Tindakan Eksesif Polisi, Langkah Mundur Reformasi Kepolisian
Reformasi kepolisian yang digulirkan pada awal masa reformasi 1998 mencita-citakan lahirnya kepolisian sipil yang menjunjung tinggi norma-norma demokrasi dan menghormati hak asasi manusia.
Tindakan keras polisi dalam menangani unjuk rasa di sejumlah daerah menuai kritik. Demonstran dipukuli, petugas medis dianiaya, gerak wartawan dibatasi, dan tak sedikit yang ikut jadi korban. Wajah polisi menjauh dari apa yang dicita-citakan saat reformasi kepolisian digulirkan di awal era reformasi 1998.
Malam itu, 24 September 2019, betul-betul mencekam. Polisi terus menekan mundur mahasiswa di seputaran Kompleks Parlemen, Jakarta. Air tak henti-hentinya disemburkan dari kendaraan water cannon milik kepolisian. Gas air mata bertubi-tubi ditembakkan.
Mahasiswa yang tertangkap menjadi bulan-bulanan polisi. Seorang demonstran berambut panjang dan mengenakan jas almamater yang ditangkap di Jalan Jenderal Gatot Subroto, depan parlemen, misalnya, perutnya ditendang kemudian dibawa masuk ke area parlemen.
Malam kian larut, dan belum ada tanda-tanda pengunjuk rasa membubarkan diri, polisi semakin keras. Di Jalan Layang Slipi, Jakarta Barat, tiga pengunjuk rasa yang tertangkap langsung dianiaya. Asas praduga tak bersalah yang seharusnya dikedepankan kepolisian tidak terlihat lagi di malam yang mencekam itu.
Selain pengunjuk rasa, tindakan keras kepolisian juga menyasar petugas medis.
Ini seperti dialami oleh tim medis ambulans PMI Kota Jakarta Timur. Oknum anggota Brimob mendatangi mereka saat tim sedang memberikan pertolongan pertama pada korban kerusuhan.
Oknum membuka paksa ambulans, memukul-mukul, dan menarik paksa keluar pasien. Oknum juga melayangkan tongkat kayunya pada semua personel tim medis di ambulans. Salah satunya sempat pula diinjak. Tak berhenti di situ, oknum memecahkan kaca belakang mobil ambulans.
Baca juga: 24 September, 20 Tahun Silam dan Kini
Hari berganti, publik berpikir kericuhan sudah usai. Namun, sekonyong-konyong, massa pelajar SMA dan SMK dari sejumlah wilayah di Jabodetabek ”menyerbu” Kompleks Parlemen mulai Rabu (25/9/2019) siang.
Unjuk rasa yang tertib tak berlangsung lama. Pelajar dan polisi kemudian terlibat bentrokan. Massa pelajar yang semula berunjuk rasa di depan Kompleks Parlemen beralih ke belakang gedung parlemen. Mereka mencoba masuk melalui pintu belakang. Bentrok kembali pecah, dan kericuhan terjadi hingga hari berganti.
Polisi kembali bertindak keras pada pengunjuk rasa. Mereka yang tertangkap dipukuli sebelum dimasukkan ke mobil tahanan. Tak hanya itu, siapa pun di area bentrokan dicurigai sebagai bagian dari pengunjuk rasa.
Ketua RW 002 Kelurahan Gelora, Tanah Abang, Bahrudin mengatakan, ada empat warganya yang ikut dibawa polisi. Salah satunya bahkan dipukul polisi. Padahal, mereka tidak ikut dalam unjuk rasa. ”Saya menyesalkan tindakan aparat. Mengapa pukul rata semua? Padahal, mereka warga,” ujarnya.
Memang saat hendak dibawa oleh polisi, odol menempel di sekitar mata mereka. Namun, penggunaan odol bukan karena mereka ikut unjuk rasa. ”Mereka memakai odol karena matanya perih oleh gas air mata,” kata Hasim, salah satu petugas hansip di RW 002.
Dugaan salah tangkap tak hanya dikisahkan terjadi di kawasan Gelora. Salah satu pegawai restoran cepat saji di Palmerah Utara, Nikmat Anugerah (20), mengatakan, temannya ikut diamankan polisi di Jalan Layang Slipi Jaya. Padahal, mereka bukan pengunjuk rasa. Mereka berada di jalan layang itu hanya untuk menonton unjuk rasa.
”Polisi mencurigai kami sebagai bagian dari pengunjuk rasa, terutama teman saya karena dia pakai masker. Sekalipun kami membantah berulang kali bukan demonstran, polisi tetap mengamankan teman saya itu. Dia sempat ditampar, dipukul tongkat kayu sebelum dipaksa masuk ke mobil tahanan,” papar Nikmat.
Tindakan polisi yang berlebihan juga menimpa wartawan yang meliput kericuhan tersebut.
Baca juga: Polisi Usir dan Hapus Foto Wartawan Saat Meliput Kericuhan
Wartawan yang menyaksikan pemukulan pengunjuk rasa oleh polisi ponselnya diambil polisi dan kemudian foto dan video di lokasi langsung dihapus. Gerak wartawan pun dibatasi. Wartawan diusir dari lokasi, tidak boleh meliput penanganan kericuhan oleh polisi.
Baca juga: Liput Tindakan Kekerasan Aparat, Sejumlah Jurnalis Dianiaya
Di luar Jakarta
Tindakan polisi yang berlebihan dalam menangani pengunjuk rasa juga dilaporkan terjadi di banyak daerah. Pengunjuk rasa yang tertangkap dianiaya yang justru membuat massa semakin marah dan semakin brutal.
Di Makassar, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat setidaknya ada tiga jurnalis yang menjadi korban kekerasan polisi saat meliput unjuk rasa.
Unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di Jakarta dan berbagai daerah lainnya seperti diketahui, menuntut pembatalan pengesahan empat rancangan undang-undang (RUU). Keempat RUU dimaksud, RUU Pemasyarakatan, Pertanahan, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Minerba, dinilai tak berpihak pada rakyat dan berpotensi merugikan rakyat.
Baca juga: Kebangkitan Kesadaran Politik Mahasiswa
Selain itu, mereka menuntut pembatalan pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Regulasi baru KPK itu dinilai akan melumpuhkan KPK dalam memberantas korupsi yang masih merajalela di Tanah Air.
Reformasi kepolisian
Berkaca pada tindakan polisi saat menangani unjuk rasa tersebut, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mendesak Polri untuk melakukan evaluasi agar hal serupa tak terulang di kemudian hari.
Menurut dia, tindakan berlebihan dari aparat justru akan memicu reaksi yang lebih keras dari massa. ”Jangan menyamaratakan massa aksi yang damai dan yang melakukan kekerasan. Harus proporsional,” katanya.
Selain itu, dalam negara demokrasi, aparat kepolisian seharusnya juga tidak bertindak represif. Mereka tetap harus menjunjung tinggi norma-norma demokrasi dan menghormati hak asasi manusia (HAM).
Ini selaras dengan cita-cita yang hendak dicapai dari reformasi kepolisian yang digulirkan pada awal masa reformasi 1998 ketika Polri dipisahkan dari TNI.
”Reformasi di tubuh Polri yang ide utamanya menanggalkan kultur militeristik dengan konsep paradigma polisi sipil, kemudian yang terbaru adalah democratic policing, menjadi kandas karena tindakan kekerasan polisi saat menangani unjuk rasa,” ujar peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sarah Nuraini Siregar.
Baca juga: Kekerasan dan Netralitas Jadi Catatan
Ditambah lagi, Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 sebenarnya telah menekankan agar seluruh jajaran Polri dapat menghormati, melindungi, dan menegakkan HAM dalam menjalankan setiap tugas dan fungsinya.
Bukan robot
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal menyatakan, tindakan keras aparat tidak terlepas dari dinamika di lapangan. Aksi mahasiswa dan pelajar ditudingnya sudah bercampur dengan perusuh. Dalam kondisi itu, polisi harus melindungi diri, masyarakat, dan fasilitas-fasilitas publik.
”Ingat, polisi ini juga manusia, bukan robot. Ketika nyawanya terancam, terpojok, harusnya ada SOP tegas yang dilakukan. Nyatanya kami tidak melakukan itu,” katanya.
Dia pun meminta publik untuk tak semata melihat sisi kekerasan oleh aparat. Sebab, unjuk rasa yang berlangsung hingga larut malam, selain melanggar undang-undang, juga merugikan masyarakat umum. Jika tindakan tegas tak dilakukan, kerusuhan akan berlarut-larut.
Meski demikian, Iqbal berjanji, kepolisian akan menindak tegas oknum polisi yang memang bertindak berlebihan saat menangani unjuk rasa. ”Terhadap rekan-rekan saya yang melakukan tindakan eksesif, kami akan proses! Akan ditindak tegas,” ujarnya.
Baca juga: Enam Jam Aparat Menjemput Dandhy dan Ananda
Sejarawan Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda (2011) menyatakan, kepolisian adalah wajah dari negara. Negara yang beradab akan menunda penggunaan kekerasan selama mungkin. Semoga ke depan kepolisian bisa betul-betul menjadi wajah negara yang beradab.