Menjaga Karang, Menjaga "Harta Karun" Generasi Penerus
Upaya menjaga ekosistem laut terus digalakkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Salah satunya dengan transplantasi karang. Bagi mereka, menjaga karang sama dengan menjaga "harta karun" untuk generasi masa depan.
Kesadaran akan pentingnya terumbu karang bagi ekosistem laut terus bermunculan di berbagai daerah, termasuk di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Di daerah yang telah lama mengembangkan pariwisata bahari itu, masyarakat didorong untuk ambil bagian melindungi terumbu karang. Terumbu karang adalah "harta karun" alam dan investasi penting untuk generasi masa depan.
“Tamu suka protes kalau lihat sampah plastik di laut, apalagi kalau karang rusak. Kadang, protes mereka membuat kami terpojok. Kalau sudah begitu, kami hanya bisa menjawab bahwa kondisi itu memang butuh perjuangan panjang dan kerja bersama untuk menyelesaikannya,” kata Andi Akmal (50), di kawasan Pantai Senggigi, Kecamatan Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Minggu (22/9/2019) siang.
Siang itu, Andi yang hanya mengenakan celana renang dan bertelanjang dada baru saja mengikuti kegiatan “Coral Plantation” atau penanaman (transplantasi) karang di kawasan pantai yang menjadi salah satu ikon pariwisata Lombok itu. Transplantasi karang yang diikuti Andi dan anggota berbagai komunitas peduli lingkungan serta perorangan itu diselenggarakan oleh Yayasan Lombok Eco International Connection.
Duh, saya jadi merinding membayangkan kalau itu sampai terjadi.
Sambil terus bercerita, Andi yang sudah lebih dari 30 tahun bekerja sebagai pemandu wisata di Senggigi memadang ke pasangan suami-istri dan dua anaknya yang tengah menyelam permukaan (snorkeling).
“Laut ini harta karun yang akan kita wariskan untuk anak-cucu kita. Terbayang kalau semua ini tidak kita jaga bersama dan generasi masa depan hanya mendapati laut tanpa apa pun,” kata Andi.
“Duh, saya jadi merinding membayangkan kalau itu sampai terjadi,” tambah Andi sambil menunjukkan bulu-bulu lengannya yang berdiri.
Alasan itulah yang membuat Andi tak berpikir panjang ketika dua minggu lalu, diajak penyelenggara untuk ikut kegiatan tersebut. Baginya, berpartisipasi dalam kegiatan itu adalah investasi jangka panjang yang akan berdampak pada banyak hal.
“Kalau karang bagus, maka biota lautnya juga akan banyak. Itu akan menjadi daya tarik bagi wisatawan. Saya dan masyarakat akan mendapatkan manfaat dari ramainya wisatawan yang datang. Pemandu wisata, pedagang, tukang parkir, dan lainnya,” kata Andi, yang juga menyewakan paket perjalanan snorkeling ke Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air di Lombok Utara.
Andi memang bukan satu-satunya orang yang bersemangat dalam kegiatan penanaman terumbu karang di kawasan yang berjarak sekitar 17 kilometer utara Mataram, ibu kota NTB, itu. Seratus lebih peserta yang ambil bagian menunjukkan antusiasme yang sama.
Sejak pukul 07.00 Wita, mereka mulai berdatangan. Semakin siang, jumlahnya terus bertambah. Ada yang datang sendiri, bersama keluarga, atau bareng anggota komunitas. Mereka langsung membaur dengan peserta yang lebih dulu datang.
Tak lama kemudian, sebagian mereka mulai mengganti pakaian, baik untuk menyelam atau snorkeling yang dibawa sendiri. Bagi yang tidak membawa peralatan itu, bisa menggunakan peralatan snorkeling yang hari itu disediakan secara gratis oleh Andi.
Perahu karet milik Badan Pencarian dan Pertolongan (Kantor SAR Mataram) yang ikut membantu juga disiapkan. Setelah itu, mereka bergerak ke tengah, beberapa puluh meter dari pinggir pantai. Di sana, mereka akan mengumpulkan bibit terumbu karang yang akan ditanam.
Sementara menunggu tim yang berada di laut, peserta lain di darat menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan. Ada yang menyiapkan media rangka besi yang akan diletakkan di bawah laut serta semen cor berbentuk bintang dan lingkaran.
Setelah mendapat kabar bibit terumbu karang terkumpul, mereka kemudian bersama-sama mengangkat rangka besi ke atas perahu karet. Rangka besi itu selanjutnya dibawa ke tengah perairan dan diletakkan di dasar laut pada kedalaman 10 meter oleh tim penyelam. Ada dua rangka besi yang ditenggelamkan.
Masih menggunakan perahu karet, mereka juga membawa serta semen cor dan bibit terumbu karang ke tengah perairan, tepat di atas rangka-rangka besi. Para peserta, baik yang menyelam maupun snorkeling, langsung mengerubungi perahu karet.
Secara bersama-sama, mereka menurunkan semen cor yang telah diletakkan bibit terumbu karang di atasnya. Semen cor dengan bibit terumbu karang itu selanjutnya mereka serahkan ke para penyelam untuk dipasang di atas rangka besi.
Ini kegiatan yang menyenangkan. Tidak hanya mendukung rehabilitasi terumbu karang, tetapi juga bisa bertemu teman-teman baru dari komunitas lain.
Proses pemasangan itu berlangsung lebih dari satu jam. Para penyelam juga sesekali harus naik ke permukaan. Begitu juga yang snorkeling. Beberapa kali, peserta yang snorkeling kembali ke pinggir pantai dan digantikan oleh peserta lain. Perairan Senggigi yang hari itu cukup tenang juga membantu proses itu.
“Ini kegiatan yang menyenangkan. Tidak hanya mendukung rehabilitasi terumbu karang, tetapi juga bisa bertemu teman-teman baru dari komunitas lain. Saya akan dengan senang hati untuk ikut lagi pada kegiatan serupa,” kata M Syahrul Ramadhan (27), peserta asal Mataram.
Pasek Arianta, Ketua Lombok Care Community, komunitas masyarakat peduli pariwisata di Lombok, mengatakan, transplantasi karang adalah kegiatan yang sangat positif. “Karang perlu kita rawat. Apalagi, pertumbuhan karang butuh waktu puluhan tahun, sementara untuk merusaknya bisa hanya dalam hitungan detik,” kata Pasek.
Setiap tahun
Pendiri Lombok Eco International Connection Siti Aisyah mengatakan, transplantasi terumbu karang mereka lakukan setiap tahun. Tahun ini merupakan yang kedua. “Tahun lalu kegiatan kami di perairan Kecinan, Lombok Utara. Di sana ada 600 bibit karang yang ditanam. Sementara, di Senggigi kali ini sebanyak 350 bibit. Selain karang, dua kali setahun kami juga menanam bakau,” kata Aisyah.
Menurut Aisyah, transplantasi karang memang bertujuan menyelamatkan karang demi keberlangsungan ekosistem laut. “Tujuan lain tentu karena Senggigi pada khususnya dan Lombok pada umumnya adalah daerah wisata,” kata Aisyah.
Aisyah menambahkan, secara umum, kondisi karang di perairan Lombok tidak terlalu rusak. “Tetapi, bukan berarti kita tidak bergerak, kan? Kita tingkatkan (kualitas karangnya). Oleh karena itu, setelah ditanam, setiap tiga bulan sekali akan kami cek perkembangannya,” kata Aisyah.
Sejalan dengan itu, mereka juga akan terus mencari tempat-tempat lain untuk kegiatan serupa. “Kawasan perairan di Lombok, kan, banyak sehingga memungkinkan untuk transplantasi karang,” kata Aisyah.
Tantangan
Menurut Andi, transplantasi karang memang tidak akan cukup. Baginya yang sudah puluhan tahun berkegiatan di wisata bahari, rehabilitasi karang harus juga sejalan dengan kesadaran masyarakat akan lingkungan. Salah satunya sampah.
“Karang bukan hanya rusak karena pengeboman atau jangkar, tetapi minimnya kepedulian kita pada sampah. Tidak hanya masyarakat di hulu, kadang wisatawan yang ke sini juga tidak peduli dengan sampah. Dibuang begitu saja. Saya harus berkali-kali menegur mereka,” kata Andi.
Menurut Andi, perjuangan komunitas peduli lingkungan untuk menjaga laut bisa jadi sia-sia jika pengendalian sampah di hulu tidak cermat. “Lihat saja, kalau sudah musim hujan, muara sungai di sana (salah satu sudut pantai Senggigi), akan penuh sampah dan masuk ke laut. Mumpung sekarang sungai sedang dangkal, kita bisa angkat semua sampah-sampah di sana,” kata Andi.
Riset yang relatif baru membuktikan keberadaan sampah laut berkorelasi terhadap kerentanan karang akan penyakit. Di perairan Indonesia, mulai dari sungai, muara, pantai, serta laut tercemar sampah.
Baca juga: Laut Ku tak Biru Lagi
Jurnal Science, 26 Januari 2018, menerbitkan laporan Plastic Waste Associated with Disease on Coral Reefs. Dalam artikel ilmiah itu, Joleah B Lamb (Department of Ecology and Evolutionary Biology, Cornell University, Amerika Serikat) beserta 10 peneliti lain menyurvei 159 lokasi terumbu karang di Indonesia (Sulawesi Selatan, Bali, Papua Barat), Myanmar, Thailand, dan Australia.
Pengamatan pada 124.000 karang di kedua benua ini menunjukkan risiko terinfeksi penyakit saat bersentuhan dengan sampah plastik pada kisaran 4-89 persen. Disebutkan dalam laporan itu, jumlah sampah plastik di laut Indonesia menempati posisi tertinggi, yaitu 25,6 buah per 100 meter persegi2. Terendah di perairan Australia, ditemukan 0,4 buah sampah per 100 meter persegi (Kompas, 3 Februari 2018).
Pasek juga menyatakan hal yang sama. Kesadaran masyarakat, terutama di hulu untuk mengelola sampah, harus ditumbuhkan. Saat ini, gerakan zero waste yang menjadi program prioritas Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk menghadapi persoalan itu, menurut Pasek, belum maksimal. “Tetapi, kami terus mendorong pemerintah provinsi agar memaksimalkan program itu,” kata Pasek.
Sejauh ini, kesadaran memang mulai tumbuh di masyarakat, tetapi lebih banyak pada komunitas-komunitas. Setiap dua minggu sekali, misalnya, Lombok Ocean Care mengadakan snorkeling sambil bersih-bersih kawasan pantai. Ada pula Lombok Care Community yang membersihkan sungai di bagian hulu. “Kalau tidak begitu, di muara sungai akan penuh sampah. Kalau itu masuk ke laut dan menutup karang, maka (karang) akan mati,” kata Pasek.
Menurut Andi, agar niat meninggalkan harta karun berupa laut dan biotanya bagi generasi muda terwujud, maka perlu kerja sama. “Tidak cukup hanya komunitas. Semua pihak, saya, teman-teman, termasuk pemerintah, harus bekerja sama,” kata Andi.