Di tengah era digital, Latifah Wahyuni (40) terus berupaya menggerakkan semangat dan minat kalangan muda untuk kembali membaca buku.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·6 menit baca
Di tengah era digital, Latifah Wahyuni (40) terus berupaya menggerakkan semangat dan minat kalangan muda untuk kembali membaca buku. Melalui Komunitas Biblio dan Laskar Literasi yang dibentuknya di SMP Negeri 7, Kota Magelang, Jawa Tengah, dia terus membina, mencetak remaja, anak-anak muda, yang menjadi pejuang literasi. Komunitas itulah yang menyebarkan semangat membaca ke lingkup yang lebih luas di luar sekolah.
Komunitas Biblio yang kini beranggotakan 38 anak berdiri pada tahun 2012. Adapun Komunitas Laskar Literasi, yang sekarang beranggotakan 40 anak, berdiri pada 2016. Seiring dengan masuknya anak baru dan keluarnya siswa yang telah lulus, anggota dua komunitas ini terus berganti-ganti. Namun, setiap tahun, keberadaan dua komunitas ini melahirkan anak-anak muda yang bersemangat dalam hal literasi.
Pembinaan yang ada dalam komunitas begitu melekat serta membuat sebagian lulusan SMPN 7 kini juga rajin mengajak teman-temannya di SMA dan di sekitar rumah untuk menulis dan membaca. Salah seorang lulusan, Naura, juga membentuk komunitas literasi, Magelang Cerita, yang beranggotakan puluhan siswa SMA dan SMK di Kabupaten Magelang. Komunitas ini bergerak melakukan kegiatan literasi membaca dan menulis di desa serta di sejumlah panti asuhan di Kabupaten Magelang.
”Saya sungguh bersyukur karena anak-anak yang dahulu menjadi anggota Biblio dan Laskar Literasi kini telah menjadi laskar, prajurit literasi, sesungguhnya di masyarakat,” ujarnya.
Sesekali, Latifah juga masih berkomunikasi dengan para lulusan SMPN 7 tersebut dan memberikan saran serta masukan untuk kegiatan-kegiatan literasi mereka. Dalam dua komunitas tersebut, Latifah memang memberikan bekal yang kuat bagi para siswa untuk menjadi penggiat literasi. Dalam komunitas Biblio, bekal itu yang diberikan antara lain membiasakan para murid dengan kegiatan-kegiatan literasi, seperti menonton film, bedah buku, dan diskusi. Kegiatan itu dilaksanakan seminggu sekali.
Hal serupa dilakukannya di komunitas Laskar Literasi yang sejak 2018 akhirnya ditetapkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler di SMP Negeri 7. Dia memberikan 14 materi pelatihan. Dalam setiap materi, setiap anak diberi tugas dan berkesempatan untuk mempresentasikan hasil karyanya di hadapan semua anggota komunitas. Dalam presentasi tersebut, setiap anak akan sekaligus diuji, mendapatkan penilaian, dan masukan dari anggota lainnya.
Selain membaca, menonton, dan berdiskusi, Latifah juga mengajak anak-anak untuk mengasah kemampuannya dalam hal menulis. Bersama anak-anak dari komunitas Biblio, tahun 2014, dia menerbitkan buku berisi kumpulan cerita pendek berjudul Masa Kecilku. Selanjutnya, anak-anak dari komunitas Laskar Literasi pun digerakkan untuk menulis sehingga akhirnya terwujud dalam lima buku, yang masing-masing berjudul Putih Biru, The Story of 2738 Mdpl, Mawar Putih di Tubuh Renata, dan Lembaran Rahasia.
Pilihan
Latifah merasa profesi pustakawan adalah profesi yang ditetapkan Tuhan untuknya. Lulus SMA pada 1997, dia akhirnya lulus ujian perguruan tinggi negeri (UMPTN). Dia dihadapkan pada pilihan untuk kuliah di Fakultas Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta atau program D-3 Ilmu Perpustakaan UGM. Namun, setelah berulang kali berdoa, dia memutuskan studi D-3 Ilmu Perpustakaan.
Sembari kuliah, dia sekaligus juga bekerja sebagai staf publikasi dan informasi Institut For Research and Empowerment (IRE). Tahun 2003, sembari masih terus bekerja, dia pun melanjutkan kuliah S-1 Komunikasi Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) APMD Yogyakarta.
Tahun 2005, dia pun mengikuti tes rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk tiga jabatan di tiga lembaga/instansi sekaligus, yaitu staf di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan pustakawan Kota Magelang. Lulus diterima di tiga posisi tersebut, Latifah pun bingung. Namun, kali ini, jawaban dari doanya diperkuat oleh keinginan orangtuanya, yang mengharapkan dia bekerja di sekitar Magelang saja.
Di awal pekerjaannya sebagai pustakawan, dia mengaku shock. Sekalipun koleksi sekitar 1.000 buku di perpustakaan terpelihara dengan baik, Latifah terkejut karena keseluruhan koleksi buku terdata secara manual. ”Waktu itu, perpustakaan bahkan tidak memiliki komputer,” ujarnya
Perpustakaan saat itu juga hanya dikelola oleh tiga guru yang tidak memiliki latar belakang yang mendukung untuk mengelola perpustakaan. Tahun 2005, Latifah yang ketika itu masih berstatus CPNS, memutuskan untuk memperbaiki kondisi tersebut. Dia mengajukan permintaan dua komputer dan mulai melakukan perekaman data koleksi buku menggunakan pemrograman komputer. Dia pun berupaya menambah kelengkapan komputer dengan memperbaiki sendiri puluhan komputer rusak di sekolah.
Pendekatan personal
Setelah merasa tuntas dengan kegiatan pembenahan fasilitas perpustakaan, Latifah pun kemudian bergerak, berupaya meningkatkan minat baca dan kedatangan siswa ke perpustakaan. Upaya ini dilakukan dengan mencermati perilaku siswa yang datang ke perpustakaan.
Biasanya, Latifah akan mengamati buku-buku di luar buku ilmiah yang dipinjam oleh siswa. Dari situlah dia kemudian akan mengajak siswa tersebut mengobrol, berdiskusi tentang buku kegemaran siswa, dan kemudian Latifah juga akan menunjukkan buku-buku serupa yang mungkin akan menarik minat anak tersebut.
Tidak hanya itu, dia pun mencermati perilaku, masalah yang dihadapi para siswa yang sengaja datang ke perpustakaan karena harus menjalani hukuman dari guru kelas untuk mengerjakan tugas. Pernah suatu saat dia bertemu dengan anak yang bermasalah dan sering mendapatkan hukuman dari guru. Setelah diteliti, dia ternyata anak korban perceraian yang sedang kebingungan karena setelah orangtuanya berpisah dan menikah lagi, dirinya pun merasa tidak lagi memiliki rumah untuk tinggal. Latifah yang telah membaca sekitar 11.000 buku koleksi perpustakaan, kemudian memberikan satu buku dengan kisah perceraian serupa, yang pada akhirnya dapat memberikan pencerahan dan menenangkan siswa tersebut.
Lain waktu, dukungan lewat buku tersebut juga diberikannya kepada siswa yang menjadi korban perundungan di kelas. Namun, si anak yang di-bully oleh rekannya tidak bertahan lama di sekolah.
”Dia tidak kuat diejek sejak kelas I. Namun, sebelum dia akhirnya memutuskan pindah sekolah di kelas III, dia sempat datang memeluk saya, berterima kasih karena sudah memberikan dukungan lewat buku, yang akhirnya membuat dirinya mampu bertahan hingga dua tahun lebih di sekolah,” ujarnya.
Sedari kecil, Latifah memang suka membaca. Karena kegemarannya tersebut, dia pun juga sempat mengelola buku-buku di rumah menjadi sebuah perpustakaan keluarga. Dalam kegiatan tersebut, dia terus berupaya menambah koleksi dan terus membaca semakin banyak buku.
Tidak sekadar menambah pengetahuan bagi dirinya sendiri, Latifah saat itu pun senang karena bisa membagikan ilmu dari buku tersebut kepada teman-temannya.
”Berkat buku, banyak teman akhirnya sering mendekat dan mendengarkan saya bercerita,” ujarnya.
Dalam profesinya sekarang sebagai pustakawan, Latifah pun ingin terus menyebarkan semangat membaca tersebut sebagai ”virus” yang mengasyikkan dan menyenangkan. Membaca, menurut dia, diharapkan tidak lagi dimaknai terlalu sempit sekadar menambah wawasan, tetapi juga memiliki beragam manfaat penting lain, seperti untuk terapi, pengendalian emosi, meningkatkan percaya diri, serta untuk mengasah keahlian lain, seperti menulis. Manfaat itulah yang terus diupayakannya untuk disebarluaskan oleh dirinya sendiri dan anak-anak dari Komunitas Biblio dan Laskar Literasi.
Latifah Wahyuni
Lahir: Magelang, 11 Februari 1979
Pendidikan: S-1 Komunikasi STPMD APMD Yogyakarta
Pekerjaan: Pustakawan SMPN 7 Magelang
Nama suami: Latief Hasan (43)
Anak: 2
Penghargaan:
Juara I Lomba Pustakawan Berprestasi Terbaik Kota Magelang 2019
Juara I Lomba Pustakawan Berprestasi Terbaik Jawa Tengah 2019
Juara Harapan III Lomba Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional 2019.