Tak Ada Bulan Hari Ini
Anakku, bulan tampak sangat pucat pagi ini. Tubuh lingkar yang memutih, tak lagi kuning langsat dan memantulkan cahaya ke atas air sungai, lautan, atau air yang menggenang.
Muara, 2000.
Anakku, bulan tampak sangat pucat pagi ini. Tubuh lingkar yang memutih, tak lagi kuning langsat dan memantulkan cahaya ke atas air sungai, lautan, atau air yang menggenang. Sungai atau lautan tampak indah ketika cahaya bulan menyebar dan terpantul di atasnya. Betapa gelisahnya ketika bulan harus menunggu malam datang kembali. Ia tak ingin pergi lebih cepat, atau beranjak dari tempat muasal. Barangkali kau nanti bisa merasakan, bahwa kepergian adalah semata-mata cara agar kecemasan itu tumbuh menjadi kerinduan. Tapi itu tak berlaku untuk bulan.
Semalam, barangkali ia belum sempat totalitas menyampaikan silau cahayanya. Mungkin kegelisahannya itu bermula: sebentar lagi akan tenggelam, kemudian akan perlahan muncul kembali pada lima belas hari yang akan datang. Itu sangat lama. Meski orang-orang sering mengatakan bahwa tiap hari waktu kerap cepat berlalu. Mana mungkin itu terjadi. Sementara bulan saja masih menganggap bahwa perputaran tubuhnya sangat lama, hingga ia lelah menanti. Pucat dan memutih.
Jika kelak kau tumbuh besar dan akan pergi meninggalkanku, pergilah dan jangan pernah kembali lagi. Dengan begini aku bisa menganggap bahwa kau telah mati. Buat apa aku harus menanggung derita karena setiap hari merindukan anak semata wayang yang kuidam-idamkan tumbuh dewasa dan kelak mampu membantu dan merawatku. Aku tak mau tiba-tiba wajahku pasi seperti bulan yang diam di pagi hari. Tidakkah kau tahu bahwa pagi itu ada matahari? Mengapa ada bulan? Tentu saja bulan tak ingin kehilangan ruang. Agar ketika matahari luruh ke dalam peraduan, kemudian senja perlahan meredup disertai suara azan, tubuhnya perlahan bersinar seperti sediakala. Tentu saja kelak kau akan mengerti maksud apa yang kukatakan.
Anakku, percayalah. Kau adalah hartaku satu-satunya. Siapa lagi yang akan mewarisi kesedihan dan keterpurukan ini sebagai cerita nantinya jika kau akan pergi? Kau memiliki modal kesedihan sebagai semangat dan berjuang memperbaiki hidup lebih baik di tanah ini. Tak usah pergi hanya perkara kalimat bahwa jika ingin sukses maka tinggalkan kampung halaman.
Aku masih ingat sepuluh hari yang lalu sebelum kakakmu pamit hendak menaklukkan Gunung Semeru. Tubuhku menggigil seperti yang dirasakan nenekmu sebelum kakekmu meninggal ditelan ombak di lautan. Tuhan seperti mengirimkan firasat buatku, sama seperti firasat yang dialami nenekmu.
Sialnya, mulanya nenekmu tak begitu menghiraukan perihal firasat itu. Ternyata firasat itu mematikan mimpi-mimpi nenekmu. Nenekmu wajahnya pasi setiap hari. Ia menganggap kesendiriannya tiada arti. Padahal aku masih tetap diam menemani nenekmu. Tidak pergi ke mana pun semenjak kakekmu meninggal. Tapi nyatanya, kakekmu sangat berarti melebihi segala-gala ketimbang aku yang selalu merawat dan menghibur nenekmu. Hingga akhirnya, tiga hari setelah kematian kakekmu, nenekmu ditemukan mati, mengapung di tengah lautan.
Sore itu, kakakmu pulang dari pendakiannya dengan kondisi kaki pincang. Konon ia terpelanting kemudian terperosok, kakinya membentur batu. Bukannya iba, justru aku murka. Sudah diperingati berkali-kali bahwa mendaki gunung sangat berbahaya bagi lelaki yang memiliki simpanan asma, tubuh kurus dan jangkung seperti kakakmu itu. Aku sangat berharap, suatu ketika nanti, kau tak mewarisi kepala batu seperti kakakmu.
Pada suatu malam—lima hari sebelum lebaran potong kambing, Rasmi datang ke rumahku. Ia memasang wajah pasi. Aku sudah tidak peduli sebenarnya. Dalam hatiku: entahlah apa yang akan diceritakan kepadaku lagi. Hendak meminjam uang atau apalah. Aku tak tahu. Sebab, kerap kali ia menceritakan keluh kesah dengan menunjukkan mata sayunya sambil menderaskan air mata. Jika benar malam itu ia ingin menceritakan dengan suara lengkingnya itu, tentang perlakuan suaminya yang pulang selalu marah-marah; menampar, menjambak dirinya, dan atau memecah pecah belah yang ada di rumah, berarti itu adalah pas lima belas kalinya ia datang dengan muka tergesa dan bercerita soal hubungannya dengan Wer—suaminya. Tapi nyatanya tidak. Ia gelisah karena suaminya mendadak hilang. Ia sudah mencari ke mana-mana, tapi tidak juga ketemu. Ia hampir gila dan putus asa. Sementara ia tidak mampu hidup sendiri. Hampa dan sunyi, katanya.
Anakku, jika suatu ketika kau mendapati tubuhku sudah tidak berdaya lagi, maka kaulah sebagai penerus dan pewaris apa yang kumiliki saat ini. Jangan menolak. Jika kau menolak maka bencana akan menimpa dirimu. Aku tidak mampu mencegah atau melakukan sesuatu jika bencana terjadi denganmu. Sebab, kaulah pewaris tunggal dariku. Sementara sesuatu—apa yang kumiliki itu hanya bisa diwariskan ketika aku sudah tidak berdaya.
”Hantarkan ia, selamatkan, selamatkan.”
Aku kenal benar suara itu, anakku. Suara tetangga kita yang rumahnya selisih dua rumah dari sisi kanan rumah kita. Sepertinya lelaki itu usai menengok sawahnya. Saban pagi ia melewati depan rumah ini, kemudian sesekali mampir, duduk minum kopi, berbicara apa saja sampai siang. Aku selalu menemani. Perlu kau ketahui, anakku. Jika ada seseorang yang bertamu menemuimu, maka sambutlah dengan senyum ikhlas lapang dada, layani dengan gembira. Percayalah rejekimu akan mengalir melalui doa-doa yang dirapal tamumu.
Aku melihat kau didekap. Tak perlu takut, anakku. Dia adalah orang baik. Melihat cara mendekap, ia sangat sayang denganmu. Tentu saja kau nanti akan tahu bahwa kehadiran orang-orang datang ke rumah lelaki itu adalah untuk menambal perut: meminta makan dan kebahagiaan. Tentu saja kau nanti akan tahu bahwa di pinggir danau hijau, tepi rumahnya ada makam Rabidin yang dulunya mati diduga dibunuh oleh begu ganjang pada tahun 1998. Ketika itu ia sedang menyelamatkan seorang gadis yang digagahi oleh tiga lelaki kompeni bertubuh kekar yang tak lain salah satu dari mereka adalah tuannya begu ganjang. Kau tahu siapa tuannya itu? Tuannya itu adalah bapak lelaki itu, anakku. Bapak lelaki yang mendekap tubuhmu. Namanya Wande. Kakekmu yang bercerita ketika itu.
Aku memahami keinginannya memiliki anak dari rahim istrinya adalah impian dan doa yang sangat panjang dipanjatkan setiap malam. Sudah hampir dua puluh tahun pernikahannya tak kunjung dikaruniai anak. Wajar jika ia selalu baik dengan anak kecil. Sebab itu adalah mimpi yang belum tercapai. Termasuk baik denganmu. Meski pada akhirnya dialah satu-satunya orang yang menjadikan aku tidak berdaya.
”Bakar, bakar, bakar, selamatkan anak kecil itu.”
Seketika lelaki itu mengangkat tubuhmu kemudian diberikan kepada istrinya. Aku melihat bagaimana ia mendekap dan menciumimu penuh cinta.
”Apa yang kau lakukan?” teriakku.
Mereka tak menghiraukan suaraku yang lengking. Duh Gusti, mendadak tubuhku gemetar, keringat dingin bercucuran seketika. Orang-orang semakin riuh berdatangan. Di luar, orang-orang membawa parang, membawa pedang. Mereka membawa obor, minyak tanah, dan kayu berbalok-balok. Mulanya aku tidak tahu apa yang mereka inginkan. Sehingga aku harus mengatakan berkali-kali dengan kalimat yang sama.
”Apa yang kalian inginkan. Kembalikan anakku.”
Aku memberanikan diri menghadapi mereka demi merebut kau dari tangannya. Aku membusungkan dada. Aku tidak takut. Siapa yang benar, pasti akan ada jalan. Bahkan, ketika aku aku gagal, pasti Tuhan akan memberikan tempat terbaik untuk hambanya yang berjalan di jalan yang benar. Ketika itu, aku ingin tahu, apa yang akan terjadi setelah aku mengatakan apa maksud sorak kedatangan mereka. Ibu dan kakakmu tidak berhasil menjagamu di dalam kamar. Mereka terpelanting ketika segerombol warga, termasuk lelaki itu merebut kemudian mengangkat tubuhmu.
Anakku, kau tahu apa yang terjadi setelah itu? mereka membakar rumah yang masih ada kakak dan ibumu di dalamnya. Sementara aku di luar dalam kondisi tubuh diikat dan mulut dibekap. Ah, tidak apa-apa, anakku. Aku tahu siapa yang mengambilmu. Dia adalah orang baik. Aku yakin mereka mampu merawatmu dengan cinta kasih. Dulu kau seringkali diberi uang olehnya.
Anakku, kau harus tahu, bahwa aku mati bukan karena api yang berkobar bersama ibu dan kakakmu. Aku mati lebih dulu karena mendadak jantungku terhenti ketika melihat rumah, ibu, dan kakakmu terbakar jadi satu.
”Biar anak ini aku yang asuh.”
Lelaki itu membiarkan istrinya tetap menggendongmu, mendekapmu dengan cinta kasih. Ah, aku teringat ketika duduk bersila, ngopi bersama lelaki itu. Dia orang baik, suka memberi anak kecil uang, termasuk kau. Konon dia pun sering menyantuni anak yatim, bersedekah untuk orang-orang yang kurang mampu.
Pagi ini aku melihat bulan masih tampak pasi, anakku. Mataku mendelik menatap bulan sambil mengerang dengan tubuh yang terikat. Aku sangat merasakan nyeri dada. Sebelum aku mati dan tersungkur di depan kaki orang-orang, aku mendengar rintihan nenekmu, juga suara kakekmu. Tiba-tiba aku seperti melihat lautan cahaya di depanku. Aku sudah tidak melihat tubuh orang-orang, tapi aku masih mampu menemukan bulan tepat pada pandangan.
Anakku, kaulah yang akan menjadi pewaris tunggal apa yang dimiliki lelaki itu. Lelaki yang memfitnah keluargamu hingga mati dalam waktu yang bersamaan. Aku—bapakmu yang memiliki mimpi membesarkanmu menjadi anak yang saleh dan dicintai semua orang dan semesta, dituduh memelihara begu ganjang. Padahal sebenarnya lelaki itulah yang memelihara. Untuk menutupi kebusukannya, dan menginginkanmu, ia melakukan cara yang kejam kepadaku. Mengapa kepadaku? Semata-mata ia menginginkanmu, anakku.
Barangkali ini adalah nasibmu, anakku. Jika suatu ketika lelaki itu mati, maka begu ganjang itu akan terus membuntutimu sampai ajal menjemputmu. Apakah kau melihat ada bulan di pagi ini, anakku? Aku sudah tidak melihat hari ini. Apakah bulan itu masih tampak pasi dan memutih?
Aksan Taqwin Embe, terpilih sebagai perwakilan penulis muda Indonesia dalam Majelis Sastra Asia Tenggara kategori cerpen 2018. Terpilih dalam Emerging Writers Ubud Writers and Readers Festival 2017. Saat ini, ia bekerja menjadi guru di Insan Cendekia, Serpong, dan menjadi Redaktur Buletin Tanpa Batas.