Belum Ada Konsep Pendidikan untuk Wilayah Kepulauan
Pemerintah Pusat belum memiliki konsep yang komperhensif dan detail tentang cara penanganan pendidikan di wilayah kepulauan. Hal ini menyebabkan banyak kebutuhan pendidikan tidak terakomodasi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengaku pemerintah pusat belum memiliki konsep yang komperhensif dan detail tentang cara penanganan pendidikan di wilayah kepulauan. Kondisi ini menyebabkan banyak kebutuhan pendidikan tidak terakomodasi sehingga kualitas pendidikan pun menjadi tidak kompetitif.
Hal itu disampaikan Muhadjir seusai menghadiri Konvensi Nasional Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial di Ambon, Maluku pada Senin (30/9/2019). Acara yang juga memperingati ulang tahun ke 60 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pattimura itu dihadiri Gubernur Maluku Murad Ismail dan sejumlah akamedisi yang membidangi masalah sosial.
Menurut Muhadjir, sistem pembelajaran di wilayah kepulauan tidak bisa disamakan dengan wilayah kontinental perkotaan. Sebagai contoh, jadwal jam pelajaran harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Anak sekolah yang menggunakan perahu motor ke sekolah tidak bisa dipaksakan memulai belajar pada pukul 07.00 seperti sekolah pada umumnya.
Baca; Asa Anak Pedalaman akan Rumah Baca
Selain itu, banyak wilayah kepulauan belum memiliki sekolah setelah jenjang sekolah dasar. Anak-anak hanya memiliki ijazah sekolah dasar. "Kalau di daerah dengan jumlah murid kurang, harus didorong pembentukan sekolah satu atap. Ini jadi salah satu solusinya," katanya.
Menurut catatan Kompas, banyak anak di wilayah Maluku bagian tenggara, selatan, hingga barat daya tidak dapat melanjutkan studi ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Di Pulau Wuriaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar misalnya, hanya ada satu sekolah dasar. Siswa yang ingin melanjutkan studi ke sekolah menengah pertama harus merantau ke ibu kota kabupaten dengan waktu perjalanan 6 jam menggunakan perahu motor.
Selain itu, siswa di pedalaman Pulau Seram juga banyak yang putus sekolah. Untuk mencapai sekolah, mereka harus menyeberangi sungai deras dan berjalan di tengah hutan belantara. Mereka harus bangun lebih pagi dan mulai berjalan kaki sekitar pukul 03.30. Jika hujan deras, mereka sering terlambat tiba di sekolah.
Baca juga; Banyak Anak Usia Sekolah Papua Belum Terjangkau Pendidikan
Tokoh agama di Kepulauan Tanimbar Pendeta Paulus Lopulalan mengatakan, kebijakan pendidikan di Indonesia masih mengacu pada standar pendidikan di kota besar. Kebijakan penyeragaman membuat pendidikan di daerah kepulauan tidak bisa maju. Sebagai contoh, pengadaan komputer di daerah yang belum dialiri listrik. Akibatnya, komputer tak terpakai hingga akhirnya rusak.
"Perlu ada perlakuan khusus bagi daerah kepulauan. Kalau tidak, kualitas pendidikan tidak bisa kompetitif. Anak-anak di kepulauan tetap bodoh. Ujung dari semua itu adalah kemiskinan. Di Maluku, kantong kemiskinan ada di pulau-pulau kecil," katanya.
Oleh karena itu, Muhadjir berharap agar, akademisi sosial ikut menelaa kondisi itu dan memberikan masukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Persepektif budaya lokal menjadi referensi penting bagi pemerintah untuk menyiapkan program penanganan pendidikan di wilayah kepulauan dan pedalaman yang selama ini masih menuai banyak masalah.
Baca juga; Bastian Tuhuteru, Polisi yang Mendidik Anak-anak di Pedalaman Buru Selatan
Rekrutmen guru
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku M Saleh Thio mengatakan, arahan Muhadjir itu segera ditindaklanjuti. "Kami akan melakukan pemetaan dulu. Salah satu langkah yang akan diambil adalah membangun asrama bagi anak-anak yang tinggal jauh dari sekolah," katanya.
Masalah lain yang sering terjadi di pedalaman adalah guru yang berstatus pegawai negeri sipil meninggalkan tempat selama berbulan-bulan. Bahkan, ada yang tidak pernah bertugas. Pemprov Maluku akan merekrut para sarjana pendidikan yang ingin mengabdi di pulau-pulau terpencil. Maluku terdiri atas 1.340 buah pulau.