Mereka Pejuang Pangan Sejati
Petani pemulia padi di Tanah Air rela membiayai penelitian bertahun-tahun secara mandiri. Tak jarang, sebidang sawah dijual untuk membiayai upaya mencari padi unggul. Semua dilakukan demi masa depan tanaman yang minim hama, produktivitas tinggi, dan tangguh saat berhadapan dengan kekeringan.
Senyum Kasta (50), petani di Desa Kalensari, Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, seperti oase menyegarkan. Ketika banyak petani mengeluh gagal panen pada musim kemarau, Kasta justru tersenyum lebar. Terbayang di benaknya keuntungan lumayan yang akan diraup pada puncak kemarau panjang ini.
Padi Kasta menguning siap panen. Ia memperkirakan bakal mendapat 17 kuintal gabah kering panen (GKP) dari lahannya yang hanya 100 bata atau 1.400 meter persegi. Kasta mengatakan, kunci sukses itu ada di benih Indonesia Farmer (IF)-16 yang ditanam tiga bulan sebelumnya. Benih tersebut dikembangkan Asosiasi Bank Benih Teknologi Tani Indonesia (AB2TI).
”Biasanya, dari lahan segitu, saya hanya mendapatkan 11-12 kuintal GKP,” katanya saat ditemui akhir Agustus lalu. IF-16 yang kini jadi buah bibir tidak dilahirkan di laboratorium canggih. Punadi (57), petani asal Desa Mulyorejo, Kecamatan Singgahan, Tuban, membidani lahirnya benih itu di lahan 0,5 hektar miliknya. Butuh waktu hingga empat tahun untuk bisa sampai menjadi padi IF-16 seperti saat ini. ”Saya sudah tua, biarkan saya punya peninggalan berguna bagi petani. Varietas ini bisa panen sampai 12 ton per hektar,” ujar bapak dua anak ini.
Ia menunjukkan, varietas unggul dengan produktivitas tinggi ini lebih baik dibandingkan dengan intensitas tanam tanpa mengenal musim. Anjuran banyak pihak agar petani menanam padi tiga kali setahun justru rentan memperpanjang siklus hama. Alasannya, makanan untuk hama terus tersedia sepanjang waktu.
Menjual lahan
Darmin (59), petani Desa Sekarmulya, Kecamatan Gabuswetan, Indramayu, juga berkreasi. Sejak 2004, ia melahirkan varietas Cilalanang. Benih padi yang diambil dari nama sungai di kampungnya itu diharapkan mampu beradaptasi dalam kekeringan. Sejak lama, Sekarmulya dikenal sebagai kawasan sulit air saat musim kemarau.
Sejauh ini, Darmin mengatakan, Cilalanang relatif lebih kuat ketimbang varietas biasa. Siang itu, ia menunjukkan enam malai Cilalanang usia 75 hari dari lahan tadah hujan yang seharusnya dipanen 15 hari lagi. ”Dari enam malai ini, sekitar 70 persen hidup. Sisanya mati. Kalau pakai varietas biasa, semuanya mati,” ucap Darmin yang tak lulus SD.
Akan tetapi, semua itu didapat bukan tanpa perjuangan. Selama menyilangkan benih, ia banyak berkorban. Bertahun-tahun, Darmin giat mencatat kegiatan persilangannya di buku tulis. Kulkasnya dipenuhi stoples obat berisi benih padi yang telah disilangkan.
Demi benih, ia terpaksa membeli kulkas baru untuk jualan minuman dan es batu di warung rumahnya. Dulu, Darmin punya lahan hingga 0,5 hektar. Namun, sekarang tanah Darmin tinggal 600 meter persegi. Sejak 2016, ia menjual lahan sedikit demi sedikit untuk biaya hidup keluarga selama bergiat mencari benih terbaik.
Darmin tidak menyesali semua pengorbanan itu. Peraih Apresiasi Perlindungan Varietas Tanaman 2017 Kategori Pemulia Tanaman dari Kementerian Pertanian itu kini jadi inspirasi. Ia mandiri, terbiasa membuat benih sendiri sesuai dengan kebutuhan lokal. Entah sudah berapa banyak mahasiswa, dosen, jurnalis, dan peneliti yang datang melihat karyanya.
Contoh lain adalah H Masroni (47), yang juga Kepala Desa Kalensari, Indramayu. Lewat studi di sekolah lapangan pengendalian hama terpadu, program Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, serta Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 1990-an, ia melaksanakan pertanian mandiri bersama sejumlah petani lain di desanya.
Masroni bisa menjadi profil petani masa kini. Ia sempat menjadi Ketua Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indramayu. Program pendampingan serupa sempat berjalan kembali awal 2000-an diprakarsai Yayasan Farmer’s Initiatives for Ecological Livehoods and Democracy (FIELD) Indonesia.
Saat ini, Masroni bekerja sama dengan Ketua Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB Suryo Wiyono mencari formula padi yang tidak butuh banyak air. Suryo meminta agar ia mencoba memanfaatkan cendawan endofit Penicillium saat menanam padi. Masroni melakukan uji coba dengan cara memasukkan cendawan ke wadah saat benih varietas Ciperawan direndam sebelum ditanam. Hasilnya, sampai umur 35 hari, padi yang tidak teraliri air itu masih tampak hijau.
Cendawan memperkuat akar padi dan menutup stomata lebih awal sehingga mengurangi penguapan. Kebutuhan air pun tidak banyak. Hasilnya, Masroni memanen 4,8 ton GKP dari lahan seluas 5.800 meter persegi.
”Hasilnya standar, tetapi prosesnya lebih hemat Rp 2 juta-Rp 3 juta per hektar. Sebab, sejak tanam hingga panen tidak butuh pestisida dan tambahan biaya pengambilan air,” tuturnya. Sawahnya dikelilingi tanaman jagung yang daunnya compang-camping. Jagung inilah yang menjadi benteng agar hama tidak mengusik padi.
Membuat solusi
Punadi, Darmin, dan Masroni membuktikan, petani sebenarnya bisa diberdayakan agar mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Mereka tidak hanya menjadi pionir untuk menemukan bibit unggul alami Indonesia, tetapi juga bersemangat menularkan pengetahuan kepada petani muda.
Tarsono (34), petani asal Desa Nunuk, Indramayu, misalnya, kini sedang menyilangkan varietas Ciherang dan Leci demi menemukan benih unggul. ”Saya ingin seperti pemulia padi lain yang bisa dewek (mandiri), bukan sekarep dewek (semaunya sendiri),” ujarnya. Dari pelosok-pelosok desa, wajah petani Indonesia mulai menampakkan diri. Mereka tidak hanya sibuk berpeluh di sawah, tetapi juga tekun meneliti demi masa depan lebih baik.
Seandainya para pengambil kebijakan mulai dari tingkat lapangan hingga pengambil keputusan di pemerintah pusat memahami hal tersebut, negeri ini selamat. Indonesia bukan hanya tidak kekurangan pangan, bahkan menjadi mandiri serta mewujudkan kedaulatan pangan.
Tidak seperti sekarang muncul persoalan saat kemarau, panik saat banjir. Solusi yang diambil pun berorientasi proyek. Program sumur bor, bantuan pompa atau traktor, dan sebagainya. Ketahanan dan kemandirian pangan masih menjadi slogan dan konsumsi politik semata.