Bahagia Bersama Goyang Karawang
Alunan musik tradisional Sunda terdengar dari Kantor Dinas Perhubungan Karawang, Senin (16/9/2019) siang. Yohan Nohdary (33), Kepala Pelayaran dan Pelabuhan Dinas Perhubungan Karawang, bergoyang energik. Keringatnya menetes deras. Kaus putihnya basah. Namun, senyum lebar tersungging di bibirnya dan semangat tampak menyala dari matanya.
Yohan dan rekan-rekannya antusias menyiapkan diri menjadi bagian dari 11.000 orang yang menari dalam Festival Goyang Karawang Internasional 2019. Penghayatan setiap gerakan akan memudahkan dalam menghafal koreografi. Dia dilatih mentor yang ditunjuk Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Karawang.
”Kami ingin berkontribusi melestarikan budaya Karawang,” ujar Yohan saat rehat. Festival Goyang Karawang Internasional 2019 bakal digelar pada 26-29 September 2019 di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Festival tari yang bakal diikuti sekitar 11.000 orang itu ingin menegaskan pesan luhur salah satu budaya bangsa yang terancam dilupakan ini.
Tidak banyak yang tahu kapan istilah goyang karawang muncul. Banyak versi mencoba mengartikan. Mulai dari semangat melawan penjajah hingga filosofi hidup masyarakat agraris. Namun, secara umum, goyang karawang dipahami sebagai gaya menari masyarakat Karawang. Akarnya kerap disebut berasal dari perpaduan tradisi topeng banjet, ketuk tilu, dan pencak silat.
”Ciri khas goyang karawang terletak pada gerakan pinggul. Gerakan ini bisa jadi terinspirasi dari cara mengolah hasil pertanian dan kesenian yang dilakukan leluhur sejak zaman dulu,” ujar pengamat budaya Karawang, Herman El Fauzan.
Herman mencontohkan beberapa gerakan cara mengolah pertanian yang menimbulkan gerak pinggul, antara lain ngirik (merontokkan bulir padi dari tangkai), nutu (menumbuk bulir padi), dan nampi (memisahkan kotoran dalam beras). Hingga kini Karawang masih dikenal sebagai salah satu lumbung pangan di negeri ini.
Sebagai gerakan yang hidup dari masyarakat agraris, Asep R Sundapura, Ketua Karawang Heritage, organisasi yang tekun menelusuri seni dan budaya di Karawang, menuturkan, gerakan goyang karawang spontan dan minim pakem. Tidak ada waktu bagi pelaku seni untuk memikirkan kehidupan sosial politik atau kreasi yang rumit.
Mereka, kata Asep, lebih banyak belajar menari mandiri dari olah rasa dan olah gerak. Penari senior kebanyakan mendampingi ketimbang mengajar dengan pakem ketat.
”Goyang karawang hadir bukan sebagai bentuk penghormatan atau ingin diakui oleh banyak orang. Penarinya berkreasi untuk diri mereka sendiri, menghibur keluarga, teman terdekat, setelah lelah bertani. Paling penting dari semuanya adalah berbagi bahagia bersama,” katanya.
Lama kelamaan, gerakan ketulusan itu berkembang pesat. Semakin banyak orang yang ingin dihibur. Tidak hanya lingkungan sekitar, tapi juga daerah tetangga. Ketika permintaan hiburan makin ramai, maka lahirlah kelompok-kelompok seni. Para penarinya disebut ronggeng.
Ronggeng sangat cepat menjadi tenar. Permintaan pentas dari sejumlah daerah pun dilakoni. Bahkan, ronggeng sempat menjadi salah satu profesi yang dianggap mulia. Lebih dari sekadar hiburan, mereka berperan memainkan ritus penting dalam hidup atau kebiasaan bertani.
Sejarah ronggeng di Karawang terawetkan dalam cerita rakyat dan situs-situs peninggalan di banyak tempat di Karawang, seperti Batu Ronggeng Kebon Jambe, Pasir Ronggeng Telukjambe, ataupun Leuwi Ronggeng Klari. ”Tidak sembarang perempuan bisa menjadi ronggeng. Mereka dipilih dan terpilih lewat proses tertentu,” tuturnya.
Sempat meredup
Akan tetapi, Asep tidak memungkiri dalam perkembangannya ada sebagian ronggeng berlebihan memainkan gerakan di hadapan para penonton. Inilah yang kemudian melahirkan anggapan bahwa para penari ronggeng adalah penggoda lelaki dan perusak rumah tangga orang.
Kondisi tersebut yang membuat profesi ronggeng kini tidak mudah ditemui. Profesi ronggeng meredup dan mati suri karena sebagian masyarakat menganggap sebagai noda yang harus dihilangkan. Hal ini, kata Asep, sangat disayangkan karena banyak makna, seperti kesederhanaan, keinginan membahagiakan orang lain, hingga ungkapan syukur atas berkah kehidupan, hadir dalam profesi ronggeng.
”Dalam persepsi kebudayaan, goyang karawang bukan lagi sebatas tarian, tapi telah menjadi bagian sejarah Karawang. Dari sana masyarakat bisa mengenal pandangan, tata nilai, pola hidup, dan aktualisasi diri masyarakat Karawang. Harapannya, hal ini dipahami generasi muda sebagai bekal hidup,” kata Asep.
Ditemui di sela-sela latihan tari goyang karawang di Kantor Dinas Perhubungan Karawang, Senin (16/9) sore, Sadiyah (50), Kepala Subbagian Keuangan Dishub Karawang menuturkan kebingungannya dahulu saat menjelaskan makna goyang karawang kepada rekannya dari luar daerah.
Waktu masih sekolah, Sadiyah pernah mewakili Karawang untuk jambore Pramuka di Padang. Setiap berkenalan, ia selalu menyebutkan asal daerahnya, spontan para peserta jambore mengomentari dengan goyang karawang dalam perspektif negatif.
”Mereka tahu saya dari Karawang, kemudian mereka meminta saya mempraktikkan goyang karawang yang mereka sebut erotis itu. Saya bilang kepada mereka, tidak ada gerakan tak senonoh dalam tarian itu. Gerakannya indah seperti tarian jaipong,” ujarnya.
Seiring perkembangan zaman, ada keinginan dari warga Karawang untuk memulihkan makna goyang karawang. Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana menyatakan, makna negatif itu perlu diubah menjadi opini dan pandangan yang positif melalui gerakan percepatan pembangunan dan penyuguhan seni serta budaya asli Karawang.
”Makna ’goyang’ yang sesungguhnya adalah gerakan untuk menyatukan persepsi dan mengajak seluruh elemen bergerak dan maju bersama untuk pembangunan Karawang,” ujarnya.
Koreografer Festival Internasional Goyang Karawang Agus Gandamanah mengatakan, ia dibantu 40 pelatih yang disebar ke seluruh Karawang. Mereka adalah orang-orang terpilih dari 23 sanggar seni tari. Rata-rata sanggar memiliki anggota 20-40 orang. Agus meyakinkan, koreografi yang ia ciptakan jauh dari gerakan tak senonoh. Dia fokus pada gerakan pinggul dan silat dengan bumbu unsur modern.
Sejak tahun 1980-an, Agus gemar menciptakan karya yang memadukan gerakan tari dari segala zaman. Dia mengawinkan gerakan patah-patah breakdance dengan tari jaipong hingga jaipong acapella (tarian jaipong tanpa iringan kendang dan gamelan, tetapi diganti dengan suara manusia).
”Setiap gerakan yang tercipta tidak serta-merta lahir demi keindahan. Tujuan mengajak banyak orang dari segala usia untuk terlibat bersama juga menjadi sangat penting,” ucapnya.
Anak muda
Keinginan Agus boleh jadi tak bakal bertepuk sebelah tangan. Banyak anak muda berminat meramaikan festival itu. Pada Rabu (18/9) sore, Keysha (6,5), siswi kelas I SD Sarimulya 3, Cikampek, Karawang, tampak tak sabar berlatih goyang karawang. Saat latihan tiba, Keysha memilih posisi di deretan depan, tepat di belakang pelatih.
Setiap satu sesi gerakan selesai, ada jeda istirahat sekitar 10 menit. Alih-alih beristirahat, bagai tersihir iringan musik, Keysha terus melatih gerakan tari bersama temannya. Lincah dan luwes adalah kata yang tepat menggambarkan olah tubuh Keysha.
Ia bergoyang ke kanan-kiri seirama alunan nada. ”Menyenangkan bisa menjadi bagian acara itu,” katanya sambil menyeka keringat. Puluhan pelajar SD Palumbonsari IV, Karawang, memperlihatkan semangat serupa. Dengan selendang dikalungkan di leher sebagai aksesori, mereka bergoyang riang. Tak ada perbedaan pada penari pria maupun wanita.
Riksa (11), siswa kelas 5 SD Palumbonsari IV, Karawang, menyukai seni tari sejak kecil. Meski kebanyakan pesertanya wanita, ia tak enggan bergabung. Menurut dia, setiap tarian memiliki manfaat walau ia mengaku tak paham secara detail maknanya.
”Menari bikin aku bahagia. Bisa menyebarkan semangat positif,” ujar Riksa sambil menggoyang-goyangkan selendang di lehernya. Saat Riksa dan Keysha semangat berlatih tari, El Fattih (13) memberikan sumbangan besar. Siswa kelas 8 SMP 1 Kotabaru, Karawang, ini menjadi mentor tari di beberapa tempat setiap pekan. El terpilih menjadi pelatih tari berdasarkan hasil seleksi Agus Gandamanah.
El senang bisa melatih ratusan orang di beberapa sekolah dan sanggar khusus perhelatan ini. Usia murid-muridnya bahkan ada yang jauh lebih tua. ”Tidak ada rasa capek sama sekali melatih mereka sepulang sekolah. Saya bahagia bisa berinteraksi dengan mereka,” katanya. Lewat Festival Goyang Karawang Internasional 2019, ketulusan dan keceriaan yang hadir dan jadi akhir setiap goyang karawang kembali dihadirkan. Maka, hadirlah dan rasakan auranya.