60 Jam Setelah Gempa, Pemda Masih Susun Konsep Tanggap Darurat
Kendati memasuki hari ketiga pascabencana gempa yang melanda tiga kabupaten/kota di Maluku, Pemerintah Provinsi Maluku belum menetapkan masa tanggap darurat. Kondisi ini menyebabkan manajemen bencana tidak berjalan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Kendati memasuki hari ketiga pascabencana gempa yang melanda tiga kabupaten/kota di Maluku, Pemerintah Provinsi Maluku belum juga menetapkan masa tanggap darurat. Kondisi ini menyebabkan manajemen tanggap darurat tak berjalan optimal. Setelah 60 jam berlalu, banyak korban belum terima bantuan.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Maluku Farida Salampessy, yang dihubungi Kompas, Sabtu (28/9/2019) pukul 18.17 WIT, mengatakan, konsep surat untuk penetapan masa tanggap darurat sedang disusun. Padahal, gempa terjadi pada Kamis (26/9/2019) pukul 18.46 atau lewat dari 60 jam yang lalu.
”Konsepnya sudah ada. Sebentar, masih dilihat dulu. Saya komunikasikan dulu dengan teman-teman (pemangku kepentingan) yang lain,” ujarnya.
Selanjutnya, rancangan surat keputusan itu nantinya akan diserahkan kepada Gubernur Maluku Murad Ismail untuk ditandatangani.
Farida belum dapat memastikan kapan surat keputusan yang menjadi dasar untuk melaksanakan tanggap darurat itu resmi dikeluarkan. Dengan surat itu, instansi terkait di daerah dapat mengeluarkan dana dan sumber daya lainnya untuk penanganan korban bencana. Manajemen penanganan bencana akan semakin terarah.
Menurut data yang dihimpun dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), gempa berkekuatan magnitudo 6,5 itu mengguncang wilayah Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Sebanyak 20 orang dilaporkan meninggal, 152 luka-luka, sekitar 13.000 orang mengungsi, dan ratusan bangunan rusak.
Jumat lalu, Kepala BNPB Doni Monardo menyerahkan bantuan untuk pengungsi sebesar Rp 1 miliar. Ia juga meninjau sejumlah perkampungan yang rusak serta menemui para korban gempa di Maluku Tengah dan Kota Ambon. Doni berjanji, BNPB akan membantu proses pemulihan setelah masa tanggap darurat berakhir. Rumah dan bangunan umum yang rusak akan diperbaiki.
Berdasarkan pantauan Kompas, hingga Sabtu petang, manajemen penanganan tanggap darurat belum berjalan optimal. Distribusi bantuan didominasi donatur dan relawan. Pengungsi kesulitan mendapatkan informasi tentang penyaluran bantuan.
”Kami sudah dua malam tidur di tenda darurat yang kami bikin sendiri. Kami tidur di bawah guyuran hujan. Tenda bocor dan banjir masuk ke dalam,” tutur Munawar Patty, pengungsi di Lapangan Galungung, Kota Ambon.
Penanganan bencana belum terkoordinasi dengan baik.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Maluku Benediktus Sarkol mendesak pemerintah daerah (pemda) agar secepatnya menetapkan masa tanggap darurat. Hasil pengumpulan data oleh tim di lapangan menunjukkan penanganan bencana belum terkoordinasi dengan baik.
”Jika belum ada penetapan tanggap darurat, tolong ada kebijakan untuk memperhatikan balita dan anak-anak. Banyak keluhan tentang itu,” ujarnya.
Warga masih takut
Getaran gempa yang mencapai skala VI MMI itu masih menyisakan trauma bagi warga di ketiga kabupaten/kota itu. Mereka khawatir akan terjadi gempa lebih besar dan berpotensi menimbulkan tsunami. Setiap malam, mereka mengungsi ke dataran tinggi.
”Memang sudah ada penjelasan dari pemerintah bahwa tidak tsunami, tapi kami tetap takut. Perasaan ini harus dipahami,” kata Mahedar, warga di Ambon.
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin mengatakan, frekuensi gempa semakin berkurang. Pada hari pertama setelah gempa utama, terjadi 244 kali gempa susulan. Frekuensi itu berkurang menjadi 214 kali pada hari kedua. Delapan jam pertama pada hari ketiga, gempa terjadi 36 kali.
Dengan begitu, total sebanyak 494 kali kejadian gempa dengan jumlah yang dirasakan 64 kali. ”Kami berharap, masyarakat jangan panik. Jangan percaya informasi dari sumber yang tidak bertanggung jawab,” ucapnya.