Kereta api boleh dibilang sebagai transportasi massal yang paling tua berkembang di Indonesia. Memulai dari tahun 1864, kereta itu dijalankan dengan api melalui pembakaran batubara atau kayu.
Oleh
JANNES EUDES WAWA
·5 menit baca
Kereta Api boleh dibilang sebagai transportasi massal paling tua yang berkembang di Indonesia. Mulai dari tahun 1864, kereta itu dijalankan dengan api melalui pembakaran batubara atau kayu. Tetapi, dalam puluhan tahun terakhir hanya mengandalkan tenaga listrik di atas rel.
Setelah Tanam Paksa diberlakukan penjajah Belanda melalui Van den Bosch pada tahun 1825-1830, muncul gagasan membangun kereta api. Tujuannya untuk mengangkut hasil bumi dari sistem kerja paksa tersebut. Apalagi, saat itu kondisi jalan terbatas sehingga pengangkutan barang pun bakal terbatas pula. Dibangunlah jalur pertama kereta api, yakni Semarang-Tanggung, sejauh 26 kilometer oleh Nederlands-Indiche Spoorweg Maatschappij (NISM NV).
Pembangunan pertama kali dilakukan pada Jumat, 17 Juni 1864, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr LAJ Baron Sloet van den Beele di Desa Kamijen. Disusul jalur kereta api Semarang-Surakarta (110 kilometer). Setelah itu, jalur kereta api pun dibangun di sejumlah wilayah, seperti menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dan Tanjung Perak, Surabaya, untuk pengangkutan komoditas.
Setelah itu, dibangun pula di Aceh tahun 1874, Sumatera Utara tahun 1886, Sumatera Barat tahun 1891, Sumatera Selatan tahun 1914, bahkan tahun 1922 dibangun di Sulawesi sejauh 47 kilometer rute Makassar-Takalar, lalu Makassar-Maros. Sempat dilakukan studi untuk pembangunan kereta api Pontianak-Sambas di Kalimantan Barat, Bali, dan Lombok. Hingga tahun 1939, panjang jalur kereta api di Indonesia mencapai 6.811 kilometer. Tetapi, tahun 1950, panjangnya malah berkurang 901 kilometer menjadi 5.910 kilometer. Diduga dibongkar Jepang dan rel-rel itu dikirim ke Burma (kini Myanmar).
Seiring kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, timbullah gerakan dalam perusahaan kereta api yang intinya menuntut nasionalisasi. Gerakan karyawan itu semakin intens. Aksi pun terjadi di sejumlah tempat. Puncaknya pada 28 September 1945, Angkatan Moeda Kereta Api pun mengeluarkan pernyataan yang isinya, antara lain, mulai 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada di tangan bangsa Indonesia. Orang Jepang tidak diperkenankan lagi mengurusi perusahaan tersebut.
Saat itu pula dibentuklah Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI). Dari peristiwa bersejarah inilah ditetapkan 28 September sebagai hari lahir Kereta Api Indonesia. Di luar DKARI, masih ada operator yang berada di Sumatera, seperti Kereta Api Soematera Oetara Negara Repoeblik Indonesia dan Kereta Api Negara Repoeblik Indonesia. Ada lagi Verenigde Spoorwegbedrijt (VS) yang merupakan gabungan dari 12 operator swasta kereta api. Dalam perjalanannya, DKARI dan VS bergabung menjadi Djawatan Kereta Api (DKA), dan tahun 1963 berubah lagi menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA), lalu berganti nama menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka), dan sekarang PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Mula-mula dioperasikan lokomotif uap atau kereta api yang digerakkan dengan uap air yang dibangkitkan dari ketel uap yang dipanaskan dengan kayu bakar atau batubara. Lokomotif uap umumnya diimpor dari Jerman. Lokomotif uap terakhir diimpor tahun 1950, dan digunakan untuk angkutan penumpang, barang dan batubara. Setelah beroperasi selama 30 tahun, lokomotif uap pun berakhir. Lokomotif ini masuk museum di Ambarawa dan Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Saat yang sama dimulai era baru, yakni kereta diesel yang menggunakan bahan bakar solar. Setelah itu, berkembang lagi kereta rel listrik yang dinilai lebih hemat dan ramah lingkungan.
Revolusi
Sejalan tuntutan keadaan, perusahaan kereta api juga mengoperasikan kereta penumpang yang lebih baik, yakni Kereta Api Bima, mulai 1 Juni 1967, yang melayani rute Gambir-Surabaya. Bahkan, KA Bima pun termasuk yang pertama kali di Indonesia menggunakan pendingin (AC) berfreon. Entah apa pertimbangannya, posisi kereta api bukanlah dianggap sebagai kebutuhan vital dalam transportasi nasional. Pemerintah lebih getol membangun jalan tol, dan masyarakat dirangsang memiliki serta menggunakan mobil dan sepeda motor.
Kereta api mengalami masa suram yang luar biasa. Pengoperasian transportasi ini meski satu-satunya dikelola negara, tetapi tidak pernah menguntungkan. Banyak jalur ditutup karena selalu merugi, banyaknya penumpang gelap, kerusakan lokomotif, kerusakan prasarana kereta api juga terjadi di mana-mana. Kecelakaan pun sering terjadi dan menimbulkan korban jiwa. Bahkan, di Jabodetabek, kita menyaksikan setiap saat kereta api dipenuhi ratusan penumpang yang duduk di atas gerbong kereta. Mereka biasanya tidak memiliki tiket. Stasiun pun dibiarkan terbuka sehingga orang bebas keluar masuk. Stasiun tak ubahnya seperti pasar. Tidak jarang terjadi tindak kriminalitas di dalam kereta api dan stasiun.
Revolusi perkeretaapian itu dimulai saat dipimpin Ignatius Jonan. Dimulai dari pembenahan internal. Gaji karyawan dinaikkan signifikan. Ditumbuhkannya harapan, rasa percaya diri dan bangga sebagai orang kereta api. Satu demi satu stasiun ditata menjadi lebih tertib dan menarik. Tidak jarang anggota TNI pun dilibatkan untuk menertibkan kawasan stasiun. Bisnis perusahaan itu pun dibenahi. Hasilnya seperti yang disaksikan saat ini. Pelayanan yang diberikan sangat prima. Selalu tepat waktu. Stasiun tidak lagi kumuh. Kenyamanan sangat terjaga. Kepercayaan masyarakat terhadap kereta api terus meningkat. Minat masyarakat menggunakan kereta api, terutama di Jabodatabek, saat bekerja pun sungguh tinggi. Kinerja keuangan perusahaan membaik. Pendapatan perusahaan pun terus meningkat.
Kini, hadir pula MRT (24 Maret 2019) dan kereta ringan atau lintas rel terpadu (LRT). MRT tahap pertama, yakni Lebak Bulus-Hotel Indonesia, sudah beroperasi, dan segera dikerjakan MRT tahap dua dari HI menuju ke utara Jakarta, lalu disusul jalur lainnya. Sementara LRT sudah beroperasi di Palembang, Jakarta, dan segera menyusul rute Cibubur-Dukuh Atas, dan Bekasi-Dukuh Atas. Selain itu, mulai dibangun pula kereta api cepat rute Jakarta-Bandung, serta Jakarta-Surabaya.
Meski tergolong sangat terlambat dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara, kehadiran MRT dan LRT menunjukkan kereta api terus berkembang di Indonesia. Kereta yang dulu hanyalah anak tiri kini malah menjadi salah satu anak kandung dalam keluarga transportasi nasional. Ini menunjukkan kereta sulit terpisahkan dari perjalanan bangsa. Teknologi perkeretaapian pun terus berkembang pesat dalam segala aspek. Lalu masih pantaskah kita menyebutnya dengan kereta api?
Sumber: Kompas, Minggu, 30 Juni 1991, halaman 3, Kompas, Kamis, 7 November 1991, halaman 10, Kompas, Minggu, 19 April 1998, halaman 4, Kompas, Jumat, 6 Oktober 2000, halaman 18, Kompas, Kamis, 12 Maret 2009, halaman 18, Kompas, Jumat, 5 Juni 2009, halaman 2, 21, Kompas, Jumat, 22 Oktober 2010, halaman 1, 45-48.