20 Mahasiswa-Pelajar Dilaporkan Masih Ditahan, Tim Advokasi: Akses Informasi dan Bantuan Hukum Sulit
Tim Advokasi untuk Demokrasi kesulitan mengklarifikasi masih ditahannya 20 mahasiswa dan pelajar peserta aksi unjuk rasa oleh Polda Metro Jaya. Akses untuk memberikan bantuan hukum kepada mereka juga masih susah.
Oleh
AYU PRATIWI dan Wisnu Aji Dewabrata
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Advokasi untuk Demokrasi menerima laporan adanya sekitar 20 mahasiswa dan pelajar yang berunjuk rasa pada Selasa (24/9/2019) dan Rabu (25/9/2019) masih ditahan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Namun, tim kesulitan mengklarifikasi informasi itu ke kepolisian. Selain itu, tim juga kesulitan memberikan bantuan hukum kepada mereka yang masih ditahan.
Berdasarkan laporan dari mahasiswa yang diterima Tim Advokasi untuk Demokrasi, di antara 20 pengunjuk rasa yang ditahan, tiga hingga empat orang berstatus pelajar SMP atau SMA. Semua pengunjuk rasa yang ditahan itu adalah mahasiswa dan pelajar dari seputaran Jabodetabek.
”Ada indikasi mereka membawa benda tajam dan melakukan pencurian sepeda motor. Info tersebut didapat dari teman mahasiswa yang melapor kepada kami. Ada yang hilang, ada yang tidak bisa dikontak,” kata Jeanny, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang masuk dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi ketika dihubungi di Jakarta, Senin (30/9/2019).
Namun, tim kesulitan untuk mengklarifikasi informasi tersebut ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Tim yang ingin memberikan pendampingan hukum kepada mereka yang masih ditahan juga dipersulit.
”Kami sudah melibatkan Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman, dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Namun, akses informasi dan bantuan hukum masih susah. Padahal, semua orang berhak atas bantuan hukum. Kami pun tidak tahu kondisi mereka seperti apa di sana,” tuturnya.
Dihubungi secara terpisah, Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan, polisi hanya boleh menahan pengunjuk rasa yang usianya di bawah 17 tahun selama satu hari. Setelah 24 jam, anak-anak itu harus dikembalikan kepada orangtua mereka kecuali apabila yang bersangkutan terbukti melakukan tindak pidana.
”Namun, penahanannya harus dititipkan ke BRSAMPK (Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus) Handayani. Penahanan anak berhadapan dengan hukum (ABH) tidak boleh dicampur dengan tahanan dewasa,” kata Retno.
Dalam mencegah anak turut terlibat dalam aksi unjuk rasa, dia mengimbau orangtua, kepala sekolah, serta dinas pendidikan melakukan pengawasan dan mengedukasi anak-anak mengenai risiko serta bahaya terlibat dalam kerumunan yang berpotensi rusuh. Media sosial anak-anak juga perlu diawasi karena di sanalah ajakan berunjuk rasa beredar.
”KPAI mendorong para Kepala Dinas Pendidikan seluruh Indonesia untuk mengantisipasi dan mencegah anak-anak dimanfaatkan dalam aksi unjuk rasa. Para orangtua juga harus memantau media sosial anak-anaknya sebagai bentuk pencegahan. Sebab, undangan aksi melalui media sosial Instagram dan aplikasi Whatsapp tidak jelas penanggungjawabnya,” kata Retno.
”Tidak jelas juga persiapannya jika menghadapi situasi kacau. Jika mereka berada dalam kerumunan yang berpotensi rusuh, tentu sangat membahayakan,” ujarnya, menambahkan.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono belum bisa dihubungi untuk bisa menjelaskan informasi mengenai penahanan mahasiswa dan pelajar itu melalui Tim Advokasi untuk Demokrasi. Kompas mencoba menghubungi dan melayangkan pesan singkat ke Argo, tetapi tidak diangkat dan dibalas.
Sebelumnya, Argo Yuwono mengatakan, semua pelajar yang ditahan sudah dipulangkan. Pada Rabu malam lalu, polisi mengamankan 570 pelajar sekolah menengah yang terlibat bentrok dengan aparat di seputar kawasan Senayan. Semua pelajar itu telah dijemput orangtua ataupun saudaranya.