-laman pemasaran yang menyandang predikat unicorn, usaha rintisan dengan valuasi lebih dari 1 miliar dollar AS.
Perkembangan itu diikuti dengan munculnya pemain teknologi finansial. Namun, perkembangan itu belum diikuti perkembangan pilar ketiga, yaitu logistik. Sementara untuk pilar terakhir, oleh karena produk dalam negeri terbatas, kebanyakan produk yang dipasarkan adalah produk impor.
”Pilar logistik masih diperjuangkan karena secara spesifik Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau. Hal ini tidak mudah,” kata Hadi.
Dengan pusat logistik yang masih terpusat di Pulau Jawa, biaya pengiriman jadi mahal dan memakan waktu. Hal itu mesti diatasi, salah satunya dengan mengintegrasikan antara daring dan luring, yakni menghubungkan pembeli dengan distributor terdekat. Dengan demikian, barang tidak dikirim dari Jakarta, melainkan dari lokasi distributor terdekat.
Masalah lainnya adalah terbatasnya sumber daya manusia di bidang digital, terutama di daerah terpencil. Tantangan lainnya adalah mendorong transformasi bisnis dari konvensional ke digital.
Transformasi
Terkait dengan perubahan pola bisnis, menurut Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Aptiknas) DKI Jakarta Fanky Christian, hal itu tidak mudah dilakukan. Sebab, hal itu menyangkut kebiasaan berbisnis yang sudah dijalankan selama puluhan tahun.
”Ini berat karena mereka terbiasa menunggu orang datang dan sekarang harus dipaksa untuk mengubah banyak hal, termasuk mencari pasar,” kata Fanky.
Yang diperlukan oleh mereka untuk bisnis sehari-hari sebenarnya sederhana, yakni mengunggah berbagai produk ke laman pemasaran atau media sosial. Namun, di sisi lain pengetahuan mereka tentang teknologi digital terbatas.
Sementara itu, CEO Blanja.com Jemy Confido mengatakan, pemberian diskon memang akan menarik pembeli. Namun, dalam belanja daring yang paling penting adalah pengalaman berbelanja yang aman dan nyaman.