PALU, KOMPAS Sejumlah program pemulihan pascabencana di Sulawesi Tengah berjalan lambat. Target penyelesaian rekonstruksi dan rehabilitasi dalam dua tahun bakal meleset jika tata kelola penanganan tidak dievalusi dan dipercepat.
Tepat setahun lalu, Jumat, 28 September 2018, gempa bumi yang memicu tsunami dan likuefaksi melanda Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong, Sulteng. Tercatat 3.124 orang tewas, 705 orang hilang, 1.016 orang tanpa identitas dikubur massal, dan 110.214 rumah rusak.
Hingga setahun pascabencana, sejumlah program prioritas penanganan bencana berjalan lambat. Pemenuhan hak-hak penyintas, seperti penyaluran dana stimulans, perbaikan rumah rusak, dan jaminan hidup tunai, molor sembilan bulan dari jadwal awal tahun 2019. Perbaikan tahap pertama irigasi Gumbasa sepanjang 7 kilometer bagi 1.700 hektar sawah di Sigi meleset dari target penyelesaian Juli 2019. Pembangunan hunian tetap oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bagi penyintas yang direlokasi dari zona bahaya belum berjalan.
Sesuai keputusan Presiden Joko Widodo, rehabilitasi dan rekonstruksi Sulteng berakhir pada 2020. Artinya, semua proyek harus selesai tahun depan. Namun, melihat progresnya, pencapaian target diragukan.
Sekretaris Jenderal Pasigala Center, konsorsium lembaga swadaya masyarakat untuk penanganan pascabencana Sulteng, Khadafi Badjerey, menyampaikan, sejak awal tak yakin proses rehabilitasi dan rekonstruksi berjalan mulus. Apalagi sumber pendanaan yang dibutuhkan sebagian besar dari pinjaman luar negeri dan mengikuti mekanisme normatif di sejumlah kementerian melalui APBN.
Pemerintah daerah cenderung hanya menunggu karena postur APBD tidak mencukupi untuk penanganan bencana. ”Kami meminta mekanismenya dievaluasi dengan mengedepankan percepatan pemulihan hak penyintas. Tinggalkan aspek administratif-prosedural yang jadi hambatan,” ujarnya Jumat (27/9/2019).
Pembentukan lembaga ad hoc, layaknya pada penanganan gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 melalui Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi, pernah diusulkan. Namun, usulan pembentukan lembaga yang diberi kewenangan khusus, dengan sistem kerja satu pintu sehingga mekanisme tidak berbelit itu, tidak dikabulkan.
Pada pola saat ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian PUPR, dan Kementerian Sosial menjadi tulang punggung penanganan pascabencana. Kementerian PUPR membentuk satuan tugas untuk menangani sejumlah proyek, seperti pembangunan hunian dan irigasi Gumbasa. Pemerintah daerah nyaris hanya menyediakan data bencana.
Gubernur Sulteng Longki Djanggola mengakui, masih banyak pekerjaan rumah untuk menyelesaikan program prioritas rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Mekanisme keuangan yang birokratisjuga diakui menghambat pengerjaan proyek. Mekanisme itu mengikuti standar dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah hingga lamanya pengurusan dana bantuan luar negeri di pemerintah pusat.
Pengerjaan fisik pada proyek-proyek prioritas baru dimulai tahun depan. Tahun ini, tahapannya desain dan lelang pekerjaan. ”Kami terus mendorong agar cepat selesai sehingga bisa memenuhi target pada 2020,” kata Longki. (VDL)