Masyarakat sipil menilai, terdapat sejumlah ketentuan di dalam RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara yang bisa menimbulkan masalah baru. Salah satunya, masuknya pasal pidana di RUU itu.
JAKARTA, Kompas— DPR dan pemerintah telah menyetujui Rancangan Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (26/9/2019). Pengesahan RUU PSDN ini dinilai bukannya memperkuat sektor pertahanan, melainkan sebaliknya, justru akan memunculkan masalah-masalah baru.
Permasalahan tersebut tergolong sangat prinsipil, mencakup ruang lingkup, pengaturan komponen cadangan berbasis manusia dan sumber daya baik alam maupun buatan, prinsip kesukarelaan, pengelolaan anggaran, serta ancaman pidana.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat di antaranya menyoroti Pasal 4 Ayat (2) dan (3) RUU tersebut. Ketentuan itu mengatur bisa digunakannya komponen cadangan untuk menghadapi ancaman dari dalam negeri seperti komunisme ataupun bahaya terorisme. Hal ini dinilai berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Padahal, pembentukan dan penggunaan komponen cadangan seharusnya diorientasikan untuk mendukung komponen utama, yakni TNI, dalam upaya menghadapi ancaman militer dari luar.
Dalam RUU itu diatur, setiap warga negara bisa mendaftarkan diri sebagai komponen cadangan. Namun, apabila didapati ada komponen cadangan yang dengan sengaja membuat dirinya tidak memenuhi panggilan mobilisasi, diancam pidana paling lama 4 tahun penjara.
Anggota Koalisi yang juga Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menyayangkan dimasukkannya ancaman pidana ke dalam RUU PSDN. Menurut dia, seseorang yang mendaftar secara sukarela seharusnya bisa menolak panggilan mobilisasi jika itu tidak sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya.
”Hal ini melanggar Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, tepatnya Pasal 18, yang telah disetujui oleh Komisi HAM PBB. Dalam ketentuan tersebut, diatur bahwa masyarakat sipil memiliki hak untuk berpikir, berkeyakinan, dan beragama,” ucapnya.
Anggota Koalisi, Ikhsan Yosarie yang juga peneliti Setara Institute, menyayangkan hal serupa. Selain itu, ia menilai, pendekatan RUU PSDN cenderung militeristik sehingga muncul dugaan upaya militerisasi sipil melalui Program Bela Negara.
Konsep tentara manunggal dengan rakyat tidak saja bisa berisiko pada romantisisme masa lalu, tetapi juga menimbulkan potensi pelanggaran hukum humaniter internasional. Hal ini khususnya terkait prinsip pembedaan antara kombatan dan penduduk sipil dalam situasi konflik bersenjata internasional.
Akui dilematis
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P, Effendi Simbolon, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta mengatakan, RUU PSDN memang dilematis sebab memuat pasal-pasal pidana bagi masyarakat yang telah mendaftar sebagai komponen cadangan secara sukarela.
”Namun, langkah afirmatif tersebut perlu dilakukan karena sudah menjadi kewajiban komponen cadangan untuk menjalankan perintah mobilisasi,” ujar Effendi.
Nantinya, katanya, keputusan memobilisasi komponen cadangan ada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR. ”Komponen cadangan memang bisa sewaktu-waktu dimanfaatkan oleh Presiden untuk digerakkan dalam mengatasi ancaman pertahanan negara. Oleh sebab itu, perlu ada kontrol pula dari DPR,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, tentang komponen cadangan sebenarnya sudah ada di Pasal 8 Ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Namun, selama 17 tahun, belum bisa dilaksanakan.
”Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan negara bisa mengatasi sejumlah ancaman militer dan nonmiliter,” katanya. (DVD/EDN)