Tolak RKUHP dan UU KPK, Mahasiswa Ciayumajakuning Akan Terus Aksi
Sekitar 1.000 mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Ciayumajakuning kembali berunjuk rasa di Gedung DPRD Kota Cirebon, Jawa Barat, Kamis (26/9/2019).
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Sekitar 1.000 mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Ciayumajakuning kembali berunjuk rasa di Gedung DPRD Kota Cirebon, Jawa Barat, Kamis (26/9/2019). Mereka menuntut pembatalan hasil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jika tuntutan tidak terpenuhi, massa akan terus menggelar aksi.
Massa yang berasal dari belasan kampus di Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan) itu berunjuk rasa dengan menutup Jalan Siliwangi, tepat di depan gedung DPRD dan Balai Kota Cirebon. Aksi itu dijaga puluhan polisi, kawat berduri, dan mobil water cannon juga disiapkan.
Unjuk rasa yang berlangsung sekitar pukul 11.00 hingga 13.30 itu berjalan tertib meskipun massa sempat menduduki pagar gedung DPRD dan Balai Kota Cirebon. Selain berorasi dan bernyanyi, massa juga berteatrikal terkait penolakan terhadap revisi UU KPK dan RKUHP.
Aksi tersebut merupakan yang kedua di lokasi serupa, setelah Senin (23/9/2019). Ketika itu, ratusan peserta aksi mendesak DPRD Kota Cirebon untuk menolak revisi UU KPK, RKUHP, dan produk legislasi lainnya yang dianggap mengabaikan aspirasi masyarakat. DPRD setempat pun menandatangi surat pernyataan di atas materai terkait tuntutan tersebut.
“Pengesahan RKUHP memang ditunda. Tetapi, ini tidak cukup. RKUHP ini harus dibatalkan karena mengancam demokrasi. Presiden Joko Widodo juga harus menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK yang melemahkan KPK,” ujar juru bicara Aliansi Mahasiswa Ciayumajakuning Ginanjar Nitimiharjo.
Sebelumnya, DPR menunda pengesahan RKUHP. Presiden Joko Widodo juga telah meminta penundaan pengesahan RKUHP karena masih terdapat 14 pasal “bermasalah”. Presiden akan mengkaji ulang pasal tersebut dan meminta Menteri Hukum dan HAM (Yasonna Laoly) menjaring masukan dari masyarakat (Kompas, 21/9/2019).
Menurut Ginanjar, RKUHP dapat membungkam demokrasi. Pasal 241 tentang Penghinaan terhadap Pemerintah, misalnya, dapat menjadi pasal ‘karet’ untuk memidanakan masyarakat yang kritis terhadap pemerintah.
Di sisi lain, RKUHP juga dinilai terlalu mencampuri privasi warga, seperti Pasal 419 Ayat 1 yang mengatur setiap seseorang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dapat dipidana penjara 6 bulan dan denda paling banyak Rp 10 juta.
Padahal, mengutip data Institute for Criminal Justice Reform, sekitar 55 persen masyarakat rumah tangga miskin terancam pasal itu karena masih sulit mengakses pencatatan perkawinan. “Negara seakan tidak punya urusan lain, malah mengurus privasi warga,” ucapnya.
Ginanjar juga mendesak pemerintah untuk menerbitkan Perppu agar membatalkan UU KPK. Regulasi itu dinilai melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Ia mencontohkan, penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh KPK dalam revisi UU KPK dilakukan berdasarkan izin Dewan Pengawas bentukan presiden.
KPK ini independen. Izin Dewan Pengawas akan menghambat pemberantasan korupsi. Di Cirebon, KPK sudah berhasil mengungkap korupsi pejabat daerah
“Padahal, KPK ini independen. Izin Dewan Pengawas akan menghambat pemberantasan korupsi. Di Cirebon, KPK sudah berhasil mengungkap korupsi pejabat daerah,” katanya. Mantan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra, misalnya, tahun lalu ditangkap KPK karena gratifikasi jual beli jabatan.
Menanggapi aksi tersebut, Ketua DPRD Kota Cirebon Affiati meminta massa tenang dan akan menyampaikan aspirasi tersebut ke DPRD pusat. “Hari Senin (30/9/2019), kami bawa ke sana,” ucapnya.
Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis mengatakan, pihaknya akan mengawal aspirasi tersebut. Dia juga tidak melarang mahasiswa berunjuk rasa selama tidak mengganggu ketertiba umum dan sesuai aturan.
“Kami menunggu hasil dari Pemkot dan DPRD Kota Cirebon. Kalau Presiden Jokowi belum menerbitkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK dan DPR tidak membatalkan RKUHP, kami akan terus berunjuk rasa dengan massa yang lebih banyak,” ujar Ginanjar.