Banyak yang bertanya, mengapa pelajar ikut demonstrasi menuntut pembatalan sejumlah aturan hukum yang dibahas di DPR. Hanya dipicu kabar yang belum tentu benar di media sosial, mereka tergerak turun ke jalan.
Atas nama solidaritas sesama teman, pelajar dari Jakarta dan sekitarnya bergerak ke kompleks Gedung Parlemen di Senayan, Jakarta. Gejolak ini memuncak setelah mereka menelan mentah-mentah kabar yang belum jelas kebenarannya. Kabar yang memantik solidaritas pelajar itu menyebutkan, tiga pelajar sekolah teknik menengah (STM) terluka saat ikut demo dengan mahasiswa, Selasa (24/9/2019).
AH (20), alumni sekolah menengah kejuruan (SMK) dari Bekasi, datang ke Senayan untuk menuntaskan balas dendam. ”Tiga adik kelas saya kepalanya bocor. Tindakan polisi semena-mena. Karena itu, dibuat sebaran undangan melalui Instagram, Facebook, dan Whatsapp, mengajak pelajar STM se-Jabodetabek turun ke jalan untuk balas dendam,” ujar AH sembari menunjukkan undangan di telepon selulernya.
AH yang ditemui di tengah aksi, Rabu (25/9/2019), tidak mau melanjutkan percakapan lebih jauh. AH belum menjelaskan siapa menginisiasi pelajar untuk turun ke jalan. Lalu dia bergegas bergabung dengan teman-temannya di kerumunan aksi.
Argumen AH berbeda dengan yang disampaikan Firza (16), pelajar SMKN 2 Depok. Tanpa menjelaskan tuntutan berdemonstrasi, Ia datang sebagai bentuk solidaritas kekerasan yang dialami mahasiswa. ”Saya bersama tiga teman di sini datang atas nama solidaritas. Apalagi kemarin (Selasa, 24/9/2019) kakak mahasiswa ada yang dipukuli oleh polisi. Kami marah kepada polisi karena berbuat sembarangan,” kata Firza.
Berbeda lagi dengan Jo (17), siswa SMA asal Bintaro, Tangerang Selatan, yang datang sendiri ke Senayan. Ia datang untuk menyaksikan demonstrasi. Siang itu, Jo tidak mengenakan seragam sekolah. Dia datang menggunakan kereta rel listrik karena alasan lebih ekonomis dan praktis. ”Saya benar-benar antusias dan ingin menyaksikan sendiri unjuk rasa ini,” katanya.
Meskipun datang dengan berbagai alasan, gelombang kedatangan pelajar ke Senayan paling banyak dipicu sebuah undangan di Instagram, Facebook, dan grup Whatsapp untuk pelajar STM se-Jabodetabek. Pesan di media sosial itu menyebut, ”RAMAIKAN!!!!! DEMI KEBENARAN.”
Ajakan itu tidak hanya menggerakkan siswa SMK/STM. Namun, sejumlah pelajar SMA, SMP, bahkan anak SD, pun ikut bergabung. Mereka merasa demonstrasi yang sebelumnya dilakukan mahasiswa menginspirasi dan perlu dilanjutkan.
Menjelang Rabu tengah hari, ada dua konsentrasi pelajar dari arah Petamburan, Slipi, dan Kebayoran yang bergerak ke arah area Kompleks Parlemen Senayan. Satu konsentrasi berkumpul di Bundaran Slipi dan satu lagi di sekitar Stasiun Palmerah. Kedua kelompok ini berusaha menuju gerbang masuk gedung parlemen di Jalan Gelora. Namun, pergerakan mereka tertahan barikade polisi.
Sejauh pengamatan Kompas, tidak banyak membawa spanduk, poster, ataupun pamflet yang mereka bawa. Tidak tergambar tuntutan mereka sama dengan tuntutan mahasiswa yang demonstrasi sehari sebelumnya. Bahkan, ketika ditanya, banyak pelajar tidak tahui alasan tujuan mereka berdemonstrasi. Polisi justru menemukan senjata tajam dan bom molotov yang dibawa pelajar.
Situasi mulai memanas, para pelajar mulai bernyanyi dan bersorak-sorai sembari meminta masuk. Di tengah kepadatan lalu lintas kendaraan, bentrokan tidak bisa dihindari. Polisi pun menembakkan gas air mata untuk membubarkan pelajar.
”Silakan demo, tapi mohon untuk tidak melempar batu. Kita sama-sama jaga ketertiban umum, kasihan pengguna jalan lainnya,” kata polisi melalui pelantang suara. Langkah persuasif ini sempat berhasil. Namun, kondisi ini tidak bertahan lama karena massa tetap bertahan di sekitar persimpangan sebidang tidak jauh dari Stasiun Palmerah. Kekerasan kembali terjadi.
Melihat situasi itu, sebagian pelajar menarik diri dari kerumunan massa. ”Ini tidak seperti yang kami harapkan. Kami turun di sini juga ingin menyuarakan aspirasi terkait ketidakadilan yang menimpa masyarakat. Kami pulang sekarang,” kata salah seorang pelajar dari SMA Hang Tuah, Jakarta Selatan.
Ia melanjutkan, terkait ajakan untuk demonstrasi, mereka tergerak untuk ikut serta. Namun, pria berusia 16 tahun ini tidak paham dengan isu UU yang dinilai kontroversial yang sebelumnya disuarakan oleh mahasiswa. ”Ya, hanya bentuk solidaritas saja. Kami ikut karena ajakan dari media sosial,” lanjutnya.
Pada saat yang sama, kekerasan semakin tidak terkendali. Sebagian pelajar merusak kendaraan dan kereta rel listrik yang melintas di kawasan Palmerah. Ketegangan terjadi hingga tengah malam. Aparat makin agresif karena massa tidak mau membubarkan diri. Ratusan pelajar dan warga terjaring operasi polisi.
Mencermati aksi itu, perwakilan mahasiswa menegaskan, aksi pelajar itu di luar koordinasinya. M Nurdiansyah, Koordinator Pusat Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia, menyatakan, narasi mahasiswa meneruskan perjuangan reformasi. Perjuangan mahasiswa juga tidak ada agenda untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah saat ini.
Nurdiansyah menyayangkan aksi pelajar di sekitar Palmerah. Aksi mereka itu tidak ada kaitannya dengan aksi mahasiswa pada Selasa (24/9/2019). ”Sama sekali tidak ada kaitannya,” kata M Nurdiansyah saat berada di Studio Kompas TV, Rabu sore.
Gerakan pelajar turun ke jalan ini sejalan dengan pandangan Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia Rhenald Kasali dalam bukunya berjudul #MO, diterbitkan tahun 2019. Mengutip pesan buku itu, kata Rhenald, ada teori mobilisasi yang bekerja dalam dunia media sosial.
Menurut dia, di media sosial, berbagai isu dapat dimobilisasi dengan membubuhkan tagar. Dimulai dari hal sepele hingga akhirnya membesar dan turut menggerakkan warganet. Meskipun sepele, mobilisasi semacam itu dapat berdampak positif, tetapi banyak juga yang justru memunculkan dampak negatif.
Bahkan dalam beberapa kasus, dampak mobilisasi yang negatif ini dapat menghilangkan simpati publik (Kompas, 13/8/2019). Hanya berawal dari media sosial, sebuah gerakan bisa menyebar secara viral hanya dengan sekali ”posting”. Hingga kemudian, akhirnya membesar dan turut menggerakkan warganet.