Kritik bermunculan usai kepolisian memeriksa jurnalis dan musisi yang dianggap melanggar hukum. Polisi dianggap berlebihan karena telah membatasi kebebasan berpendapat.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Amnesty International Indonesia menilai polisi melanggar hak kebebasan menyampaikan pendapat dalam kasus Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu. Padahal, undang-undang menjamin hal itu asalkan sesuai dengan ketentuan.
Dandhy menjadi tersangka ujaran kebencian karena cuitan di akun Twitter-nya. Cuitan itu berisi dua foto dan artikel berita daring serta penjelasan tentang situasi di Papua. Sementara Ananda berstatus saksi karena bantuan dana kepada mahasiswa yang menolak undang-undang kontroversial. Penggalangan dana itu melalui platform Kitabisa.com.
Keduanya telah menjalani pemeriksaan awal di Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jumat (27/9/2019). Polisi tidak menahan mereka. ”Mendukung aksi mahasiswa bukanlah tindak pidana. Begitu pula menyatakan pendapat dan mengekspos pelanggaran di Papua atau menggalang dukungan masyarakat dalam mengkritik kebijakan pemerintah melalui media sosial,” kata Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Walaupun keduanya diperbolehkan pulang, lanjut Usman, Divisi Profesi dan Pengamanan harus memeriksa penyidik yang menangani serta menangkap keduanya. Penangkapan dan pemeriksaan tersebut tidak seharusnya terjadi, lantaran mereka melakukan aktivitas damai. Itu merupakan partisipasi warga negara dalam mengawal jalannya pemerintahan yang baik.
”Kami meminta presiden konsisten atas pernyataannya yang menyatakan akan menjaga demokrasi. Aparat harus menghentikan cara-cara represif menghadapi masyarakat,” katanya. Berkaitan dengan itu, Usman mengharapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman proaktif untuk menelusuri dugaan terjadinya pelanggaran HAM.
Secara terpisah, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono menjelaskan, cuitan Dandhy melalui akun Twitter-nya terkait masalah Papua belum tentu benar. ”Itu unggahan tulisan dan foto di dalam akunnya belum tentu benar atau teruji kebenarannya. Itu bisa mengandung ujaran kebencian dan isu SARA,” ucap Argo.
Sementara terkait pemeriksaan Ananda, Lanjut Argo, mahasiswa tersangka demonstrasi yang berakhir ricuh menyebutkan ada aliran dana dari yang bersangkutan. ”Awalnya ada massa demo yang dijadikan tersangka karena melawan petugas. Dari hasil pemeriksaan, tersangka mendapat transfer Rp 10.000.000 dari saksi (Ananda),” ujar Argo.