Gempa bumi berkekuatan M 6,5 yang mengguncang Pulau Seram, Maluku, Kamis (26/9/2019) pukul 12.30, berasal dari sesar di darat yang belum tertera dalam Peta Sumber Gempa Nasional 2017.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gempa bumi berkekuatan M 6,5 yang megguncang Pulau Seram, Maluku, Kamis (26/9/2019) pukul 12.30, berasal dari sesar di darat yang belum tertera dalam Peta Sumber Gempa Nasional 2017. Maluku masih memiliki banyak sumber gempa yang dalam sejarahnya diikuti kejadian tsunami sehingga harus selalu waspada.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, jumlah korban meninggal akibat gempa ini sebanyak 20 orang. Gempa bumi juga merusak puluhan rumah dan infrastruktur, seperti jembatan, bangunan sekolah, dan tempat ibadah.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, gempa ini diduga kuat dipicu aktivitas sesar yang melintas di wilayah Kecamatan Kairatu Selatan, Pulau Seram. Dalam peta tektonik Pulau Seram tampak struktur sesar ini berarah barat daya-timur laut.
”Sesar ini memiliki pergerakan mendatar-mengiri (sinistral strike-slip). Sejauh ini struktur sesar yang melintas di Kairatu Selatan itu belum memiliki nama sehingga untuk memudahkan menyebutnya dapat kita namai Sesar Kairatu,” kata Daryono.
Peneliti Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (Pusgen), Rahma Hanifa, mengatakan, sesar lokal yang melintas di Kairatu Selatan itu belum masuk dalam Peta Sumber Gempa Bumi Nasional yang dirilis Pusgen dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2017. ”Di peta resmi Pusgen belum ada, tetapi di beberapa literatur sudah disebutkan ada sesar di sana,” ujarnya.
Data historis
Menurut Daryono, sejauh ini belum ada data historis tentang gempa yang pernah terjadi di jalur sesar ini. Namun, pada tahun 1899, tercatat pernah terjadi gempa besar yang diperkirakan berkekuatan M 7,8 di sekitar Elpa Putih, Seram Bagian Barat. Saat itu gempa memicu tsunami besar.
Masyarakat Seram mengenal peristiwa gempa 1899 itu dengan sebutan Bahaya Seram. Warga Negeri (Desa) Elpa Putih, Seram Bagian Barat, Maluku, hingga kini masih merekam peristiwa itu sebagai hilangnya negeri mereka karena hantaman air laut.
Koran Australia, The Brisbane Courier, menulis peristiwa gempa dan tsunami pada 1899 dengan berita berjudul ”Banyak Korban Tewas, Gempa Mematikan di Hindia Timur”. Disebutkan, ”Pantai selatan Seram diterjang ombak tinggi (tsunami) dan gempa bumi. Ada 4.000 orang tewas atau hilang, 500 luka. Amahai hancur total,”
”Selain itu, untuk kawasan Maluku, kita juga harus mewaspadai subduksi Banda dan patahan selatan Seram. Di sana banyak sumber gempa berpotensi tsunami yang membuat kita harus selalu waspada,” kata Daryono.
Untuk kawasan Maluku, kita juga harus mewaspadai subduksi Banda dan patahan selatan Seram. Di sana banyak sumber gempa berpotensi tsunami yang membuat kita harus selalu waspada.
Naturalis Georg Everhard Rumphius juga mencatat gempa dahsyat disusul tsunami pernah melanda Pulau Ambon dan Seram pada 17 Februari 1674. Sebanyak 2.322 orang di Pulau Ambon dan Seram tewas saat itu. Di katalog tsunami Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) serta WinITB yang disusun para ahli Rusia, tsunami di Ambon dan Seram pada tahun 1674 setinggi 80 meter.
Pada 8 Oktober 1950, gempa berkekuatan M 7,6 juga pernah mengguncang Ambon. Beberapa surat kabar merekam kejadian ini, misalnya Pikiran Rakyat edisi 10 Oktober 1950 yang menulis di halaman pertama dengan judul berita ”Gempa bumi di Pulau Ambon” dan surat kabar Nasional edisi 1 Oktober 1950 halaman pertama dengan judul berita ”Gempa bumi di Ambon”.
Dalam pemberitaan itu disebutkan, gelombang laut setinggi 20 meter menyapu pantai Ambon. Masyarakat lokal di Ambon mengenang peristiwa tersebut sebagai ”air turun naik”.