Saat menjadi ibu negara pun Fatmawati dikenal bijak. Ia tidak mau menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun daerahnya sendiri. Semua harus adil.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Sejumlah perempuan Bengkulu mengenakan pakaian rancangan desainer Dian "Oerip" Erra Kumalasari di Bengkulu, Jumat (13/9/2019). Mereka menjadi model sehari dalam peragaan busana yang menjadi rangkaian acara dialog kebangsaan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Bengkulu.Fatmawati bukan perempuan biasa. Sejarah mencatat namanya sebagai ibu negara pertama sekaligus penjahit bendera Merah Putih yang berkibar 17 Agustus 1945 silam. Sejarah ini mengekalkan ingatan akan dirinya yang bangkit melalui perjalanan singkat ke tanah kelahirannya di Bengkulu.
Masyarakat dulu mengenal Fatmawati sebagai putri seorang tokoh Muhammadiyah, Hasan Din. Ayahnya kerap mengajak Fatmawati muda ke rapat-rapat Muhammadiyah. Mungkin maksudnya agar sang ayah ada yang menemani. Namun, Fatmawati rupanya tak sekadar menjadi teman. Ia belajar banyak dari pembicaraan para tokoh yang ia rekam dalam memori.
Hal tersebut agaknya membentuk karakter Fatmawati menjadi individu yang berwawasan luas. Sebagai putri daerah, pikirannya tidak dikekang oleh batas regional. Pikirannya luas dan maju ke depan. Kelebihan itu ia balut dalam keanggunan perempuan pada masanya.
Bertahun-tahun kemudian, pada 1943, Fatmawati dipinang Soekarno, orang yang kelak menjadi presiden pertama Indonesia. Fatmawati tidak hanya menempatkan diri sebagai teman hidup Soekarno. Dia juga ikut memikirkan negaranya. Ia menjahit bendera Merah Putih jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Layaknya naluri seorang ibu, ia tahu kapan harus mempersiapkan rumahnya.
Saat menjadi ibu negara pun Fatmawati dikenal bijak. Ia tidak mau menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun daerahnya sendiri. Semua harus adil.
Suatu hari di pertengahan Mei 1980, Fatmawati wafat. Usianya 57 tahun kala itu. Ia pergi dengan meninggalkan preseden akan perempuan yang memiliki keteguhan feminim nan pancasilais.
Memupuk nasionalisme
Uraian tentang Fatmawati dijabarkan kala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertandang ke Bengkulu, September 2019. BPIP mengadakan dialog kebangsaan dengan masyarakat Bengkulu selama dua hari. Peserta dialog didominasi oleh perempuan yang berasal dari beragam latar belakang.
Ini untuk menanamkan rasa cinta anak-anak muda bahwa kain ibu mereka itu hebat.
Hari pertama ditutup dengan kunjungan ke kediaman Soekarno kala diasingkan Belanda ke Bengkulu pada 1938-1942. Saat berkunjung ke sana, sejumlah pemain dol (gendang tradisional Bengkulu) telah menanti sambil berjejer di sisi kiri-kanan pelataran rumah. Alunan musik terdengar saat dol dibunyikan.
Tak lama berselang, sejumlah perempuan peserta dialog muncul satu per satu dari dalam rumah. Mereka berjalan pelan sambil sesekali berlenggak-lenggok seperti penari. Tubuh mereka dibalut kain Nusantara yang disulap desainer, Dian “Oerip” Erra Kumalasari, menjadi busana penuh gaya.
Ada 23 perempuan yang menjadi model dadakan sore itu. Para peserta tampak menikmati peran mereka sebagai peragawati. Kendati baru pertama kali menjadi model, mereka menapaki pelataran rumah layaknya model profesional di landasan peraga. Senyum lebar pun tak henti-hentinya mereka tampilkan.
Dina bercerita, ia telah beberapa kali mengadakan peragaan busana di daerah. Menariknya, peragaan busana itu tidak ia lakukan di landasan peraga seperti yang kebanyakan ada di peragaan busana. Ia menggunakan alam atau tempat khas di suatu daerah sebagai landasan peraga, salah satunya di kediaman Soekarno ini.
Ia juga sengaja melibatkan warga setempat sebagai model untuk memupuk kecintaan pada wastra. Menurutnya, memupuk nasionalisme bisa dilakukan dengan banyak cara. Peragaan busana adalah cara Dian memupuk nasionalisme.
“Ini untuk menanamkan rasa cinta anak-anak muda bahwa kain ibu mereka itu hebat. Wastra Indonesia itu ada banyak, tapi belum semua tahu. Beberapa orang (yang ikut peragaan busana) juga ada yang baru pertama kali melihat bermacam-macam wastra,” kata Dian.
Direktur Hubungan Antarlembaga dan Kerja Sama BPIP Elfrida Herawati Siregar dalam dialog mengatakan, perempuan bisa mengambil peran dalam menjaga nyala Pancasila di lingkup keluarga. Hal itu bisa dilakukan dengan sederhana, misalnya menjelaskan alasan pengibaran bendera setiap 17 Agustus.
“Kita bisa berlaku seperti Fatmawati zaaman now. Warisan beliau bisa kita amalkan dengan banyak cara, seperti bertanya pada anak soal presiden yang baru wafat (BJ Habibie). Kita kenalkan segala hal kepada mereka sejak kecil sehingga kelak menjadi Fatmawati-Fatmawati masa depan,” kata Elfrida.
Sementara itu, Deputi Bidang Pengendalian dan Evaluasi BPIP Rima Agristina berpendapat bahwa pengajaran tentang hal yang baik secara moral merupakan turunan dari Pancasila. Sebab, Pancasila merupakan pandangan hidup yang kemudian menjadi kepribadian.
Menurutnya, hal-hal yang diajarkan ibu di keluarga pun tidak lepas dari pemahaman Pancasila. Kesadaran itulah yang ingin dibangkitkan kembali ke setiap individu. Ia harap semua orang yang mengingat ajaran ibu dapat mengilhami Pancasila dalam laku sehari-hari.
Tiga wastra
Sedikitnya ada tiga wastra yang dikenakan masing-masing individu. Ada wastra dari Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, hingga Nusa Tenggara Timur. Semua kain dipadukan dengan pakaian jadi dan ada pula yang dililit di sekitar tubuh. Tampilan eksotis ala Indonesia seketika tersaji dengan wastra tersebut.
Dina mengatakan, ia biasa merancang satu busana dengan minimal tiga wastra. Itu didasarkan pada filosofi jenamanya yang ia namakan Dina Oerip. Katanya, Oerip berarti hidup. Pemakaian tiga wastra ia sebut melambangkan hidup yang menghidupi dan maha hidup.
Peragaan busana semakin meriah ketika penyanyi dan aktris, Ayu Laksmi, muncul. Ia memulai aksinya dengan mengangkat telapak tangan kanan sejajar dengan bahu, inilah salam Pancasila. Ia tampil sambil mengenakan wastra dari Sumba, Ende, dan Sabu yang semuanya berasal dari Nusa Tenggara Timur. Di kepalanya ada kain Rote dan Sumba yang dibebat menjadi semacam penutup kepala.
Penampilan Ayu membuat para penonton takjub. Walaupun peragaan busana itu bukan acara yang serius, ia bisa membawa penonton menghayati tiap gerakan yang ia tampilkan. Penampilannya teatrikal dan sarat akan unsur budaya.
Sesuai dengan tujuannya, peragaan busana ditutup nyanyian yang memantik nasionalisme. Lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki dikumandangkan para model sembari bergandengan tangan. Lirik demi lirik dirapal dengan sungguh-sungguh sambil mandi sinar matahari. Sore itu, semangat Pancasilais lahir kembali di jiwa-jiwa feminim pemudi Bengkulu. Fatmawati telah kembali.