Saat literasi dinilai kian terkikis pada sementara generasi langgas, anak-anak kecil di Kepulauan Maluku bersemangat membaca dengan segala keterbatasan. Literasi diyakini menjadi benih penangkal informasi sesat.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Saat literasi dinilai kian terkikis pada sementara generasi langgas, anak-anak kecil di Kepulauan Maluku tergugah untuk bersemangat membaca dengan segala keterbatasan akses informasi. Mereka menghayati ikhtiar buku sebagai jendela dunia sekaligus penyemai benih penangkal informasi sesat.
Amina Taulepe (10) membaca dengan lancar kata demi kata yang terangkai dalam sebuah buku dongeng kisah persahabatan ayam dan elang. Intonasi suara serta ritmenya diatur seperti halnya seorang pendongeng bertutur kepada pendengarnya. Raut wajahnya mengekspresikan lakon yang tertulis dalam buku itu.
”Jangan!” teriaknya dengan mata membelalak meniru hardikan elang yang sedang marah hendak menerkam ayam. Suasana hening terbawa hingga akhir cerita. Amina menutupnya dengan menggerakkan tangan meniru sayap burung mengepak. Ia melakukannya sambil membaca narasi berisi elang yang terbang tinggi meninggalkan ayam.
Belasan bocah yang menyimak cerita itu sontak mengapresiasi Amina dengan tepukan tangan. Itulah sekilas suasana di Rumah Baca Kapela di Kompleks Air Besar, Desa Batumerah, Kota Ambon, Maluku, Minggu (22/9/2019) malam. Belasan bocah, setiap malam, selepas shalat Isya, menghabiskan waktu untuk membaca di dalam bangunan darurat berukuran 3 meter x 4 meter itu.
Di sudut ruangan itu berdiri dua rak kayu yang menopang lebih dari 100 eksemplar buku berisi cerita rakyat, sejarah nasional, novel, beragam literatur pengetahuan agama, buku mata pelajaran dasar, dan kamus. Semua buku itu sumbangan donatur dan keluarga mereka yang kini bekerja di luar Maluku.
Tak sekadar lancar membaca dan melatih berbicara sebagaimana tujuan awal, melalui Rumah Baca Kapela asupan pengetahuan umum anak-anak pun bertambah. Audelia Sahlam Latuconsina (11), misalnya, dapat menceritakan sekilas hubungan antara mantan Presiden Soeharto dan istrinya. Itu setelah Audelia membaca buku berjudul Soeharto dan Tien, karya Redy Susanto. Selain itu, banyak lagi ilmu yang diperoleh dari buku lain yang tak banyak diketahui anak seusia mereka.
”Yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah berita bohong. Banyak anak terpapar berita bohong. Banyak konflik disebabkan berita bohong. Kami selalu ingatkan bahwa, dengan membaca, mereka dapat menangkal berita bohong,” kata Rizal Tuallepe, pendamping Rumah Baca Kapela.
Yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah berita bohong. Banyak anak terpapar. Banyak konflik disebabkan berita bohong. Kami selalu ingatkan bahwa, dengan membaca, mereka dapat menangkal berita bohong.
Para bocah yang sudah mengenal telepon pintar itu juga diingatkan tentang bahaya kabar bohong yang kini marak disebarkan lewat media sosial internet. Internet menjadi saluran tercepat dan termurah dalam penyebaran hoaks. Namun, hoaks sudah ada sejak dulu. Oleh karena itu, orang yang rendah minat baca sering kali terpengaruh hoaks.
Sebagaimana catatan Litbang Kompas, penyebaran hoaks sudah diterekam pada zaman Romawi Kuno (abad 44 sebelum masehi). Oktavianus menyebarkan hoaks untuk menjatuhkan Mark Antonius dalam perebutan takhta kekaisaran Romawi. Oktavianus memanfaatkan momentum pertemuan antara Mark dan Cleopatra, pemimpin Mesir kala itu, untuk menyebarkan hoaks.
Amina dan teman-temannya merupakan korban konflik di Pulau Haruku sejak 2012. Haruku dan Ambon terpaut sekitar 2 mil laut. Di tengah kondisi pendidikan formal di sekolah yang dianggap tidak cukup mengakomodasi kebutuhan anak korban konflik, rumah baca itu menjadi solusi. Sekolah biasanya hanya melulu fokus pada pelajaran tanpa memberi perlakuan khusus pada siswa korban konflik.
Atas inisiatif para orangtua, pada 2016, warga ”menyulap” sebuah rumah untuk dijadikan tempat berkumpul bagi anak-anak. Secara sukarela, warga menyumbang uang sekaligus gotong royong mengerjakan lantai semen dan mengecat dinding bangunan yang terbuat dari batako tanpa diplester itu.
Seiring waktu, tempat itu juga menjadi ruang mereka bertemu para inspirator lokal dengan berbagai latar balakang. Ada guru, wartawan, seniman, dan pendongeng. Kehadiran inspirator memberi motivasi bagi mereka yang belum sepenuhnya lepas dari bayangan traumatik. Perlahan, mereka mulai bangkit, percaya diri, dan berani bermimpi.
Bahasa daerah
Di seberang Pulau Ambon, tepatnya Desa Sepa, Pulau Seram, literasi digunakan sebagai sarana pelestarian bahasa daerah di kalangan anak-anak. Di desa itu berdiri taman kanak-kanak yang dalam kurikulumnya menggunakan bahasa Nuaulu. Bahasa itu digunakan sekitar 2.000 penduduk yang mendiami pesisir selatan Pulau Seram. Bahasa Nuaulu mengenal lima huruf vokal, yakni a, e, i, o, dan u, serta sebelas konsonan, yakni h, k, l, m, n, p, r, s, t, w, dan y.
Penutur bahasa Nuaulu terus berkurang. Di desa itu, hanya orangtua berusia di atas 40 tahun yang mengusai bahasa Nuaulu. Generasi muda kebanyakan menggunakan bahasa Nuaulu bercampur Melayu Ambon. Untuk melestarikan bahasa itu, telah diterbitkan kamu bahasa Nuaulu dengan terjemahan ke bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kamus itu sebagai buku inti di sekolah.
”Anak-anak yang tamat dari sini lancar berbahasa Nuaulu dan bahasa Indonesia juga tahu sedikit tentang bahasa Inggris,” kata insiator sekolah itu sekaligus penyusun kamus bahasa Nuaulu, Hunanatu Matoke (39).
Upaya pelestarian bahasa daerah sangat minim. Kegiatan literasi untuk memperkuat bahasa daerah hampir tidak ada.
Kantor Bahasa Maluku mencatat, dari 58 bahasa daerah di Provinsi Maluku, sekitar 70 persen dikategorikan mengalami kemunduran, terancam punah, dan telah punah. Bahasa daerah yang sudah punah adalah Kayeli, Palumata, Moksela, dan Hukumina di Pulau Buru, kemudian Piru di Seram barat, dan Loun di Seram bagian utara.
”Dikategorikan punah kalau penutur di bawah 20 orang dan mereka sudah lanjut usia,” kata Erniati, peneliti bahasa daerah pada Kantor Bahasa Maluku. Sayangnya, di tengah kondisi itu, upaya pelestarian bahasa daerah sangat minim. Kegiatan literasi untuk memperkuat bahasa daerah hampir tidak ada. Di Maluku, mungkin hanya ada di Sepa.
Virus gerakan literasi kini menyebar ke mana-mana. Taman baca, rumah baca, pojok baca, akhirnya terus bertumbuh. Anak-anak pun diajak membaca demi menambah wawasan yang belakangan ini sering dimanipulasi berita bohong. Namun, yang perlu juga didorong adalah adanya gerakan literasi untuk melestarikan bahasa daerah.