Terjadi kekerasan di sejumlah tempat saat gelombang demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang belakangan terjadi. Sebagian kalangan meminta kepolisian memperbaiki pola penanganan aksi semacam ini.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kepolisian RI dinilai belum bisa menarik pelajaran dari penanganan kerusuhan 21-22 Mei 2019 lalu di Jakarta. Terjadi kekerasan di sejumlah tempat saat gelombang demonstrasi mahasiswa dan pelajar beberapa hari terakhir.
Pandangan ini disampaikan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Choirul Anam, Jumat (27/9/2019). Dia menyatakan, sejak awal, Komnas HAM meminta agar penanganan aksi mahasiswa harus secara persuasif. Tetapi faktanya masih ada penggunaan kewenangan berlebihan di beberapa tempat.
Catatan Kompas, Propam Polri memberikan sanksi kepada 10 anggota Brimob karena melakukan kekerasan terhadap warga saat kerusuhan di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, 22 Mei. Di satu sisi, kata Anam, Polri perlu mendapat apresiasi karena berhasil mengendalikan situasi di beberapa tempat. Tetapi di titik lain, masih ada aparat yang terpancing untuk melakukan kekerasan.
"Penanganan unjuk rasa saat ini harusnya lebih baik, tetapi masih terjadi kekerasan. Ini harus diusut, baik yang terjadi di Jawa, Sumatera, maupun di Sulawesi Tenggara," katanya. Polri, kata Choirul, harus mengakomodir keinginan keluarga korban agar kasus kekerkasan yang menimpa keluarganya segera diselesaikan.
Sepakan terakhir, kekerasan terjadi di Jakarta, dan di sejumlah daerah di Indonesia saat unjuk rasa penolakan sejumlah rancangan undang-undang. Puncaknya kekerasan itu terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara di mana dua mahasiswa tewas saat unjuk rasa. Tidak hanya itu, sejumlah fasilitas umum terbakar, mobilitas warga terganggu, dan layanan angkutan transportasi sempat terhenti.
Berjanji lakukan perbaikan
Mengenai persoalan ini, Polri berjanji lebih transparan dalam menginvestigasi korban tewas yang berjumlah dua orang. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal, Jumat (27/9/2019), di Jakarta, menyatakan, Polri turut berduka cita atas meninggalnya dua mahasiswa dalam aksi demonstrasi di, Kendari, Sulawesi Tenggara. Apabila hasil autopsi menyimpulkan korban itu akibat luka tembak, Polri akan membentuk tim investigasi gabungan untuk mencari pelaku.
Dua korban tersebut, yaitu Randi (22) dan M Yusuf Kardawi (20), mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari. Berdasarkan hasil otopsi, Randi meninggal karena luka tembak di bagian dada kanan atas. (Kompas, 27/9/2019).
Iqbal melanjutkan, proses otopsi terhadap Yusuf saat ini sedang berlangsung. Otopsi dilakukan di tempat netral dan disaksikan semua pihak. Ini untuk menghindari keraguan atas hasil otopsi. "Apabila pelakunya nanti terbukti aparat, kami akan tindak tegas. Tetapi ingat, harus mengedepankan asas praduga tak bersalah. Kami tidak tahu, bisa saja ada pihak ketiga yang bermain," katanya.
Kepala Kepolisian RI, kata Iqbal, telah mengeluarkan imbauan agar seluruh jajaran tidak menggunakan senjata dalam mengawal aksi mahasiswa. Dia mengklaim bahwa personel tidak menggunakan senjata. Mereka hanya dibekali, pentungan, tameng, water cannon, dan gas air mata. Water cannon dan gas air mata digunakan saat eskalasi unjuk rasa meningkat.
Kemarin, Polri sudah mengirim dua tim ke Kendari: profesi dan pengamanan (Propam) Polri dan Inspektorat pengawasan umum (Itwasum) Polri. Tim ini akan memastikan ada atau tidaknya kesalahan standar operasional prosedur oleh aparat. "Kami akan buka setransparan mungkin," katanya.
Tuntutan mahasiswa
Gelombang protes mahasiswa di beberapa daerah ini muncul seiring dengan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi oleh DPR. Eskalasi gerakan meningkat setelah pemerintah dan DPR mengesahkan revisi undang-undang komisi antirasuah itu.
Dalam kajian Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia dan BEM Trisakti, revisi UU KPK bakal melemahkan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini membuat agenda pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda reformasi terancam. Inilah yang mendasari tuntutan mereka kepada pemerintah agar menuntaskan agenda reformasi, bukan mengebiri.
Selain itu, RUU Pemasyarakatan juga mereka tolak karena memberikan kemudahan kepada narapidana kejahatan luar biasa, termasuk korupsi.
Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) juga berpotensi mengkriminalisasi rakyat. Hal lain, mereka menolak RUU Minerba dan RUU Pertanahan. DPR pun sudah memutuskan menunda pengesahan RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU Pertanahan.