Penggunaan UU ITE dalam Penangkapan Dandhy Dinilai Berlebihan
Kegagapan ini terjadi karena masih banyak masyarakat yang masih terdoktrin oleh budaya pembungkaman era Orde Baru
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penangkapan aktivis sekaligus pengurus nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Dandhy Dwi Laksono, menggunakan ketentuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dinilai berlebihan. Pasal yang digunakan sebagai dasar hukum penangkapan Dandhy merupakan pasal karet yang tidak relevan diterapkan di negara demokratis dan mengedepankan prinsip kebebasan berpendapat.
“Pasal 28 ayat 2 UU ITE memuat aturan penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan permusuhan berdasarkan SARA. Saya kira ini tuduhan yang berlebihan jika dimaksudkan pada isi pendapat yang dikemukakan melalui media sosial,” ujar pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, di Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Fickar mengatakan, pasal yang digunakan untuk menjerat Dandhy merupakan pasal karet. Sebab, pasal ini tidak menyatakan secara jelas identifikasi informasi yang dapat menimbulkan permusuhan dan kelompok masyarakat mana yang akan bermusuhan.
Adapun bunyi Pasal 28 ayat 2 UU ITE yakni setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Penerapan pasal ini sangat multitafsir dan memiliki kecenderungan ditafsirkan sendiri oleh penguasa. Ketentuan pasal ini tidak jelas sehingga tidak relevan diterapkan pada masyarakat dalam sistem kenegaraan yang demokratis,” ungkapnya.
Selain itu, meski tidak ada larangan dalam hukum pidana, Fickar juga menyesalkan tindakan penangkapan aktivis yang dilakukan pada malam hari. Menurut dia, penangkapan pada malam hari atau waktu kapanpun dapat dilakukan polisi jika ada kepentingan yang memaksa.
Meski demikian, dari perspektif kepentingan ini, Fickar memandang tidak terpenuhi unsur atau kualifikasi yang memaksa. Dia pun menilai ada kesan kepanikan dalam penangkapan Dandhy pada malam hari.
Dandhy ditangkap di rumahnya di Pondokgede, Bekasi, Kamis (26/9/2019) pukul 22.45 WIB oleh petugas Kepolisian Daerah Metro Jaya. Berdasarkan kronologi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), polisi mendatangi rumah Dandhy sambil membawa surat penangkapan selang 15 menit setelah Dandhy tiba di rumahnya pukul 22.30.
Polisi menangkap Dandhy dengan tuduhan Pasal 28 Ayat (2) serta Pasal 45 A Ayat (2) Undang-Undang ITE dan/atau Pasal 14 dan Pasal 15 Kitab Undang-undang Hukum Pidana karena alasan unggahan di media sosial Twitter mengenai Papua yang dinilai menimbulkan rasa kebencian.
Perbedaan sebagai aset
Mengetahui kabar penangkapan tersebut, politisi PDI-P yang juga mantan aktivis 1998, Budiman Sudjatmiko, beserta perwakilan Kontras dan AJI kemudian mendatangi Polda Metro Jaya untuk memberikan bantuan hukum pembebasan Dandhy. Seperti diketahui bahwa Budiman dan Dandhy merupakan teman debat di dunia maya maupun di sejumlah acara.
Menurut Budiman, penangkapan Dandhy mengindikasikan bahwa masih terdapat sejumlah pihak yang belum melihat perbedaan pendapat sebagai aset dan seni. Padahal, menurut Budiman, dalam demokrasi di era disrupsi atau digital saat ini, perbedaan pendapat merupakan bagian dari pengayaan data dan informasi bagi masyarakat.
“Pandangan mengenai perbedaan pendapat sebagai aset belum dimiliki banyak orang. Mereka tidak melihat aset ini bisa disusun dengan argumen atau dalihnya dengan baik dan kita masih gagap di sini,” ujarnya.
Budiman menilai, kegagapan ini terjadi karena masih banyak masyarakat yang masih terdoktrin oleh budaya pembungkaman era Orde Baru. Selain itu, meski usia reformasi telah memasuki usia 20 tahun lebih, masyarakat Indonesia juga belum sepenuhnya terbiasa dengan perbedaan pendapat. Hal ini berimbas juga pada setiap perdebatan di media sosial.
Budiman berharap, ke depan dia akan mengusulkan kepada pemerintah untuk memfasilitasi debat terbuka antarpakar terkait isu yang sedang hangat dibicarakan sehingga masyarakat dapat terbiasa dengan perbedaan pendapat maupun perdebatan yang substantif.