Syarat Kegentingan Terpenuhi, Presiden Bisa Keluarkan Perppu KPK
Unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di banyak wilayah di Indonesia, dan sebagian di antaranya berakhir rusuh bahkan memakan korban, dinilai sudah memenuhi syarat kegentingan untuk terbitnya Perppu KPK.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di banyak wilayah di Indonesia, dan sebagian di antaranya berakhir rusuh bahkan memakan korban, dinilai sudah memenuhi syarat kegentingan untuk terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau Perppu KPK. Maka seharusnya Presiden Joko Widodo tak berlarut-larut mempertimbangkan terbitnya Perppu.
“Pernyataan bahwa Presiden akan mempertimbangkan Perppu itu belum tegas, belum yakin. Padahal, situasi sudah sangat mendesak, darurat, bahkan genting,” kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Kemarin, setelah menerima masukan dari sejumlah tokoh nasional di Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Jokowi menyampaikan akan segera menghitung, mengkalkulasi, dan mempertimbangkan penerbitan Perppu KPK.
Sementara hingga hari ini, gelombang unjuk rasa mahasiswa dan pelajar yang salah satu tuntutannya, Presiden membatalkan UU KPK yang baru, belum juga berakhir. Unjuk rasa terjadi di banyak daerah. Banyak di antaranya berakhir rusuh. Bahkan di Kendari, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Immawan Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi tewas ketika aparat keamanan membubarkan paksa pengunjuk rasa.
Oce menilai realita itu sudah memenuhi kondisi kegentingan yang memaksa sebagai syarat diterbitkannya Perppu oleh Presiden. Ini diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 yang menjelaskan, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perppu.
“Kalau tidak segera menerbitkann Perppu pembatalan UU KPK, tentu artinya ada pembiaran situasi genting oleh Presiden,” ujar Oce.
Oleh karena itu, Presiden diminta untuk segera mengundangkan revisi UU KPK yang telah disetujui disahkan menjadi undang-undang oleh DPR dan pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR, 17 September 2019. Kemudian setelah itu, Perppu pembatalan UU KPK harus segera diterbitkan.
Minggu depan
Menurut Oce, dengan situasi dan kondisi saat ini yang genting, apalagi setelah tewasnya dua mahasiswa di Kendari, Presiden hendaknya menerbitkan Perppu KPK paling lambat minggu depan.
Materi Perppu, dia menekankan, harus membatalkan UU KPK yang baru, bukan mengubah, menghapus sejumlah pasal saja atau bahkan menambah poin-poin baru. Sebab, UU KPK yang baru sepenuhnya bermasalah, baik cacat prosedur pembentukannya maupun substansinya.
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman menambahkan, penerbitan Perppu KPK menjadi penting sebagai langkah koreksi atas kekeliruan Presiden bersama DPR ketika merevisi UU KPK. Apalagi proses pembahasan hingga pengesahan makan waktu kurang dari 14 hari. Masyarakat sama sekali tidak dilibatkan.
Catatan Kompas, UU KPK disahkan sebagai undang-undang dalam Rapat Paripurna yang hanya dihadiri oleh 80 orang pada awal rapat dan 108 orang saat akhir rapat menurut penghitungan manual. Meskipun menurut pemimpin rapat, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, menyebut ada 289 dari 560 anggota DPR yang tercatat hadir di daftar kehadiran, termasuk yang mengajukan izin.
“Selain tidak melibatkan partisipasi masyarakat, pembahasan dan pengesahan revisi UU KPK pun melanggar prosedur pembentukan perundang-undangan. Jadi, kalau Presiden tidak mengeluarkan Perppu KPK, rakyat akan kembali sakit hati,” ujar Zaenur.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Satya Wacana, Salatiga, Umbu Rauta mendesak pengambil kebijakan, pemerintah dan DPR, untuk belajar dari unjuk rasa mahasiswa dan pelajar, beberapa hari terakhir. Pengambil kebijakan hendaknya paham kalau mereka marah karena penyusunan undang-undang tanpa melibatkan masyarakat dan mengabaikan kritik, masukan, dan kepentingan publik.
“Saya berharap pro dan kontra terkait UU KPK dan RUU lainnya yang kontroversial menjadi pengalaman dan pelajaran berharga agar ke depan dapat lebih berhati-hati dan terbuka dalam pembahasan RUU,” kata Umbu.