TNI berhasil menyelamatkan sebagian warga dari kerusuhan Wamena. Warga yang sebagian terdiri dari anak-anak, perempuan, dan orangtua tak henti-hentinya berterima kasih pada mereka.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·5 menit baca
Hercules yang mengangkut 186 penumpang dari Wamena tiba di Pangkalan Udara Silas Papare Jayapura, Jayapura, Jumat (27/9/2019) sekitar pukul 12.00 WIT. Tampak ratusan orang turun dari pesawat milik TNI Angkatan Udara dengan wajah penuh haru dan isak tangis.
Komandan Pangkalan Udara Silas Papare Jayapura (SPJ) Marsekal Pertama Tri Bowo Budi Santoso secara langsung menyambut para penumpang. Ada penumpang yang mencium tangan Tri. Ada penumpang yang meminta bersalaman dengannya. Semua sikap tanda rasa terima kasih para penumpang atas kebaikan TNI yang telah mengevakuasi mereka dari Wamena.
Para penumpang ini termasuk 9.000 warga yang mengungsi pasca-kerusuhan di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Senin (23/9/2019) lalu.
Insiden ini menyebabkan 31 warga meninggal dan 76 warga lainnya luka-luka. Kerusuhan dipicu adanya aksi unjuk rasa anarkistis yang dimulai sejak pukul 08.00 WIT oleh sekelompok orang.
Massa yang diduga oknum pelajar dan warga membakar 465 ruko, 150 rumah, 165 motor, dan 224 mobil serta truk. Unjuk rasa terjadi karena terpengaruh informasi bohong seorang guru yang berkata rasis terhadap salah satu murid di SMA PGRI Wamena pada 18 September 2019.
Insiden ini terjadi bersamaan aksi penyerangan polisi dan TNI di daerah Expo Waena, Kota Jayapura. Dalam insiden di Expo, satu anggota TNI Angkatan Darat, Praka Zulkifli Al Karim, gugur karena diserang massa dengan senjata tajam di bagian kepala. Sementara itu, tiga warga sipil ditemukan tewas di Expo Waena.
Iksan (45), salah satu dari 106 pengungsi yang dibawa ke Gedung Serbaguna Megantara, milik Pangkalan Udara SPJ, menjadi saksi kejadian itu. Ia mengungsi di gedung itu karena tidak memiliki kerabat di Jayapura.
Ia berasal dari Pasuruan, Jawa Timur, sudah merantau di Wamena sejak 2015 lalu. Semua upayanya ini demi memenuhi kebutuhan hidup istri dan lima anaknya di Pasuruan. Iksan saat ditemui pada Sabtu (28/9/2019) menuturkan, dirinya bekerja seperti biasanya pada Senin pagi sebagai tukang ojek sepeda motor beberapa jam sebelum terjadinya kerusuhan.
Saat itu, sekitar pukul 08.00 WIT di daerah Pasar Baru, ia menyaksikan gelombang orang yang sangat banyak mulai menyerang fasilitas publik, seperti ruko dan rumah.
Iksan yang saat itu menarik penumpang berlari masuk ke rumah salah satu warga setempat di daerah tersebut. Warga tersebut menyembunyikan Iksan selama 4 jam. Motor Iksan pun hangus dibakar massa sekitar pukul 12.00 WIT. Setelah 4 jam , ia pun memilih keluar dari rumah tersebut untuk mencari pertolongan.
Akhirnya, ia menemukan pos milik aparat TNI Angkatan Darat di daerah Pasar Baru. Iksan pun langsung dievakuasi anggota TNI di pos tersebut ke Markas Kodim 1702 Jayawijaya. Empat hari kemudian pasca-kerusuhan, Iksan turut menumpang pesawat hercules milik TNI AU ke Jayapura.
”Saya sangat bersyukur saat melihat wilayah Jayapura dari atas pesawat. Saya bahagia karena masih diberikan kesempatan untuk hidup dan bisa bertemu lagi dengan keluarga,” ungkapnya sambil menangis.
Saya sangat bersyukur saat melihat wilayah Jayapura dari atas pesawat. Saya bahagia karena masih diberikan kesempatan untuk hidup dan bisa bertemu lagi dengan keluarga.
Mencekamnya Wamena juga masih membayang di pelupuk mata Abdullah Sihabudin (40). Sudah tiga hari Abdullah bersama istrinya, Siti Zuleha, dan anaknya tinggal di lokasi pengungsian. Meskipun hanya tidur beralaskan karpet, ia merasa bahagia telah meninggalkan Wamena. Pada Sabtu siang itu tampak asyik bercengkrama bersama anaknya, Aidah (2), di lokasi pengungsian Gedung Serbaguna Megantara.
Ia belum bisa melupakan kerusuhan yang menghanguskan rumah, kendaraan bermotor, dan kantor jasa penjualan tiket pesawatnya. Pria asal Probolinggo, Jawa Timur, itu bercerita, kejadian itu menimpa dirinya sekitar pukul 09.00 WIT. Saat itu massa sudah melepar batu, busur panah, dan bensin ke rumahnya. Sang istri bersama sejumlah pegawai Abdullah telah menyelamatkan diri. Sementara Abdullah dan anaknya Aidah masih tertinggal di rumah.
Setelah itu, massa masuk ke dalam rumah hendak membunuh Abdullah dan anaknya, Aidah. Saat itulah salah seorang warga setempat yang biasa dipanggil Mama Lani menghadang massa.
”Ibu itu meminta agar massa tidak membunuh kami berdua. Sebab, menurutnya, saya orang baik yang sering membantu warga setempat,” ungkap Abdullah.
Ibu itu meminta agar massa tidak membunuh kami berdua. Sebab, menurutnya, saya orang baik yang sering membantu warga setempat.
Mama Lani pun membawa Abdullah dan Aidah ke rumah honai miliknya. Rumah Abdullah beserta rumah kontrakan miliknya pun dibakar massa. Keduanya bersembunyi di honai tersebut tanpa mengeluarkan suara selama 4 jam.
”Setelah bersembunyi di honai tersebut, pihak kepolisian datang menjemput kami berdua dan segera dibawa ke Polres Jayawijaya. Di sana akhirnya saya menemukan kembali istri,” tutur Abdullah.
Ia hanya berharap pemerintah pusat bisa memberikan bantuan pesawat agar membawa kembali para pengungsi kembali ke kampung halamannya masing-masing.
Setelah bersembunyi di honai tersebut, pihak kepolisian datang menjemput kami berdua dan segera dibawa ke Polres Jayawijaya. Di sana akhirnya saya menemukan kembali istri.
Kejahatan kemanusiaan
Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey mengatakan, pihaknya menemukan pembunuhan terhadap seorang dokter, intimidasi terhadap guru, dan pembakaran tiga pelajar yang tidak mau mengikuti aksi unjuk rasa.
”Dari hasil pengecekan fakta-fakta di SMA PGRI Wamena, teryata tidak ada sama sekali ujaran rasis dari guru terhadap salah satu siswa. Info tersebut sengaja dipelintir oknum tertentu untuk memprovokasi massa,” ungkap Frits.
Ia juga menuturkan, dari hasil investigasi Komnas HAM terungkap bahwa aksi unjuk rasa yang berakhir dengan kerusuhan direncanakan sejak 21-22 Agustus 2019.
Hal ini terbukti dengan adanya bensin yang sudah disiapkan untuk membakar fasilitas publik dan warga yang menolak untuk mengikuti unjuk rasa.
Frits menambahkan, pelayanan publik, seperti sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, belum berjalan hingga saat ini. Sebab, ribuan warga masih merasa trauma dan belum kembali ke rumah.
”Komnas HAM menilai terjadinya kejahatan kemanusiaan yang sudah direncanakan. Kami mendukung penuh upaya pihak kepolisian untuk menegakkan hukum agar insiden ini tak terulang lagi,” tuturnya.