Tongkonan, Ikon Penuh Makna
Saat memasuki wilayah Toraja, Sulawesi Selatan, hal pertama yang langsung menarik perhatian adalah tongkonan, rumah adat masyarakat Toraja. Di sepanjang jalan utama maupun di pelosok-pelosok desa, tongkonan selalu ada dengan berbagai rupa dan ukuran. Bukan sekadar rumah, tongkonan adalah simbol identitas sekaligus pemersatu keluarga Toraja.
Bangunan beratap melengkung tinggi seperti pelana kuda ini telah menjadi ikon Toraja dan juga pariwisata daerah ini. Arsitektur atap yang unik itu juga kerap dipakai untuk bangunan-bangunan publik, baik di Kabupaten Tana Toraja maupun Toraja Utara, seperti kantor pemerintahan, sekolah, rumah sakit, bank, dan instansi-instansi lainnya.
Kami pun memasuki sebuah kompleks tongkonan di Dusun To’ Kumila, Lembang (desa) Tonga Riu, Kecamatan Sesean Suloara, Toraja Utara, Jumat (19/7/2019). Terdapat dua buah bangunan besar beratap melengkung dengan ukiran di sekeliling dinding luarnya. Kedua bangunan itu diapit sejumlah rumah panggung dengan beberapa alang (lumbung padi) di bagian depan.
Tidak semua bisa menanam pohon cendana di depan tongkonannya.
Di tengah-tengah dua bangunan besar itu terdapat sebuah pohon cendana yang menjulang tinggi. Dua bangunan besar ini secara umum disebut tongkonan. Salah satunya tampak lebih tua dengan jejeran tanduk kerbau di sebuah tiang yang menjulang dari tanah hingga bagian ujung siku atap. Ada lebih 40 tanduk kerbau yang berjejer.
“Orang boleh punya tongkonan lebih besar dan megah, tapi tidak semua bisa menanam pohon cendana di depan tongkonannya,” kata Petrus Tandidatu (52).
Petrus adalah anggota rumpun keluarga atau turunan pemilik tongkonan ini. Lelaki yang juga Kepala Lembang Tonga Riu itu tinggal di salah satu rumah panggung di kompleks tongkonan tersebut.
Dia bercerita, pohon cendana di bagian kanan depan tongkonan itu ditanam usai melaksanakan ritual Ma’bua. Hanya tongkonan yang pernah menggelar ritual itu saja yang bisa ditanami cendana di depannya. Warga setempat mengenal ritual Ma’bua sebagai bentuk syukuran yang terbesar.
Petrus mengatakan, Ma’bua biasanya digelar saat rumpun keluarga usai melaksanakan upacara adat besar, misalnya Rambu Solo’. Upacara Rambu Solo’ atau melepas keluarga yang meninggal biasanya digelar secara besar dengan menyembelih hingga puluhan ekor kerbau dan babi.
Semakin terpandang dan berada rumpun keluarga atau makin tinggi tingkat kebangsawanan sang mendiang, biasanya semakin besar pula Rambu Solo’ yang digelar. Bentuk syukur atas upacara yang besar itu biasanya dilakukan dalam syukuran yang juga tak kalah besar yang disebut Ma’bua.
Simpul pemersatu
Bagi masyarakat Toraja, tongkonan bukan sekadar rumah, tapi juga simpul pemersatu rumpun keluarga. Di tongkonan, silsilah keluarga tercatat. Tongkonan juga lazim memiliki nama. Misalnya, Tongkonan Ne’ Pangratte, Tongkonan To’ Barana, Tongkonan Ne’ Gandeng, dan beragam lainnya.
Penamaan ini umumnya diambil dari nama rumpun keluarga, panggilan orang yang paling dituakan, atau nama orang yang pertama kali membangun tongkonan tersebut. Bisa pula diambil dari nama wilayah tongkonan itu berdiri.
Di Toraja juga terdapat banyak tongkonan yang berusia ratusan tahun. Salah satu yang terkenal dan menjadi destinasi wisata populer di Toraja Utara yakni kompleks Tongkonan Ke’te Kesu’ di Kecamatan Kesu’ yang dibangun pada abad ke-17. Tongkonan tertua dalam kompleks ini adalah Tongkonan Puang ri Kesu’.
Tongkonan ini bahkan mendapat sebutan Tongkonan Layuk. Hanya tongkonan yang pemiliknya pernah berjasa besar kepada masyarakat atau pahlawan yang bisa mendapat sebutan Tongkonan Layuk. Kompleks tongkonan yang dilengkapi kuburan batu yang juga berusia ratusan tahun ini juga sudah ditetapkan sebagai museum.
Banua tamben tetap dipertahankan karena amanat dari nenek.
Masih di Toraja Utara, tepatnya di Lembang Pulu’-pulu’, Kecamatan Buntu Pepasan, ada pula tongkonan model awal yang bentuknya berbeda dengan tongkonan pada umumnya saat ini. Tongkonan yang disebut banua tamben itu masih dilestarikan oleh keluarga meskipun rumpun itu sudah membangun tongkonan baru.
Paulus Tampang Sarungu (43), anggota rumpun tongkonan itu, mengatakan, banua tamben tetap dipertahankan karena amanat dari nenek. Sudah sangat jarang ditemukan tongkonan model banua tamben saat ini.
Tongkonan itu bentuknya lebih pendek dengan tiang penyangga tidak dipasang secara vertikal seperti tongkonan sekarang, melainkan disusun horizontal. Atapnya pun tampak lebih lebar dan landai dibandingkan tongkonan saat ini yang melengkung tajam dan ramping. Bangunan itu juga tampil lebih sederhana tanpa ornamen atau ukiran di dindingnya.
Melacak ikatan
Suleman Miting (70), salah satu pemangku adat Lembang Rinding Batu dengan wilayah Tongkonan Belo Langi’, mengatakan, biasanya, walau dalam satu rumpun keluarga, banyak anggota tongkonan yang tak saling kenal. “Tapi, dengan menyebut nama tongkonan, orang Toraja bisa mengetahui jika mereka masih saling berkerabat atau berasal dari pendahulu yang sama,” katanya.
Hal ini, kata Suleman, misalnya dilakukan orang-orang yang hidup di perantauan yang kadang tidak saling kenal dalam keluarga besar. Mereka bisa saling melacak ikatan kekerabatan atau silsilah dalam rumpun keluarga yang sama melalui tongkonan tersebut.
Menurut Suleman, dalam satu kompleks tongkonan, sesungguhnya hanya ada satu yang bisa disebut tongkonan, yakni bangunan yang pertama kali dibangun dan menjadi tempat lahir beberapa keturunan atau rumah inti. Dengan kata lain, sebutan tongkonan hanya bisa disematkan pada rumah inti. Rumah lain dalam kompleks itu, walau berbentuk seperti tongkonan, disebut batu a’riri.
Pada tongkonan inilah biasanya silsilah keluarga atau pohon keluarga tertulis di dinding rumah. Sebagai rumah inti, tongkonan adalah milik seluruh rumpun keluarga turun temurun. Itulah mengapa tongkonan tak bisa dipindahtangankan atau dijual tanpa persetujuan seluruh anggota rumpun keluarga yang bisa saja terdiri hingga ratusan orang.
Karena menjadi simpul pemersatu keluarga, tongkonan juga memiliki fungsi penting sebagai tempat musyawarah mufakat seluruh rumpun keluarga. Segala hal yang akan dilakukan, misalnya pesta adat, perkawinan, dan kegiatan lain yang melibatkan keluarga besar, akan diputuskan melalui musyawarah yang digelar di tongkonan. Biasanya, keputusan bersifat mengikat seluruh anggota tongkonan.
Sebagai rumah adat, tongkonan juga dibuat dengan banyak makna yang tertuang dalam simbol-simbol dan warna pada dinding bangunan. Warna maupun ukiran ini pada intinya adalah tentang keseimbangan hidup.
Misalnya saja, arah hadap tongkonan ke utara yang diyakini sebagai arah atau tempat Sang Pemilik Hidup. Lalu, penempatan alang atau lumbung padi di bagian depan, berhadapan dengan tongkonan, sebagai simbol memuliakan pangan. Alang juga berbentuk seperti tongkonan, tapi berukuran lebih kecil.
“Untuk warna, juga umumnya ada empat warna yang dipasang berpasangan, yakni hitam dan merah serta putih dan kuning. Hitam berarti kematian dan merah adalah kehidupan. Adapun kuning simbol emas atau duniawi dan putih adalah simbol ilahi atau hal yang bersifat religi,” kata Suleman.
Bagi orang Toraja, tongkonan akan selalu menjadi tempat pulang dan tempat duduk bersama mencari mufakat. “Setidaknya, keberadaan tongkonan akan memudahkan saya menjelaskan kepada anak dan cucu saya kelak tentang para pendahulu dan dari mana kami berasal," ujar Habib Panggalo, kerabat dari rumpun keluarga Tongkonan To’ Barana di Lembang Pulu’-pulu’.
Lebih jauh, ia mengungkapkan, "Tongkonan membuat kami semua bisa tetap berhimpun sebagai keluarga, bagaimanapun keadaaan masing-masing dan merantau sejauh apa pun.”