Merah Putih di Natuna
Video pendek insiden 27 April 2019 antara KRI Tjiptadi 381 yang ditubruk kapal pengawas perikanan Vietnam KN 213 beredar viral. Publik Indonesia dikejutkan dengan adegan kru KRI yang terlihat sangat kesal. Kekesalan yang dirasakan masyarakat Indonesia yang terganggu rasa nasionalismenya.
Respon Panglima Komando Armada I TNI Angkatan Laut Laksamana Muda Yudo Margono berhasil menjelaskan duduk persoalan. TNI AL tengah melaksanakan tugasnya menjaga wilayah Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dari pencurian ikan yang marak. Rupanya, ada sebuah kapal ikan Vietnam tertangkap tangan tengah beraktivitas ilegal. KRI Tjiptadi-381 segera bertindak, melaksanakan tugas penegakan hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional, dengan memeriksa dan menangkap kapal ikan tersebut. Dalam pengawalan dari ZEE menuju Ranai, dua kapal pengawas perikanan Vietnam yaitu KN 213 dan KN 264 muncul dan bertindak agresif.
“KN 213 provokasi dengan menubruk KRI Tjiptadi, sedangkan KN 264 menubruk kapal ikan Vietnam yang ditangkap sehingga bocor, lalu tenggelam," kata Yudo.
Menurutnya, upaya provokasi itu memang tidak hanya sekali itu. Akan tetapi, TNI AL tetap menjalankan tugasnya di wilayah ZEE Indonesia, serta tidak terpancing provokasi. Indonesia dan Vietnam memiliki hubungan strategis, sehingga TNI AL tidak ingin terpancing mengeluarkan tembakan.
“Sesuai protap, kita bertahan,” kata Yudo.
Tindakan KRI Tjiptadi serta narasi TNI AL terkait insiden ini proporsional. Insiden terjadi di wilayah ZEE yang batas-batasnya belum disepakati kedua negara. Walaupun laut teritorial Indonesia dan Vietnam tidak bertemu, akan tetapi ada batas landas kontinen dan tumpang tindih ZEE. Indonesia secara politik mendefinisikan wilayahnya sebagai Laut Natuna Utara yang berada di selatan laut bebas, Laut Cina Selatan. Ketika terjadi insiden, TNI AL berada di ujung tombak. Kapal perikanan Vietnam bukan kapal kombatan. Oleh karena itu, TNI AL tidak boleh menembak.
Seandainya KRI Tjiptadi bertindak berlebihan, hal ini akan memicu insiden regional, bahkan internasional. Wilayah Laut Cina Selatan tengah menjadi perhatian, apalagi dengan perubahan geopolitik di mana Asia Pasifik menjadi wilayah penting dunia. Di tengah Asia Pasifik ini adalah pertemuan kepentingan dua negara besar yaitu Amerika Serikat (AS) dan Cina yang saling tergantung, sekaligus saling bersaing.
Dalam perkembangan dunia yang kian multipolar ini, Laut Cina Selatan tidak saja strategis bagi Cina maupun AS. Laut Cina Selatan juga penting bagi negara-negara ASEAN dan negara-negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang. Oleh karena itu, kerja sama semua pihak sangat penting dalam menjaga keamanan di kawasan tersebut. Walaupun ada riak-riak keamanan yang terjadi antar negara, solusi diplomatik tetap menjadi yang terdepan. Model konflik juga berada di dalam ruang abu-abu di mana nelayan-nelayan menjadi bagian dari alat dalam strategi pertahanan beberapa negara seperti China dan Vietnam.
Kerja Sama TNI
Komandan Pangkalan Angkatan laut (Danlanal) Ranai Kolonel laut (P) Harry Setyawan mengatakan, ancaman di paling besar di laut Natuna Utara adalah ancaman pelanggaran wilayah. Pasalnya, belum ada kepastian hukum antara batas ZEE.
Operasi penjagaan kedaulatan dan penegakan hukum ditangani langsung oleh Armada I TNI AL. Operasi berlangsung sepanjang tahun. Lanal bertugas untuk memberikan dukungan operasi seperti perbaikan kapal. Patroli yang dilakukan lanal terbatas pada 12 nautical mile.
Menurut Harry, saat ini lebih banyak pelanggaran dilakukan oleh kapal-kapal Vietnam. Sementara, pelanggaran oleh kapal-kapal nelayan Cina terakhir tahun 2016. Dalam kunjungan Kompas ke Posal Sabang Mawang, Maret 2019 tampak kapal-kapal ikan negara asing yang bersandar di Sabang Mawang, menanti proses pengadilan.
Ancaman di paling besar di laut Natuna Utara adalah ancaman pelanggaran wilayah. Pasalnya, belum ada kepastian hukum antara batas ZEE.
Selain ancaman pelanggaran wilayah dari kapal-kapal nelayan, Natuna juga berada di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I. Tugas menjaga kedaulatan termasuk menjaga agar tidak ada pelanggaran di ALKI termasuk oleh kapal-kapal perang asing.
Kerjasama Antar Matra
Komandan Lanud Raden Sadjad Natuna Kolonel Pnb Prasetiya Halim mengatakan, ada koordinasi antara TNI AL dengan TNI AU untuk mengidentifikasikan kapal-kapal yang melakukan pencurian ikan. “Pesawat kan lebih cepat, tapi TNI AU untuk pemantauan saja, bukan penindakan,” kata Prasetiya.
Berada di perbatasan, TNI AU juga harus menghadapi banyakan pelanggaran wilayah udara. Apalagi, penanganan Flight Information Region masih ditangani Singapura. Untuk memasuki wilayah udara sebuah negara dibutuhkan berbagai persyarakatan pernyataan security clearance, flight approval. Oleh karena itu, keberadaan satuan radar 212 di Natuna sangat penting.
“Kadang-kadang walau tidak ada ijin, pesawat asing ada yang coba-coba, melipir masuk. Itu ditangani oleh Kohanudnas, kalau Lanud untuk memberi dukungan,” kata Prasetiya.
Di tengah berbagai keterbatasan personil maupun peralatan, TNI AL dan TNI AU berupaya untuk memenuhi tugas pokoknya. Hal yang sama juga dialami TNI AD yang melaksanakan pembinaan teritorial. Dengan kondisi geografis yang 90 persen laut, mau tidak mau biaya operasi tinggi. Sementara, banyak peluang masuknya infiltrasi dari luar terutama di pulau-pulau yang tidak berpenghuni.
Dandim Natuna Letkol (Czi) Ferry Kriswardana mengatakan, saat ini TNI berupaya memodernisasi persenjataan di Natuna. Selain pengadaan radar, juga ada modernisasi persenjataan seperti artileri pertahanan udara dan artileri medan. Walaupun tidak mengedepankan militer sebagai solusi konflik di kawasan, modernisasi ini mempermudah koordinasi.
“Apalagi nanti akan ada komando pengendalian yang lebih permanen di Natuna, sehingga nanti laporan langsung ke Panglima TNI,” kata Prasetiya Halim.
Saat ini TNI berupaya memodernisasi persenjataan di Natuna. Selain pengadaan radar, juga ada modernisasi persenjataan seperti artileri pertahanan udara dan artileri medan. Walaupun tidak mengedepankan militer sebagai solusi konflik di kawasan, modernisasi ini mempermudah koordinasi.
Komando pengendalian itu adalah bagian dari Satuan Terintegrasi di Natuna. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto meresmikan Satuan TNI Terintegrasi di Natuna pada 18 Desember 2018. Pembangunan Satuan Terintegrasi menunjukkan niat yang kuat Indonesia untuk menjaga wilayahnya.
”Pembangunan kekuatan ini adalah respons TNI terhadap perkembangan geopolitik di kawasan, terutama eskalasi di Laut China Selatan,” kata Hadi saat meresmikan Satuan TNI Terintegrasi.
Sinergi tidak saja dilakukan antarmatra di dalam tubuh TNI. Dukungan dari Pemda seperti upaya agar tersedianya jaringan 4G menurut Ferry sangat penting untuk pertahanan. Sementara Prasetiya mengapresiasi niat Pemda yang memberikan sebentuk tanah agar bisa menjadi akses jalan ke rumah sakit terintegrasi.
“Kan ini win-win solution, masyarakat juga bisa menggunakan rumah sakit itu," ujarnya.
Dalam konteks yang lebih besar, perhatian terhadap Natuna secara pertahanan juga didukung oleh instansi lain. Misalnya kerja sama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dan TNI yang ditandatangani pertengahan Februari 2019, sebagai kelanjutan kerja sama sebelumnya. Kerja sama itu antara lain melalui pengerahan kekuatan armada dan infrastruktur untuk menangkap kapal-kapal pencuri ikan dan biota laut lainnya. Keamanan maritim membuahkan kesejahteraan. Data di KKP menunjukan bahwa pembangunan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu SKPT di Natuna membuahkan hasil signifikan. Sejak Juni 2017 hingga Desember 2018, nilai total tangkapan nelayan yang dijual di SKPT Natuna mencapai Rp 34 milyar.
Di sisi lain, dibutuhkan sinergi lebih jauh untuk memaksimalkan operasi TNI di Natuna. Kerangka regulasi penegakan kedaulatan dan hukum di laut, terutama yang batasnya masih tumpang-tindih seperti di Laut Natuna Utara, perlu diperkuat. Oleh karena itu, dibutuhkan kepastian hukum secara internal, yaitu perlu ada kesamaan kebijakan dalam penegakan hukum antar instansi. Secara eksternal, perlu disepakati aturan sementara sampai kesepakatan antar negara terkait ZEE tercapai.