Antara Kegelisahan dan Harapan
Kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan mekanisme multilateral terhambat menguatnya sikap unilateral. Ini tantangan bagi soliditas asosiasi dan lembaga internasional.
Jika Anda memilih mengecewakan kami, saya katakan, ’Kami tidak akan pernah memaafkan Anda!’,” kata Greta Thunberg (16). Harian ternama AS, The New York Times, menggambarkan bahwa saat mengatakan itu, suara remaja aktivis lingkungan asal Swedia itu bergetar. Ia tengah menahan marah.
Hari Jumat (20/9/2019) menjadi hari bersejarah bagi Bumi. Seruan Thunberg agar remaja-remaja seusianya berunjuk rasa untuk menyatakan kegelisahan mereka terkait perubahan iklim mendapat perhatian dari jutaan warga dunia. Thunberg dan remaja seusianya layak menyatakan keprihatinan mereka, bahkan dengan terbuka menunjukkan kemarahan mereka.
Merekalah, juga anak-cucu mereka, yang akan mewarisi Bumi ini. Saat ini, di tangan orangtua mereka, nasib Bumi dipertaruhkan. Kegelisahan itulah yang membuat mereka menuntut ada aksi bersama dari para pemegang tampuk kekuasaan dan para pemegang kendali kebijakan.
Baca juga: Greta Thunberg: "Beraninya Kalian!"
Pekan lalu, kegelisahan mereka itu mengawali High Level Week, sesi utama debat umum dalam rangkaian Sidang Ke-74 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa digelar. Isu perubahan iklim menjadi salah satu isu krusial yang dibahas dalam satu forum utama di luar sesi debat umum.
Para pemimpin dunia, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, hadir dan berbicara dalam Konferensi Tingkat Tinggi Aksi Iklim yang digelar pada Senin (23/9) itu. Selain menyampaikan apa saja yang telah dilakukan sendiri, Indonesia juga membutuhkan dukungan dari mitra global—setidaknya 41 persen—untuk mencapai target pengurangan emisi karbon.
Petikan itu menegaskan bahwa aksi iklim tidak dapat semata-mata dilakukan hanya satu negara. Gagasan tentang pentingnya aksi bersama itu sejalan dengan tema utama Sidang Ke-74 Majelis Umum PBB tahun ini, yaitu ”Memperkuat Upaya Multilateral untuk Penanggulangan Kemiskinan, Pendidikan Berkualitas, Aksi, dan Inklusi Iklim”.
Tantangan riil
Akan tetapi, di sisi lain, tema itu menyiratkan sedikit kegelisahan. Kegelisahan pada menguatnya sikap unilateral yang mengancam kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dari mekanisme multilateral.
Penarikan Amerika Serikat dari Perjanjian Paris tentang iklim membuat gerak bersama melawan pemanasan global sedikit banyak terkendala. AS adalah salah satu produsen karbon besar dunia. Demikian juga pada isu lain, setelah Washington menarik diri dari perjanjian nuklir Iran yang disepakati tahun 2015, situasi di kawasan Teluk Persia dan Timur Tengah cenderung menghangat.
Presiden Iran Hassan Rouhani dalam debat umum sampai mengatakan, satu kesalahan saja berpotensi memicu ”kebakaran besar”. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres melukiskan situasi global itu dengan ”dunia yang gelisah”.
Jika melihat situasi dunia saat ini, ”kegelisahan” itu beralasan. Salah satu contoh, beberapa negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ”bersemuka” di Yaman. Meskipun telah memiliki kebijakan soal pengungsi, Uni Eropa tetap belum mampu mengoptimalkan penanganan pengungsi karena sejumlah negara di Eropa timur mengambil sikap lebih keras, bahkan menutup diri.
Soliditas atau kesatuan menjadi tantangan bagi asosiasi-asosiasi itu untuk mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dunia pun seperti berada dalam tarikan—pada satu sisi dunia mengandalkan kerja sama multilateral untuk menjawab tantangan bersama, tetapi di sisi lain ada kecenderungan mengambil sikap sendiri atas dasar menguatnya xenofobia.
Optimistis
Namun, Presiden Sidang Ke-74 Majelis Umum PBB Tijjani Muhammad-Bande tetap optimistis. Kemauan para pemimpin negara untuk tetap hadir dalam sidang umum memberinya harapan bahwa mekanisme multilateral tetap dibutuhkan. Ia pun bersumpah akan bekerja dengan semua delegasi dan organ-organ PBB untuk memajukan perdamaian dan keamanan internasional, dan itu menjadi prioritasnya.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang hadir mendampingi Wapres Kalla mengatakan, banyak inisiatif dan niat kuat untuk memperkuat multilateralisme. Ditemui seusai pertemuan antara Presiden Sidang Majelis Umum, Sekjen PBB, dan lembaga-lembaga internasional dengan ASEAN, Sabtu (28/9), Retno mengatakan, banyak pihak mengapresiasi Outlook Indo-Pasifik ASEAN yang diinisiasi Indonesia. Gagasan itu menjadi wadah dan sarana untuk memperkuat perdamaian dan stabilitas di kawasan.
Sebelumnya ASEAN pun menggelar pertemuan dengan Aliansi Pasifik. Aliansi ini merupakan blok dagang Amerika Latin, yang dibentuk Chile, Kolombia, Meksiko, dan Peru. Negara-negara yang berbatasan dengan Samudra Pasifik itu membentuk area integrasi dengan tujuan memastikan kebebasan penuh pergerakan barang, servis, modal, dan orang.
Dalam pertemuan itu dibahas peningkatan kerja sama dua blok (ASEAN dan Aliansi Pasifik) untuk meningkatkan kerja sama ekonomi. ”Disepakati untuk menggelar pertemuan reguler... menjadi jembatan untuk dua blok,” kata Retno. Beberapa kesepakatan yang segera direalisasikan adalah pemberian beasiswa, lokakarya industri rintisan, dan membangun jejaring antarblok.
Di tengah tantangan dunia yang gelisah, capaian tersebut membuka harapan bahwa banyak negara masih memiliki komitmen pada multilateralisme. Melihat itu, semoga Thunberg dan remaja lain di seluruh dunia boleh memiliki harapan, dunia dapat menjadi lebih baik dan lebih baik lagi....