Kekerasan di sejumlah tempat memanggil ratusan orang untuk memanjatkan doa untuk negeri. Mereka ingin mengembalikan kesadaran bahwa Ibu Pertiwi adalah milik bersama yang perlu dijaga.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
”Senjatai diri dengan budi. Jangan berkecil hati. Para penghuni langit mendampingi untuk tugas menjaga Ibu Pertiwi. Wahai kesatria agung, langit akan mempermalukanmu bila angkara murka di bumi tidak engkau akhiri.”
Dengan lirih, sajak bertajuk Menjemput Janji Suci itu dibacakan Intan, salah satu anggota Komunitas Suwung Nusantara, dalam acara ”Hening Cipta Merah Putih” di area lapangan Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (29/9/2019). Suasana makin khusyuk ketika pembacaan sajak diiringi dengan alunan musik orkestra bernada ”Ibu Pertiwi” dari sekumpulan anak yang tergabung dalam Trinity Youth Symphony Orchestra (Trust) Orchestra.
Sekitar 200 orang dari beragam suku dan agama hanyut dalam keindahan sajak yang ingin mengembalikan kesadaran bahwa Ibu Pertiwi adalah milik bersama yang perlu dijaga. Niat baik ini menjadi sangat relevan di tengah sejumlah tantangan yang kini dihadapi negeri.
Guru meditasi di Mahadaya Institute, Bali, Setyo Hajar Dewantoro, mengungkapkan, Komunitas Suwung Nusantara memilih menepi sejenak untuk hening sekaligus mendoakan keselamatan negeri. Mereka mencoba menghayati kembali bahwa Indonesia sejatinya memiliki bekal yang kuat dari para pendiri bangsa (founding fathers) berupa Pancasila dan Binneka Tunggal Ika.
”Kontribusi kami secara energi. Kami ingin memancarkan vibrasi kasih. Vibrasi kasih pasti akan mengatasi angkara murka. Tidak dengan sama-sama memancarkan amarah, tetapi dengan semangat kasih dan perdamaian. Jadi dimulai dari diri sendiri. Secara energi akan terpancar dan akan menyapu awan gelap di bangsa ini,” ujar Setyo.
Setyo melihat negeri ini sedang dihadapkan pada beragam persoalan. Mulai dari aksi unjuk rasa mahasiswa di sejumlah kota terkait dengan penolakan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi hingga kerusuhan di Wamena, Papua.
Dalam situasi itu, Setyo mengingatkan bahwa Indonesia hidup dari beragam latar belakang sehingga jangan sampai segala sesuatunya selalu diakhiri dengan ambisi pribadi dan kemarahan. Sesama manusia harus bisa saling menghargai satu sama lain.
”Kita sedang sama-sama berjuang agar humanisme universal hidup di sanubari kita sambil menebarkan semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Hanya itu yang bisa buat negara kita bangkit atas segala konflik yang terjadi,” tutur penulis buku Trilogi Ajaran Nusantara Kuno.
Kepada para pemimpin pemerintahan pun Setyo berharap agar mereka bersikap bijak dan adil dalam setiap mengambil keputusan. Menurut dia, konsep politik yang tepat bukanlah demokrasi yang penuh kekuasaan dan uang, melainkan berlandaskan hikmat dan keadilan sejahtera.
”Keputusan yang penting di negeri ini harus penuh hikmat dan berkeadilan. Hikmat adalah sesuatu yang muncul dari relung jiwa. Maka semua orang perlu hening. Hanya dengan spiritualitas sejati, hikmat ini baru muncul. Para founding fathers penuh hikmat. Bukan saling memaksa, melainkan berembuk sehingga tidak menghabiskan energi untuk berbagai hal yang tidak perlu,” kata Setyo.
Sri (48), seorang ibu rumah tangga asal Kalibata, Jakarta Selatan, senang bisa hadir dalam kegiatan itu. Dia menikmati keheningan yang membawa dirinya menjadi lebih bijak memandang setiap persoalan negeri.
Perasaan serupa dialami pemuda asal Tangerang, Gilang Agustiar (23). Gilang yang telah mengikuti kegiatan meditasi sekitar setahun merasa lebih jernih dalam melihat setiap persoalan bangsa. Bagi dia, yang utama adalah selalu ditarik pada nilai yang lebih tinggi, yaitu Pancasila.
”Nilai-nilai luhur dalam Pancasila selalu kudalami dan renungkan agar setiap tindakan dan pikiran mengikuti nilai-nilai yang ada, terhubung dengan jati diri,” ucap Gilang.
Menghadapi persoalan dengan angkara murka terbukti membuat situasi semakin gaduh dan riuh. Pemimpin negeri diminta mencari solusi yang tepat atas persoalan yang ada dengan tetap berlandaskan suara rakyat. Rakyat pun juga diminta tidak gegabah dalam menyuarakan aspirasinya. Semua tentu tidak lain demi kebaikan bangsa.