Kala Natuna Kembali Mengingat Segeram sebagai Rahimnya
Kampung Segeram, Kelurahan Sedanau, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, diyakini sebagai awal mula peradaban Natuna. Pemerintah setempat berkomitmen menjadikan Segeram sebagai kampung wisata.
Meski belum terbukti secara ilmu sejarah dan arkeologi, pemerintah daerah dan warga setempat meyakini Kampung Segeram sebagai awal mula kehadiran peradaban di Natuna. Sempat terlupakan, Natuna kini berkomitmen untuk mengangkat lagi derajat hidup Segeram sebagai bagian dari sejarahnya.
Kampung Segeram terletak di Kelurahan Sedanau, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Natuna merupakan pulau terdepan Indonesia yang berjarak 542 kilometer dari Tanjung Pinang, ibu kota Kepulauan Riau.
Untuk menjangkau Kampung Segeram dapat melalui jalur darat ataupun perairan. Jalur darat ke Segeram ditempuh selama tiga jam dari Ranai, Natuna. Jika mengambil jalur perairan, waktu yang dibutuhkan sekitar satu jam dari Ranai ke Pelabuhan Binjai dan satu jam dari Pelabuhan Binjai ke Segeram.
Awal mula peradaban Natuna itu terungkap dalam cerita rakyat Segeram. Mulanya, ada seorang putri dari Malaka yang diasingkan ke wilayah daratan sekitar sungai yang kini bernama Segeram.
Putri itu diasingkan karena menderita penyakit kusta. Dia tak sendiri, rombongan dari kerajaannya turut bersamanya di wilayah itu.
Pada suatu hari, dia melihat perairan yang berada di kawasan itu. Sang putri merasa geram, yang berarti gemas dan geregetan. Ia ingin segera mandi di perairan tersebut. Syahdan, dia pun mandi. Sejak saat itu, perairan dan wilayah tersebut bernama Segeram.
Ketika mengunjungi Segeram dalam rangka memberikan pelatihan kepada guru, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) juga mendapati cerita rakyat itu. Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Komunikasi Guru Ilmu Pengetahuan Sosial Nasional PGRI Wijaya menyatakan, cerita rakyat itu dapat menjadi salah satu titik mula penelitian sejarah dan arkeologi.
Selain itu, ada makam tua yang terbuat dari batu di kawasan Kampung Segeram. Nama makam itu tidak tertera dengan jelas. Namun, warga menulis ”Makam Sejarah Jati Melayu Kampung Segeram” di gapura depan makam itu.
”Makam ini juga dapat menjadi salah satu bahan penelitian arkeologi untuk menggali sejarah Segeram dan Natuna,” ujarnya.
Pada Senin (23/9/2019) sore, saat berkeliling di Kampung Segeram, Wijaya menemukan serpihan-serpihan keramik. Dia mengambilnya dari tanah dan mengamatinya.
Pecahan keramik itu memiliki pola berwarna biru. Wijaya menduga, keramik itu dapat menjadi salah satu sumber bukti sejarah yang membutuhkan penelitian dari ahli arkeologi.
Di sisi lain, meski berbeda versi, Wakil Bupati Natuna Ngesti Yuni Suprapti yakin, pusat pemerintahan pertama di Natuna berada di Segeram. Menurut dia, Segeram merupakan pusat Kerajaan Srindit dan Kesultanan Johor.
Segeram merupakan pusat Kerajaan Srindit dan Kesultanan Johor. Kerajaan dan kasultanan itu merupakan tata pemerintahan pertama di Natuna.
”Kerajaan dan kasultanan itu merupakan tata pemerintahan pertama di Natuna. Sayangnya, kini Segeram terisolasi. Tidak seperti dahulu lagi,” ujarnya saat ditemui di Segeram, Rabu (25/9/2019).
Terlupakan
Pemerintah Kabupaten Natuna menggolongkan Segeram sebagai kawasan yang tertinggal dan terpencil. Secara administratif, Kampung Segeram setingkat dengan rukun warga (RW) yang berada di Kelurahan Sedanau.
Saat menapaki Kampung Segeram untuk pertama kali, tampak deretan rumah panggung dari kayu yang berdiri di atas sungai. Di wilayah daratan pun, mayoritas warga menghuni rumah panggung. Bahkan, bangunan mushala di kampung itu juga berupa rumah panggung.
Lain mata, lain telinga. Jika mata menangkap potret deretan rumah panggung, telinga mendengar penduduk setempat bercakap-cakap dengan bahasa dan dialek Melayu.
Jalan tapak di Segeram tidak memiliki penerangan. Jaringan listrik tidak ada sama sekali, begitu pula dengan sinyal jaringan telekomunikasi. Warga hanya mengandalkan genset sebagai sumber listrik terbatas di rumahnya.
Segeram dapat dicapai melalui perairan yang dilayani pelabuhan perintis berupa satu dermaga kayu dan jalur darat. Hanya ada satu jalur darat yang sayangnya masih ada bagian jalan yang berupa tanah dan pasir. Hal itu bisa menyebabkan kendaraan beroda dua dan empat selip.
Ketua RW 002 Segeram, Faisal, mengatakan, ada sekitar 30 keluarga atau 100 jiwa yang bermukim di wilayahnya. Jumlah itu sangat sedikit. Beberapa tahun silam, penduduk Kampung Segeram sebanyak 100 keluarga.
Tetua kampung, Syamsudin (73), menambahkan, penduduk di Segeram terus berkurang karena pindah ke daerah lain. Mereka pindah karena ingin menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi dan mendapatkan penghasilan ekonomi yang lebih.
Baca juga: SMP Satu Atap, Asa Siswa di Daerah Terpencil
Menurut Heru Diwan Arpas (29), salah satu tokoh masyarakat, pendidikan dinilai penting bagi warga Segeram. Mereka ingin anak-anaknya kelak memiliki profesi yang lebih baik dari orangtuanya, seperti menjadi dokter, polisi, atau guru.
Mereka ingin anak-anaknya kelak memiliki profesi yang lebih baik dari orangtuanya, seperti menjadi dokter, polisi, atau guru.
Akan tetapi, warga Segeram yang merantau keluar hingga ke Ranai, kota di Natuna, terkadang melupakan kampung halamannya. ”Saya pernah bertemu dengan seorang teman yang lahir di Segeram. Ketika dia ditanya orang lain asalnya dari mana, dia tak menyebut Segeram,” kata Heru.
Kini, warga Segeram yang tersisa berupaya terus bertahan. Mereka berupaya mendapatkan perhatian dari pemerintah. Mereka ingin menunjukkan kalau Segeram masih berada di daratan Natuna, pulau yang berbatasan dengan Malaysia dan Vietnam.
Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, Sayed Fauzan, mengatakan, kedaulatan wilayah Segeram sebagai bagian dari Indonesia terancam dengan semakin sedikitnya jumlah keluarga. Padahal, potensi kekayaan alam dan sejarah Segeram belum tergali.
”Hal ini membahayakan. Kepemilikan tanah dapat beralih ke luar negeri melalui pengusaha asing yang ingin menjajaki Segeram dengan dalih investasi,” ujarnya.
Menegaskan ingatan
Pemerintah Kabupaten Natuna tidak ingin hal itu terjadi. Ngesti menyatakan, pemerintah kabupaten berkomitmen mengembangkan Segeram sebagai kampung wisata.
”Apabila dikelola, Segeram bisa menjadi kampung wisata. Segeram memiliki mangrove dan di perairannya terdapat udang yang menjadi bahan baku calo, makanan khas Segeram yang terkenal sebagai salah satu oleh-oleh Natuna,” katanya.
Segeram memiliki mangrove dan di perairannya terdapat udang yang menjadi bahan baku calo, makanan khas Segeram yang terkenal sebagai salah satu oleh-oleh Natuna.
Faisal mengapresiasi upaya Pemerintah Kabupaten Natuna itu. Bagi warga Segeram, rencana pengembangan Segeram menjadi kampung wisata merupakan kabar gembira.
”Selama ini, kami selalu ingin membangun Kampung Segeram, tetapi tidak ada dukungan dari pihak lain. Akhirnya kami bertahan hidup seperti ini saja sehari-hari,” ujarnya.
Baca juga: Pembangunan Natuna Era Jokowi dan Dampak Dugaan Korupsi Masa Lalu
Bak tak ingin menjadi Malin Kundang, Natuna kembali menyegarkan dan menegaskan ingatannya pada Segeram sebagai titik kelahiran Natuna. Pengembangan Segeram sebagai kampung wisata tak boleh sekadar janji belaka agar potensi nilai sejarah dan kekayaan alamnya tidak terkubur selamanya.