Sejumlah emiten berkapitalisasi besar yang terdapat di Indeks Harga Saham Gabungan mengalami koreksi harga saham sejak awal Januari hingga pekan terakhir September 2019.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah emiten berkapitalisasi besar yang terdapat dalam Indeks Harga Saham Gabungan mengalami koreksi harga saham sejak awal Januari hingga pekan terakhir September 2019. Meski ada koreksi harga, fundamental dan kinerja emiten yang baik membuat saham-saham berkapitalisasi besar masih layak dikoleksi, terutama untuk jangka panjang.
Kapitalisasi adalah jumlah saham yang beredar dikalikan dengan harga saham sehingga semakin banyak saham yang beredar dan semakin mahal harganya, maka kapitalisasinya akan semakin besar.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), 10 saham dengan kapitalisasi terbesar yang terdaftar pada IHSG adalah PT Bank Central Asia Tbk (Rp 748,279 triliun), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (Rp 511,551 triliun), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Rp 426,958 triliun), PT Unilever Indonesia Tbk (Rp 358,61 triliun), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (Rp 325,5 triliun), PT Astra International Tbk (Rp 269,215 triliun), PT HM Sampoerna Tbk (Rp 267,531 triliun), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (Rp 139,359 triliun), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (Rp 138,466 triliun), dan PT Gudang Garam Tbk (Rp 101,014 triliun).
Pada 2 Januari-27 September 2019, koreksi harga saham membayangi 5 dari 10 saham big caps, yakni Bank Mandiri (BMRI) yang melemah 5,42 persen, BNI (BBNI) melemah 15,63 persen, Astra International (ASII) melemah 19,15 persen, Gudang Garam (GGRM) melemah 37,22 persen, dan HM Sampoerna (HMSP) melemah 38,01 persen.
Analis FAC Sekuritas Wisnu Prambudi Wibowo menilai, meski mengalami koreksi harga, kelima perusahaan masih menunjukkan kinerja positif sepanjang semester I-2019. Fundamental emiten yang kuat membuat saham dari kelima emiten masih layak dikoleksi untuk jangka menengah dan panjang.
Meski mengalami koreksi harga, perusahaan dengan kapitalisasi besar masih menunjukkan kinerja positif sepanjang semester I-2019.
Sepanjang semester I-2019, BNI mencatatkan pertumbuhan laba bersih 2,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara Bank Mandiri mencatatkan pertumbuhan laba bersih 11,1 persen.
”Meski tengah menghadapi tantangan likuiditas, saham BBNI dan BMRI memiliki valuasi yang menarik yang tecermin dari price to book value saham BBNI di level 1,21 kali dan BMRI di level 1,75 kali,” ujar Wisnu saat dihubungi, Minggu (29/9/2019).
Price to book value (P/BV) atau rasio harga terhadap nilai buku adalah salah satu indikator yang sering dipakai untuk mengukur daya tahan perusahaan di masa krisis. Suria mengatakan, semakin rendah nilai P/BV suatu saham, maka saham tersebut semakin tepat dipilih sebagai instrumen investasi jangka panjang.
”Penurunan valuasi karena berbagai sentimen bisa dimanfaatkan oleh investor jangka menengah dan panjang untuk mengoleksi saham-saham sektor perbankan,” kata Wisnu.
Head of Research Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma di sektor konsumer, investor dapat memburu saham HM Sampoerna dan Gudang Garam. Selain fundamentalnya yang kuat, analis menilai penurunan saham emiten rokok itu sudah terbatas sehingga berpeluang untuk kembali naik.
Secara fundamental, Gudang Garam mencatatkan pertumbuhan laba tahunan 20,43 persen pada semester I-2019. Pada periode yang sama, HM Sampoerna juga mencatatkan pertumbuhan laba tahunan mencapai 10,8 persen.
Suria menilai kinerja saham HM Sampoerna dan Gudang Garam terkoreksi sepanjang tahun berjalan disebabkan oleh dua sentimen, yakni penyesuaian free float saham indeks LQ45 dan kenaikan cukai hinga 23 persen mulai 1 Januari 2020.
”Rebalancing saham LQ45 Agustus lalu membuat investor dengan strategi indexing secara umum akan melepas saham-saham yang pada awal tahun tergabung dengan saham LQ45 sehingga dalam jangka pendek akan ada tekanan untuk saham-saham tersebut,” ujarnya.
Gudang Garam mencatatkan pertumbuhan laba tahunan 20,43 persen pada semester I-2019, sementara HM Sampoerna juga mencatatkan pertumbuhan laba tahunan mencapai 10,8 persen.
Pemecahan nilai
Sementara itu, salah satu saham big caps di pasar modal Tanah Air, Unilever Indonesia, mengumumkan rencana melakukan pemecahan nilai nominal saham (stock split). Melalui keterbukaan informasi BEI, saham berkode UNVR menilai aksi stock split bisa membuat saham Unilever menjadi lebih terjangkau oleh investor ritel atau perorangan.
Perubahan nilai nominal saham perseroan yang bergerak di sektor consumer goods itu akan diusulkan dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) yang waktu pelaksanaannya akan diumumkan lebih lanjut.
Suria menilai dengan semakin meningkatnya kepemilikan saham oleh investor ritel, maka stabilitas harga saham UNVR akan semakin terjaga. ”Stock split kebanyakan dilakukan untuk mengejar likuiditas. Likuidnya saham bisa membuat emiten menjadi lebih mudah mencari sumber pendanaan baru melalui pasar modal di masa mendatang,” ujarnya.