Pelaku usaha dinilai perlu segera beradaptasi untuk mengadopsi automasi atau mengotomatisasikan pekerjaan. Di sisi lain, pelaku usaha juga perlu mulai meningkatkan keterampilan pekerja.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pelaku usaha dinilai perlu segera beradaptasi untuk mengadopsi automasi atau mengotomatisasikan pekerjaan. Di sisi lain, pelaku usaha juga perlu mulai meningkatkan keterampilan pekerja. Hal itu penting untuk meningkatkan produktivitas agar bisa bersaing secara global.
Riset global McKinsey & Kompany menganalisis, pada 2030, kehadiran automasi akan banyak menggantikan fungsi pekerja. Sekitar 23 juta pekerjaan di Indonesia akan hilang pada 2030. Pekerjaan yang akan hilang di antaranya pekerjaan yang mengandalkan pengulangan aktivitas fisik serta pengoleksian dan pemrosesan data.
Meski demikian, automasi ternyata juga membuka peluang hadirnya sekitar 27-46 juta pekerjaan baru. Pekerjaan tersebut membutuhkan kemampuan manajerial, analisis, dan interaksi yang baik.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani Senin (30/9/2019) di Jakata mengatakan, automasi memang sudah mulai menjadi tren saat ini. Hal itu terbukti dengan penurunan daya serap tenaga kerja per 1 juta dollar AS investasi selama lima tahun terakhir.
Menurut Shinta, pelaku usaha perlu sesegera mungkin mengadopsi automasi. Hal itu akan sangat berpengaruh pada peningkatan produktivitas dan daya saing.
“Kalau kita tidak adopsi, pelaku usaha nasional akan kalah jauh dalam persaingan global. Perusahaan sebaiknya sudah mulai menghitung dan menyusun strategi bagaimana caranya agar bisa mengadopsi automasi di perusahaan. Adopsi sistem automasi membutuhkan transisi 1-2 tahun,” jelas Shinta yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia tersebut.
Di sisi lain, pelaku usaha juga perlu menyesuaikan keterampilan pekerja. Seperti laporan McKinsey, kehadiran automasi justru membuka semakin luasnya kesempatan kerja.
Shinta menambahkan, pekerja tentu masih tetap dibutuhkan. Akan tetapi, kompetensi pekerja yang dibutuhkan perusahaan akan jauh berbeda. Oleh karena itu, pelaku usaha harus mulai meningkatkan keterampilan pekerja. Khususnya untuk bisa mengendalikan mesin-mesin produksi terbaru perusahaan.
“Keterampilan tidak melulu soal analisis data. Justru yang akan banyak dibutuhkan di sektor manufaktur adalah orang yang bisa mengontrol, memanipulasi, dan memelihara operasi mesin-mesin otomatis,” tambahnya.
Dari industri tekstil dan produk tekstil (TPT), PT Sri Rejeki Iman (Sritex) Tbk, masih menunjukkan komitmen menggunakan pekerja dalam pembuatan produknya. Adaptasi teknologi yang dilakukan sebatas peningkatan kualitas mesin.
Direktur Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto mengatakan, di industri TPT memang sudah banyak yang beralih menggunakan robot. Namun, Sritex masih berupaya menjaga kualitas produk dengan menggunakan pekerja.
Sementara itu, menurut Iwan, penggunaan robot akan meningkatkan biaya produksi. Adapun biaya pekerja di Indonesia dinilai masih cenderung rendah. Hal itu membuat Sritex bisa terus bersaing harga dengan perusahaan lain.
“Era 4.0 memang harus diikuti karena semua industri akan terkena dampaknya. Tetapi produk harus tetap bicara mutu. Kami berencana menggunakan robot, tetapi digunakan di negara lain seperti membuka pabrik di Eropa. Di sana kan tenaga kerja mahal,” kata Iwan.
Penggunaan robot akan meningkatkan biaya produksi sementara biaya pekerja di Indonesia dinilai masih cenderung rendah.
Sebelumnya, Presiden Direktur PT McKinsey Indonesia Phillia Wibowo menjelaskan, automasi dalam industri usaha di Indonesia tidak bisa dipastikan waktunya. Semua itu bergantung pada pertimbangan perusahaan menggantikan sumber dayanya. Salah satu persoalan yang paling krusial yakni biaya produksi.
Dari industri perbankan, Presiden Direktur PT OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja mengatakan, pengaruh teknologi tidak mengurangi jumlah karyawan mereka. OCBC NISP hanya menyesuaikan kebutuhan keterampilan karyawan, seperti yang memiliki kemampuan analisis data.
Adapun jumlah karyawan OCBC NISP selalu berada di atas 6.000 orang sejak 2014. Pada tahun 2018 bank yang sudah berusia 78 tahun itu merekrut 800 karyawan baru.
“Jumlah karyawan kami pada 2011 hampir sama dengan sekarang. Tetapi aset sudah tiga kali lipat lebih besar. Kami tentunya terus beradaptasi dengan teknologi dan menyesuaikan bisnis model yang lebih efisien,” pungkas Parwati.