Aristides Katoppo, Berkarya dari Orde Lama hingga Era Tsunami Informasi
Aristides Katoppo meninggal di tengah tantangan jurnalisme yang kian kompleks. Sosok wartawan senior ini meninggalkan warisan sikap gigihnya untuk beradaptasi dengan perubahan zaman.
Insan pers Indonesia kehilangan salah satu tokoh senior, Aristides Katoppo, yang tutup usia pada Minggu (29/9/2019) pukul 12.05 WIB, di usia 81 tahun. Tides, panggilan akrabnya, meninggal karena komplikasi penurunan kesehatan. Ia dikenal sebagai sosok yang gigih untuk terus beradaptasi terhadap berbagai tantangan jurnalisme.
Tak ayal, karier jurnalistiknya terentang lebih dari 50 tahun sejak era Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo. Pengalamannya begitu kaya, mulai dari era pers pasca-kemerdekaan Orde Lama, pers yang terkekang di Orde Baru, pers pasca-Reformasi, hingga pers era tsunami informasi dan disrupsi.
Anak pertama Aristides Katopo, Judistira Katoppo, mengatakan, penurunan kesehatan ayahnya mulai terjadi awal tahun ini sepulang berkunjung dari rumah saudara-saudaranya di Belanda. ”Saat kembali ke Indonesia, sempat dirawat di rumah sakit karena jantungnya sudah tidak bagus. Kakinya bengkak dan paru-parunya juga basah,” katanya kepada Kompas.
Judistira mengenang sang ayah sebagai sosok yang baik, tidak perhitungan, ikhlas, dan ketika memberi tidak pernah mengharapkan sesuatu balasan. ”Dia sosok bokap (ayah) yang selalu memberi ilmu, saran, apa pun, semua dilakukan dengan ikhlas,” ujar Judistira di Rumah Jenazah Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta, Minggu.
Baca juga : Warisan Jakob Oetama
Judistira mengenang percakapan terakhir dengan ayahnya yang berbicara mengenai keutuhan Republik Indonesia, Pancasila, Sumpah Pemuda, sejarah, dan peristiwa zaman dulu.
”Selalu kalau ngomong sama saya mengenai kesatuan Indonesia. Itu semua, masyarakat Indonesia bermacam-macam, tapi bisa bersatu,” lanjutnya.
Tides lahir di Tomohon, Sulawesi Utara, pada 14 Maret 1938 dari pasangan Elvianus Katoppo dan Agnes Rumokoy. Terlahir dari keluarga intelektual membuat Tides terbiasa untuk berpikir kritis. Ayahnya, Elvianus, merupakan tokoh pegiat bahasa Indonesia dan salah satu pendiri Universitas Kristen Indonesia.
Tak heran, tak hanya Tides, saudara Tides pun kemudian mentas menjadi tokoh intelektual di Tanah Air. Salah satunya adalah adik bungsunya, Henriette Marianne Katoppo, yang menjadi novelis pada dekade ’70 dan ’80-an. Pergaulan Tides juga tidak jauh dari kalangan intelektual muda sesama mahasiswa Universitas Indonesia (UI) saat itu, seperti Soe Hok Gie dan Arif Budiman.
Zaman ke zaman
Dunia tulis-menulis dan jurnalistik memikat Tides sejak usia remaja. Ia mulai berkiprah di dunia jurnalistik pada 1957 saat Indonesia masih di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Berusia 19 tahun, Tides bergabung dengan Pers Biro Indonesia. Setahun kemudian, ia menjadi koresponden surat kabar New York Times (NYT) di Jakarta sampai dengan tahun 1964. Pada 1961, Tides bergabung ke surat kabar Sinar Harapan (SH).
Baca juga : Koran Mati 20 Tahun Lagi?
Pada saat bekerja ganda untuk NYT dan SH, Tides muda membuat kejutan dengan membuat berita eksklusif yang kemudian dikutip berbagai media dunia saat itu. Dalam wawancara pada 29 Desember 2015 seperti dikutip dari CNN.com, Tides bercerita bahwa dirinya memperoleh bocoran isi surat Jaksa Agung Amerika Serikat saat itu, Robert F Kennedy.
Saat berkunjung ke Indonesia pada Januari 1964, atas permintaan kakaknya yang merupakan presiden AS saat itu, John F Kennedy, Bob memberikan surat kepada Presiden Soekarno. Surat itu berisi permintaan bantuan AS kepada Indonesia untuk menengahi peralihan kekuasaan di Irian Barat. Isi surat itu didapatkan Tides, lalu dilaporkannya menjadi berita eksklusif halaman utama dua surat kabar tersebut.
Pada saat bekerja ganda untuk NYT dan SH, Tides muda membuat kejutan dengan membuat berita eksklusif yang kemudian dikutip berbagai media dunia saat itu.
Setelah itu, karier jurnalistik Tides identik dengan SH. Bicara SH, maka tidak akan jauh dari membicarakan Aristides Katoppo. Hampir sebagian besar karier jurnalistik Tides ada di harian ini. Pada 2 Oktober 1965, pemerintah membredel koran Sinar Harapan yang memberitakan peristiwa Gerakan 30 September atau G30S. Beberapa hari setelahnya, koran itu diizinkan kembali terbit.
Setelah tujuh tahun berkarier di surat kabar yang punya ciri khas terbit sore itu, Tides diangkat menjadi redaktur pelaksana. Pengalaman pernah merasakan bredel dari pemerintah tidak membuat Tides kapok dan ciut untuk mengungkap fakta dan mengkritik pemerintah.
Pada awal dekade ’70-an, pemberitaan Sinar Harapan kembali membuat telinga pemerintah memerah. Pemberitaan itu antara lain soal anggaran belanja negara yang belum disahkan DPR, laporan Komisi IV mengenai korupsi di Pertamina, dan proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diprakarsai ibu negara saat itu, Tien Soeharto.
Pemerintah pun mengecam untuk menutup SH. Surat kabar tersebut dapat tetap terbit asalkan Aristides angkat kaki dari media yang membesarkan namanya itu. Tides lantas diberangkatkan ke Amerika Serikat pada 1973 untuk sekolah. Sementara SH kembali mengantongi surat izin cetak, Tides melanjutkan studi di Stanford University dan Harvard University selama dua tahun dan kembali pada 1975.
Setelah dibredel, Tides memilih untuk menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI. Berkali-kali dibredel tidak membuat Tides dan SH menyerah dengan tantangan jurnalistik.
Namun, SH tetap saja dibredel kembali pada 1974 terkait peristiwa 15 Januari (Malari), disusul tahun 1978 dan 1986. Peristiwa terakhir ini adalah yang paling telak karena surat izin usaha penerbitan (SIUPP) Sinar Harapan dibatalkan Presiden Soeharto setelah memuat headline ”Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor”. Saat itu, Tides sudah menjadi Pemimpin Redaksi Sinar Harapan.
Setelah dibredel, Tides memilih untuk menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI. Berkali-kali dibredel tidak membuat Tides dan SH menyerah dengan tantangan jurnalistik. SH kembali naik cetak pada 2 Juli 2001, era Orde Baru sudah usai dan Indonesia masuk ke era Reformasi.
Tantangan yang dihadapi pun berbeda. Apabila pada era Orde Baru informasi terbatas dan dikontrol pemerintah, pada era Reformasi, peredaran informasi begitu bebas. Memasuki 2000-an dan 2010-an, pers menghadapi tantangan lain, yaitu era tsunami informasi dan disrupsi.
Setelah kembali naik cetak selama hampir 15 tahun, pada awal Januari 2016, SH memutuskan untuk berhenti terbit dalam bentuk cetak koran. Namun, berita SH tetap bisa diakses melalui situs beritanya.
Rekam jejak panjangnya karier Tides pun terekam oleh pemberitaan di harian Kompas. Berdasarkan data Pusat Informasi Kompas, sejak tahun 1965 hingga 2019, terdapat 149 berita yang mengandung ”Aristides Katoppo” yang tersebar sejak 13 September 1965 hingga 26 Oktober 2018.
Simpatik
Di usia senjanya, Tides masih terus disibukkan dengan dunia jurnalistik. Ia masih aktif menjadi narasumber di berbagai acara untuk memberikan pandangannya tentang dunia jurnalistik.
Tak heran, berita meninggalnya Aristides memantik simpati dan duka dari pegiat pers di Indonesia. Mantan Pemimpin Redaksi Tempo Goenawan Mohammad dalam akun Twitter-nya, @gm_gm, mengunggah cuitan foto Aristides Katoppo dengan tulisan ”Selamat jalan, saudaraku, Tides”.
Pesan dukacita juga disampaikan akun Twitter Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya dan Jakarta. Akun @aji_surabaya mengunggah cuitan foto Aristides yang dibubuhi tulisan ”Selain nurani, jurnalis harus punya nyali”. Foto itu kemudian di-retweet oleh akun @aji_jakarta dengan cuitan, ”Turut berduka cita atas meninggalnya Aristides Katoppo, jurnalis dan salah satu pendiri AJI. Semangatmu untuk berani memberitakan kebenaran akan selalu menjadi semangat AJI”.
Pengajar Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara Ignatius Haryanto mengatakan, Tides merupakan salah satu guru jurnalistik pertamanya. Tides pernah menjadi dosen Haryanto ketika kuliah di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UI pada 1987-1990.
”Beliau sangat kasual. Mengajar mengenakan T-shirt biasa, sandal, dan tas dari Baduy. Tapi dia membawa 10 koran yang berbeda-beda,” ujar Haryanto.
Setelah lulus, Haryanto menjadi wartawan sebelum menjadi peneliti media. Tides tetap menjadi teman ngobrol dan diskusinya. Berkat bantuan Tides, Haryanto dipertemukan dengan Arifin Panigoro untuk kemudian membantunya menyelenggarakan anugerah jurnalistik Mochtar Loebis Award. Tides juga didapuk sebagai penasihat kegiatan Mochtar Loebis Award.
”Dia orang yang sangat rendah hati, senang berbicara, ramah, dan selalu menantang kita melakukan hal yang lebih,” kenang Haryanto.
Soe Hok Gie
Aristides bukan hanya dikenal sebagai wartawan, melainkan juga pencinta alam. Dia juga salah satu penggagas berdirinya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Tides juga pendiri awal Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI. Dia kerap naik gunung bersama sahabat-sahabatnya, seperti Soe Hok Gie, Herman Lantang, dan Rudy Badil.
Kedekatannya dengan Soe Hok Gie kerap tercatat dalam berbagai buku karyanya, antara lain Catatan Seorang Demonstran serta Soe Hok Gie... Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya.
Sosok Aristides bahkan pernah dilakonkan dalam film Gie (2005). Dalam film yang berkisah tentang Soe Hok Gie itu, sosok Tides diperankan oleh aktor Surya Saputra.
Begitu banyak hal yang bisa dikenang dan dipelajari darimu. Selamat jalan, Pak Tides!