Cari Titik Temu di Konten Perppu
Formulasi isi Perppu KPK yang tepat bisa menghadirkan titik temu atasi kebuntuan politik. Hal ini bisa dicapai jika kepentingan bangsa dikedepankan.
JAKARTA, KOMPAS - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diterbitkan sebagai alternatif mengatasi kebuntuan politik tanpa mengedepankan prinsip menang-kalah. Titik temu dapat dicari melalui konten perppu yang tetap mengakomodasi gagasan penguatan pengawasan KPK lewat Dewan Pengawas, jaminan kepastian hukum bagi tersangka, dan status kepegawaian KPK, tetapi tetap didesain tidak mempersulit KPK menindak koruptor.
Untuk itu, diperlukan komunikasi politik dengan melibatkan pengguna undang-undang, partai politik, pegiat antikorupsi, dan mahasiswa. Titik temu diyakini bisa tercapai sepanjang para pihak menjiwai nilai Pancasila dan mengedepankan kepentingan bangsa.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, dihubungi dari Jakarta, Sabtu (28/9/2018), menyampaikan pentingnya komunikasi politik antara eksekutif dan legislatif sejalan dengan gagasan penerbitan Perppu KPK. Rencana penerbitan perppu, katanya, memperlihatkan keinginan politik yang tepat untuk mencari jalan keluar. Di sisi lain, DPR diharapkan memperlihatkan kenegarawanan demi kepentingan bangsa dan negara.
”Ketika aksi mahasiswa dan masyarakat luas menuntut DPR mendengar aspirasi, saatnya pimpinan DPR menjawab dengan sikap kenegarawanan. Tebuslah revisi UU KPK yang menimbulkan penolakan luas dari masyarakat dengan memberi ruang bagi Presiden mengeluarkan perppu,” tutur Haedar.
Dewan Pengawas
Kajian penerbitan perppu disampaikan Presiden Joko Widodo setelah menerima perwakilan tokoh-tokoh, beberapa hari lalu. Pertemuan itu berlangsung setelah gelombang unjuk rasa mahasiswa di sejumlah daerah, yang salah satu isinya menolak revisi UU KPK. Dua mahasiswa tewas dalam unjuk rasa terkait isu itu di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Perppu menjadi satu dari tiga opsi yang dipertimbangkan Presiden Jokowi. Pilihan lain ialah revisi kembali UU KPK di DPR dan uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto mengatakan, sejumlah hal di UU KPK yang sudah direvisi dapat tetap dimasukkan dalam perppu untuk membantu kinerja KPK. Salah satunya, Dewan Pengawas yang bisa didesain untuk mengawasi kinerja, organisasi, ataupun etik pimpinan dan pegawai KPK. Namun, mereka tak boleh masuk ke penanganan perkara.
”Sangat memungkinkan. Karena di negara mana pun, tidak ada Dewan Pengawas masuk pro yustisia,” ujar Sigit.
Adapun dalam revisi UU KPK yang disahkan DPR, penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan harus atas izin Dewan Pengawas.
Di revisi UU KPK juga diatur soal KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam waktu maksimal dua tahun. Hal ini dinilai KPK menyulitkan.
Sebagai alternatif, muncul tawaran pengaturan, apabila penyidik berpendapat tak cukup bukti, penyidik membuat berita acara, lalu menyampaikannya kepada pimpinan KPK. Hal itu ditindaklanjuti dengan tuntutan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mengatakan, penghentian perkara memungkinkan selama persyaratannya mengacu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Syaratnya adalah tersangka meninggal, kasus telah kedaluwarsa, nebis in idem, dan tidak cukup alat bukti. Menurut Agustinus, tak perlu ada durasi waktu maksimal penanganan perkara dan hal itu bukan menjadi diskresi penyidik, melainkan melalui hakim.
Pengaturan di revisi UU KPK bahwa pegawai KPK jadi aparatur sipil negara (ASN) dikhawatirkan mengganggu independensi KPK. Terkait itu, muncul tawaran alternatif, dari tiga rumpun jabatan di KPK—struktural, fungsional, dan administrasi—hanya rumpun administrasi yang berstatus ASN.
Penundaan berlaku
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, Gde Pantja Astawa mengingatkan, tidak ada kondisi genting sehingga Perppu KPK tak perlu dikeluarkan. Jika Presiden harus menerbitkan perppu, dia mengusulkan perppu itu berisi penundaan berlakunya revisi UU KPK, bukan berupa pembatalan.
Namun, Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Andalas, Padang, Yuliandri berpendapat, penerbitan Perppu KPK sudah memenuhi syarat. Kondisi masyarakat saat ini menjadi salah satu alasan dan dinilai sebagai kegentingan memaksa. Apalagi, substansi UU KPK yang baru disahkan berpotensi menghambat KPK.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto di Cirebon, Jawa Barat, menegaskan, keputusan mengesahkan revisi UU KPK sudah tepat. Salah satu isi revisi itu adalah keberadaan Dewan Pengawas yang dipilih Presiden serta dapat menentukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan KPK.
Dewan Pengawas, katanya, diperlukan agar KPK tidak menyalahgunakan kekuasaan. Dia menilai, keputusan DPR juga sudah mewakili kepentingan masyarakat.
Hasto meminta Presiden Jokowi membahas bersama jajaran kabinet dan partai politik di DPR jika ingin mempertimbangkan konten Perppu KPK.
Adapun menurut Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani, perppu dapat untuk mengklarifikasi sejumlah pasal yang belum jelas.
”Seperti ketentuan penyadapan yang harus mendapat izin dari Dewan Pengawas. Ketentuan itu bisa diubah, jadi KPK harus memberi tahu Dewan Pengawas setelah melakukan penyadapan,” katanya.
Gerindra mendukung perppu untuk memperkuat kinerja KPK. Ia mencontohkan, perlu perubahan ihwal pembentukan Dewan Pengawas
Wakil Ketua Komisi III dari Partai Gerindra Desmond J Mahesa menyampaikan, Gerindra mendukung perppu untuk memperkuat kinerja KPK. Ia mencontohkan, perlu perubahan ihwal pembentukan Dewan Pengawas. Selain itu, Desmond tak setuju dengan pasal di revisi UU KPK yang menyatakan bahwa Dewan Pengawas berwenang memberi atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Anggota Komisi III Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, menyatakan, PKS memilih menunggu perppu diterbitkan Presiden.